Ketika bangsa Eropa mulai datang ke wilayah Nusantara, bangsa Eropa memulainya dengan transaksi berdagang, lalu bekerja sama dengan otoritas daerah tersebut, memonopoli perdagangan, menguasai pasar, pelabuhan, dan menguasai wilayah. Setelah menguasai wilayah, bangsa Eropa mulai menerbitkan aturan-aturan perpajakan guna mendukung operasionalnya dalam memperluas pemerintahannya. Sistem kerja paksa juga mendorong terbitnya berbagai aturan perpajakan guna mendapat potensi keuangan dari transaksi hasil tanam paksa. Pajak yang dikenal ini dapat berupa pajak pintu gerbang untuk arus barang dan orang, pajak penjualan barang di pasar, dan pajak terhadap rumah.
Perpindahan pemerintahan dari Belanda ke tangan Inggris dalam masa Gubernur Jenderal Raffles juga menghasilkan cikal bakal pajak yang saat ini kita juga kenal, yakni Pajak Bumi dan Bangunan, pajak ini dikenal sebagai pemungutan sewa tanah pada masa itu. Hal ini berlanjut sampai pada pemerintahan kembali ke penguasaan Belanda dan Jepang.Â
Setelah era kemerdekaan pemerintahan era Presiden Soekarno, keadaan Indonesia masih dalam kondisi yang tidak terlalu stabil, hal ini mengakibatkan tidak terlalu banyaknya perubahan dalam sistem perpajakan yang dianut, hal ini menjadikan penerapan perpajakan pada masa kolonial masih digunakan pada masa ini. Perlahan pemerintah mulai membenahi peraturan perpajakan, semisal pada tahun 1957 pemerintah merevisi Pajak Peralihan menjadi Pajak Pendapatan.
Selama masa itu, sistem pemungutan perpajakan di Indonesia menganut sistem perpajakan Official Assessment, yang berarti wewenang penetapan besaran pajak terdapat pada pemerintah. Sistem Official Assessment ini berlangsung sampai tahun 1983 sampai diganti menjadi sistem Self Assessment. Reformasi perpajakan dilakukan melalui PSPN (Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional) dengan menerbitkan lima paket UU Perpajakan, yaitu KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), PPh (Pajak Penghasilan), PPN dan PPnBM, PBB serta Bea Materai. Sejak saat itu Indonesia masuk ke era pajak yang berbeda dalam sistem pemungutannya. Sistem pemungutan yang berbeda menjadi self-assessment ini yang menyerahkan secara penuh tanggungjawab perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak kepada Wajib Pajak mendorong terjadinya satu pilar dalam perpajakan saat ini, yakni pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak adalah pilar utama dalam sistem self-assessment yang berfungsi sebagai instrumen untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak atas pemenuhan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam hal PPN, di mana transaksi perpajakan atas arus barang dan jasa yang menjadikan dasarnya adalah Faktur Pajak. Faktur Pajak adalah dokumen bagi penjual sebagai bukti otentik yang menerangkan bahwa pihak penjual telah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pihak pembeli dan bagi pihak pembeli adanya faktur pajak maka PKP dapat mengkreditkan/mengurangi PPN yang harus dibayar. Faktur Pajak berperan besar dalam hal penentuan dasar pengenaan pajak atas transaksi penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak. Namun Faktur Pajak manual yang sebelumnya dapat dibuat oleh PKP Penerbit Faktur Pajak memiliki beberapa kendala, yakni adanya transaksi bodong dalam bentuk Faktur Pajak Fiktif, hal ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1.5 triliun. Besarnya kerugian yang ditanggung negara mengakibatkan DJP menerbitkan reformasi besar-besaran pada pemungutan perpajakan berupa e-faktur.Â
E-faktur juga memiliki beberapa manfaat, yakni:
pengurangan tanda tangan basah yang digantikan dengan tanda tangan elektronik
e-faktur tidak harus selalu dicetak, sehingga mereduksi biaya cetak dan biaya penyimpanan
e-faktur yang diterbitkan dalam aplikasi e-faktur dapat sekaligus membuat pelaporan SPT Masa PPN
permintaan nomor seri faktur pajak dapat dilakukan pada situs pajak
terlindung dari adanya penyalahgunaan faktur pajak yang tidak benar, karena pihak pembeli dapat mengecek keabsahan faktur pajak yang memiliki QR Code
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!