Mohon tunggu...
Nedwin Lembar Hermavian
Nedwin Lembar Hermavian Mohon Tunggu... Musisi - Penulis lepas

Nedwin LH adalah seorang penulis lepas dan pemerhati sosial yang hobi bermain musik dan saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Sidoarjo. Pemikiran dan opininya dapat anda simak di kanal youtube resminya; https://www.youtube.com/@Nedwin. Untuk berbagai keperluan, anda dapat menghubunginya melalui email; guitaronsky@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Music

Apresiasi Jazz, Mulai Dari Mana?

10 Januari 2024   16:48 Diperbarui: 11 Januari 2024   09:32 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada pertengahan bulan Maret tahun 2016, saya berkesempatan mengikuti sebuah kelas online yang diselenggarakan oleh Berklee. Kelas itu adalah sebuah pembelajaran musik dengan fokus pada improvisasi jazz yang diajar oleh professor Gary Burton, seorang vibranophonist dan musisi jazz senior asal Amerika yang sudah sering manggung bersama para legenda jazz dunia seperti Thelonius Monk, Chick Corea, Stan Getz, Eric Clapton, Pat Metheny, Julian Lage, dll. Beliau juga memenangkan 7 Grammy Awards dan sekarang menjabat sebagai dekan sebuah fakultas di Berklee College of Music, Boston, USA.

Kelas online dengan total 6 pertemuan, 6 tugas, 6 kuis, dan 1 project tersebut diikuti oleh ratusan peserta dari seluruh dunia yang terhubung dengan internet dimana kelas begitu interaktif dengan adanya peer review dan lecturer's feedback. Saya beruntung karena bisa menyelesaikannya dengan nilai baik, karena memang saat itu tidak sedikit juga peserta yang underperform sehingga harus mengulang. 

Pengalaman bersama professor Gary Burton tersebut mengajarkan saya tentang betapa kompleks musik jazz itu ketika di dalami dan dihayati karena harmonisasi dan kesesuaian nada-nada itu ada aturannya. 

Memang, tidak ada wrong note dalam jazz, yang ada adalah wrong harmony. Artinya, ketika sebuah nada berdiri sendiri maka tidak ada yang salah dengannya, namun ketika dia harus berdiri bersama dengan akor pengiringnya dalam sebuah progresi, maka keduanya harus berkesesuaian. 

Disitulah seninya jazz, memiliki kebebasan untuk berkreasi (baca: improvisasi), namun tetap diberi batasan teoretis agar tetap kontekstual dan memiliki keteraturan dalam harmonisasi. Tidak liberal.

Sebagai seseorang yang mengawali karir musik di genre rock dan pop, tidak sedikit teman yang bertanya terkait dengan peminatan saya pada jazz. Suatu ketika di masa muda, saya pernah bergabung dengan band asal Semarang bernama Chocolate Dream Berry yang kala itu berjalan di jalur indie dengan genre jazz. Dengan senang hati saya menerima tawaran itu, namun mau tidak mau saya harus belajar lagi karena jazz memang terkenal karena kompleksitas komposisinya. Dari situlah saya mulai menggali potensi diri, mengeksplorasi referensi, dan tentu saja berkarya. Dari sinilah kecintaan saya terhadap musik jazz mulai tumbuh dan tidak sekalipun hari-hari saya terlewat tanpa mendengarkan musik jazz. Melalui tulisan ini, saya akan berbagi referensi jazz untuk kita apresiasi bersama.

Akar dari jazz sebetulnya berasal dari komunitas Afro-Amerika di New Orleans, Amerika Serikat, di sekitar akhir abad ke 19 menuju awal ke abad 20. Keunikan kota yang multikultur dengan beragam warga migran baik itu yang berasal dari Prancis, Spanyol, maupun Afrika, menumbuhkan satu bentuk musik baru yang mengkombinasikan elemen blues, ragtime, dan brass band. Sebagai sebuah genre baru, jazz dengan cepat mendapatkan popularitas kala itu. Karena mitosnya, jazz tumbuh dari emosi para budak yang tertindas. 

Dari mulai panggung-panggung dansa dan klab-klab malam, musik jazz menggema hingga akhirnya menyebar ke kota-kota lain dan luar negeri. Warren Simon, seorang penulis dan pengamat musik berkata, "Hingga hari ini, New Orleans masih dipercaya sebagai kota kelahiran jazz, dan inilah yang menjadi salah satu daya tarik banyak wisatawan dari seluruh dunia untuk berkunjung ke kota ini."

Jazz sebagai kultur mulai diperkenalkan oleh seorang trumpeter dan penyanyi legendaris; Louis Armstrong, yang pada periode 1920-an hingga 1930-an pindah dari kota ke kota mulai New Orleans ke Chicago hingga New York, dan kemudian di kenal di seantero Amerika Serikat. Tradisi jazz perkotaaan ini kemudian dilanjutkan oleh maestro-maestro lain seperti Benny Goodman, Dizzy Gillespie, dan Ella Fitzgerald. Mereka sangat konsisten bernyanyi dan bermain musik bahkan ketika kondisi dunia tengah dalam perang yang berkecamuk antara blok barat dan blok timur.

Pasca perang, genre jazz berkembang menjadi beberapa varian. Bebop jazz muncul dengan sejumlah pionir seperti gitaris Django Reindhardt, trumpeter Charlie Parker, trumpeter Miles Davis, dan pianis Thelonius Monk. Lalu ada juga modern jazz yang lebih dekat dengan dunia pop seperti film dan tren fashion seperti corak baru yang disuguhkan oleh beberapa maestro seperti gitaris Charlie Christian, pianis Duke Ellington, dan saxophonist John Coltrane.

Dunia film dan seni pertunjukan juga tidak luput dari pengaruh jazz. Film-film dengan musik pengiring jazz big band banyak bermunculan kala itu seperti; Anatomy of a Murder (1959), I Want to Live! (1958), Round Midnight (1986), Paris Blues (1961), Sweet Smell of Success (1957), dan beberapa film terkenal lainnya. Bahkan film-film animasi di zaman itu seperti Felix the Cat, Tom and Jerry, dan kartun-kartun Disney (e.g. Donald Duck), konsisten menggunakan jazz sebagai music scoring nya. Sementara di seni pertunjukan kemunculan musisi eksentrik seperti composer Nat King Cole, gitaris Wes Montgomery, pianis Bud Powell, atau drummer Buddy Rich, telah berkontribusi signifikan dengan memberi warna baru musik jazz di era 1960-an.

Dengan kuatnya pengaruh jazz kala itu, maka bermunculan pula musisi baru yang mengusung jazz fusion dan jazz kontemporer sebagai bentuk pengembangan genre ini karena ada pengaruh dari genre lain seperti rock dan blues yang juga kuat eksistensinya di masa itu. Jazz fusion adalah campuran beberapa unsur musik dari genre funk, rock, dan jazz sehingga membentuk suara dan nuansa baru.

Beberapa nama yang cukup populer dan dianggap sangat berpengaruh di genre jazz fusion adalah keyboardist Chick Corea, duo saxophonist Brecker Brothers, keyboardist Herbie Hancock, trumpeter Wynton Marsalis, composer Antonio Carlos Jobim, gitaris Ted Greene, pianis Tania Maria, gitaris Frank Zappa, gitaris Allan Holdsworth, atau bassist Jaco Pastorius di sekitar 1970-an hingga 1980-an. 

Masih di era yang sama ada juga band-band kenamaan seperti Pat Metheny Group, Mahavishnu Orchestra, Weather Report, Level 42, dan Yellowjackets yang juga banyak membawa corak baru di dunia jazz. Bisa dibilang dari band-band tersebutlah muncul demam jazz yang kemudian melahirkan beberapa group band bergenre jazz di Asia seperti High Flying dan Casiopea di Jepang, atau Karimata, Krakatau, & Halmahera di Indonesia.

Ketika industri musik semakin berkembang dengan didukung media massa yang kuat, jazz kemudian tumbuh menjadi sebuah genre yang open terhadap pengaruh musik lain, baik itu yang latin, R&B, pop, soul, maupun elektro-pop. Kemunculan musisi jenius seperti Stevie Wonder misalnya, tentu sangat mempengaruhi dinamika dan corak musik industri kala itu.  Banyak lagu-lagunya yang sangat jazzable dan dimainkan hampir seluruh musisi di dunia bahkan hingga sekarang. Lagu seperti Superstition, Overjoyed, atau Isn't She Lovely sangat sering dijadikan lagu jamming saat para musisi berkumpul. Ini menunjukkan betapa nyaman lagu-lagu Stevie Wonder ketika dibawakan dengan genre yang berbeda. Stevie sendiri besar di label pop, namun kepiawaiannya bermain keyboard dan membuat komposisi banyak diakui musisi besar seperti Chick Corea, Herbie Hancock, Quincy Jones, hingga David Foster.

Penyanyi lain yang sempat menjadi sensasi di masanya adalah Frank Sinatra yang kerap memanjakan telinga para fans dengan suara merdunya di lagu-lagu indah seperti My Way, New York New York, dan tentu saja I've Got You Under My Skin yang banyak dianggap sebagai "The greatest swinging love song ever made" oleh banyak kritikus dan pengamat musik. 

Pencipta lagunya sendiri; Jimmy Webb, pernah berkata, "Frank nampaknya telah berhasil membentuk ulang gaya iringan sebuah big band (baca: pengiring musik jazz) bagaikan roket yang lepas landas. Saya bisa melihat itu dari wajahnya ketika band mulai bermain mengiringi lagu I've Got You Under My Skin. Dia seperti tengah berada di dimensi lain." Terlebih lagi, Milt Bernhardt, seorang trombonist, mengisi solo di lagu itu dengan sangat mengesankan. Walaupun mungkin setelah era tersebut kita melihat banyak bakat lain seperti Tony Bennet atau Michael Buble, namun kharisma yang dimiliki seorang Frank Sinatra tak akan tergantikan. 

Musisi dengan instrumen gitar juga ternyata banyak yang dianggap berpengaruh dan masih aktif hingga hari ini. Sebut saja nama-nama tenar seperti John Scofield, Robben Ford, atau Tommy Emanuel. Skill dan prestasi mereka bisa dibilang "tiada duanya". Bahkan di usia mereka yang sudah senja masih menyempatkan hadir di acara-acara komunitas gitar. 

Di era 1990-an hadir sebuah genre baru yang disebut urban jazz yang menggabungkan unsur pop dan soul dengan beberapa pionirnya seperti Dave Koz, Brian Culbertson, Lee Ritenour, dan Peter White. Dari sinilah kemudian genre jazz menjadi lebih dekat dengan budaya pop dan memiliki lebih banyak lagi fans di berbagai belahan dunia. 

Jazz sebagai sebuah genre memang bersifat open dan identik dengan improvisasi. Inilah yang membuat dia sangat playable ketika dipadukan dengan genre manapun. Maka tidak salah tentunya ketika sekarang kita disuguhkan dengan banyaknya talenta-talenta muda yang memiliki karya dan kualitas permainan yang sangat baik dimana setidaknya, mereka mengaku terinspirasi oleh kejayaan era jazz di masa lalu. 

Hal ini didukung dengan banyaknya promotor yang membuat konser-konser jazz reguler baik itu yang for-profit maupun yang non-profit. Di Italia ada Eddie Lang Jazz Festival, di Florida, USA, ada The Clearwater Jazz Holiday, sementara di Kanada ada The Montreal International Jazz Festival, lalu di Swiss ada The Montreux Jazz Festival, di Belanda ada North Sea Jazz Festival, di Jepang ada Tokyo Jazz Fest, di Korea ada Seoul Jazz Fest, sementara di Indonesia tentu saja ada Java Jazz Festival.

Dari event-event tersebut maka muncullah beberapa talent baru di belantika music jazz dunia yang sudah sering kita dengar hingga hari ini. Misalnya penyanyi dan bassist Esperanza Spalding yang diawal karirnya langsung menyabet 5 Grammy Awards, beberapa penghargaan lain di Boston, termasuk gelar doktor honoris causa dari almamaternya; Berklee College of Music. Nama lain misalnya Julian Lage yang bermain gitar dengan komposisi rumit lintas genre seperti waltz, salsa, country, bluegrass, hingga fusion.  

Di dunia rock, hadir pula jagoan baru seperti Guthrie Govan yang bermain dengan corak jazz fusion di tiap solo-solonya. Atau Greyson Nekrutman seorang drummer muda yang disebut-sebut sebagai reinkarnasi Buddy Rich. Ada juga bakat muda Korea seperti Yohan Kim yang sempat menjadi sensasi di Youtube. Sementara untuk gitaris mungkin ada Jesse Van Ruller di Belanda dan Nelson Veras di Prancis yang hingga hari ini masih sangat produktif berkatya dan tampil di berbagai acara musik bergengsi. 

Di bidang music composing ada juga beberapa nama yang dianggap prodigy dan bertalenta. Sebut saja Jacob Collier yang sudah menyabet 4 Grammy Awards, atau Kirk Franklin yang sukses membawa unsur jazz di karya-karya gospelnya. Band-band baru juga banyak bermunculan misalnya Dirty Loops, Snarky Puppy, Ghost Note, D' Sound, Peet Project, dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan musik jazz dalam negeri? Tentu saja tidak kalah luar biasa. Dari era nya Jack Lesmana, Oele Pattiselano, Embong Rahardjo, Bubby Chen, hingga Faris RM misalnya tentu saja sudah pernah berjaya di masa lalu yakni ketika industri musik tanah air masih belum terliberalisasi oleh pasar digital seperti sekarang. Mereka adalah para guru besar musik jazz kita. Bahkan nama-nama mereka disebut dalam lagu Stretch N' Pause karya LLW. Sementara itu, maestro lain yang cukup produktif di masa kini juga banyak. Sebut saja Tohpati, Indro Hardjodikoro, Barry Likumahuwa, Indra Lesmana, Sandy Winata, Rayendra Sunito, Sri Hanuraga, Geral Situmorang, dan tentu saja bakat muda dari Bali kebanggaan kita; Joey Alexander yang sekarang tinggal di New York, USA, dan pernah mendapat 3 nominasi Grammy Awards, 1 nominasi Panasonic Awards, dan memenangkan Anugrah Musik Indonesia di 2018 untuk kategori artis instrumental jazz terbaik.

Masih teringat betul percakapan saya dengan mendiang Prof. Dr. Totok Sumaryanto dari Universitas Negeri Semarang ketika sama-sama menjadi pembicara seminar di salah satu perguruan tinggi di Semarang, dimana beliau berkata, "Jazz dan spiritualitas itu dekat. Karena sama-sama bisa menjangkau langit." Saya pribadi setuju dengan pandangan tersebut karena memang ada estetika musik dan unsur budaya di dalam dunia jazz yang mewujud dalam nada & suara dimana dari situlah kita bisa mendengar pesan bersayap berupa emosi, jeritan hari, ungkapan perasaan, serta tentu saja harapan dan doa.

Melalui tulisan ini saya mengajak rekan-rekan pecinta musik untuk mendengar dan merasakan nada-nada jazz dalam berbagai bentuknya. Agar kita setidaknya mampu berapresiasi, untuk kemudian bisa memaknai hidup dari kacamata jazz, sebuah musik yang paling mengerti tentang arti kebebasan, kreativitas, dan tentang menjadi diri sendiri. Karena seperti kata Nina Simone, "Jazz is not music, it's a way of life, it's a way of being, a way of thinking."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun