Pada pertengahan bulan Maret tahun 2016, saya berkesempatan mengikuti sebuah kelas online yang diselenggarakan oleh Berklee. Kelas itu adalah sebuah pembelajaran musik dengan fokus pada improvisasi jazz yang diajar oleh professor Gary Burton, seorang vibranophonist dan musisi jazz senior asal Amerika yang sudah sering manggung bersama para legenda jazz dunia seperti Thelonius Monk, Chick Corea, Stan Getz, Eric Clapton, Pat Metheny, Julian Lage, dll. Beliau juga memenangkan 7 Grammy Awards dan sekarang menjabat sebagai dekan sebuah fakultas di Berklee College of Music, Boston, USA.
Kelas online dengan total 6 pertemuan, 6 tugas, 6 kuis, dan 1 project tersebut diikuti oleh ratusan peserta dari seluruh dunia yang terhubung dengan internet dimana kelas begitu interaktif dengan adanya peer review dan lecturer's feedback. Saya beruntung karena bisa menyelesaikannya dengan nilai baik, karena memang saat itu tidak sedikit juga peserta yang underperform sehingga harus mengulang.Â
Pengalaman bersama professor Gary Burton tersebut mengajarkan saya tentang betapa kompleks musik jazz itu ketika di dalami dan dihayati karena harmonisasi dan kesesuaian nada-nada itu ada aturannya.Â
Memang, tidak ada wrong note dalam jazz, yang ada adalah wrong harmony. Artinya, ketika sebuah nada berdiri sendiri maka tidak ada yang salah dengannya, namun ketika dia harus berdiri bersama dengan akor pengiringnya dalam sebuah progresi, maka keduanya harus berkesesuaian.Â
Disitulah seninya jazz, memiliki kebebasan untuk berkreasi (baca: improvisasi), namun tetap diberi batasan teoretis agar tetap kontekstual dan memiliki keteraturan dalam harmonisasi. Tidak liberal.
Sebagai seseorang yang mengawali karir musik di genre rock dan pop, tidak sedikit teman yang bertanya terkait dengan peminatan saya pada jazz. Suatu ketika di masa muda, saya pernah bergabung dengan band asal Semarang bernama Chocolate Dream Berry yang kala itu berjalan di jalur indie dengan genre jazz. Dengan senang hati saya menerima tawaran itu, namun mau tidak mau saya harus belajar lagi karena jazz memang terkenal karena kompleksitas komposisinya. Dari situlah saya mulai menggali potensi diri, mengeksplorasi referensi, dan tentu saja berkarya. Dari sinilah kecintaan saya terhadap musik jazz mulai tumbuh dan tidak sekalipun hari-hari saya terlewat tanpa mendengarkan musik jazz. Melalui tulisan ini, saya akan berbagi referensi jazz untuk kita apresiasi bersama.
Akar dari jazz sebetulnya berasal dari komunitas Afro-Amerika di New Orleans, Amerika Serikat, di sekitar akhir abad ke 19 menuju awal ke abad 20. Keunikan kota yang multikultur dengan beragam warga migran baik itu yang berasal dari Prancis, Spanyol, maupun Afrika, menumbuhkan satu bentuk musik baru yang mengkombinasikan elemen blues, ragtime, dan brass band. Sebagai sebuah genre baru, jazz dengan cepat mendapatkan popularitas kala itu. Karena mitosnya, jazz tumbuh dari emosi para budak yang tertindas.Â
Dari mulai panggung-panggung dansa dan klab-klab malam, musik jazz menggema hingga akhirnya menyebar ke kota-kota lain dan luar negeri. Warren Simon, seorang penulis dan pengamat musik berkata, "Hingga hari ini, New Orleans masih dipercaya sebagai kota kelahiran jazz, dan inilah yang menjadi salah satu daya tarik banyak wisatawan dari seluruh dunia untuk berkunjung ke kota ini."
Jazz sebagai kultur mulai diperkenalkan oleh seorang trumpeter dan penyanyi legendaris; Louis Armstrong, yang pada periode 1920-an hingga 1930-an pindah dari kota ke kota mulai New Orleans ke Chicago hingga New York, dan kemudian di kenal di seantero Amerika Serikat. Tradisi jazz perkotaaan ini kemudian dilanjutkan oleh maestro-maestro lain seperti Benny Goodman, Dizzy Gillespie, dan Ella Fitzgerald. Mereka sangat konsisten bernyanyi dan bermain musik bahkan ketika kondisi dunia tengah dalam perang yang berkecamuk antara blok barat dan blok timur.
Pasca perang, genre jazz berkembang menjadi beberapa varian. Bebop jazz muncul dengan sejumlah pionir seperti gitaris Django Reindhardt, trumpeter Charlie Parker, trumpeter Miles Davis, dan pianis Thelonius Monk. Lalu ada juga modern jazz yang lebih dekat dengan dunia pop seperti film dan tren fashion seperti corak baru yang disuguhkan oleh beberapa maestro seperti gitaris Charlie Christian, pianis Duke Ellington, dan saxophonist John Coltrane.
Dunia film dan seni pertunjukan juga tidak luput dari pengaruh jazz. Film-film dengan musik pengiring jazz big band banyak bermunculan kala itu seperti; Anatomy of a Murder (1959), I Want to Live! (1958), Round Midnight (1986), Paris Blues (1961), Sweet Smell of Success (1957), dan beberapa film terkenal lainnya. Bahkan film-film animasi di zaman itu seperti Felix the Cat, Tom and Jerry, dan kartun-kartun Disney (e.g. Donald Duck), konsisten menggunakan jazz sebagai music scoring nya. Sementara di seni pertunjukan kemunculan musisi eksentrik seperti composer Nat King Cole, gitaris Wes Montgomery, pianis Bud Powell, atau drummer Buddy Rich, telah berkontribusi signifikan dengan memberi warna baru musik jazz di era 1960-an.