Mohon tunggu...
Ndr. Ayu Nurdiana
Ndr. Ayu Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya

Jangan lupa tinggalkan komentar & saran yang membangun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebelum Tiba Sang Pagi

21 Desember 2019   17:51 Diperbarui: 21 Desember 2019   17:50 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Ndr. Ayu Nurdiana

(02:15 AM)

Dan aku masih setia pada lembar-lembar terakhir novel usang yang bahkan tak kupahami apa yang baru saja kubaca huruf demi huruf dalam susunan kata-kata. Sesekali kudengar ayam rumah tetangga berkokok dari jendela kamarku yang sengaja tak ingin kututup rapat malam ini. Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela membuatku sedikit merasa lega, bahwa setidaknya ada yang bersedia memelukku walaupun hanya angin malam.

Entah apa yang mengusik kesehatanku akhir-akhir ini. Objek pandang mataku terasa semakin buram, apa minusnya bertambah, begitu pikirku. Kulit dan bibirku mengering, terlebih akan terasa perih jika bergesekan dengan suatu benda bertekstur agak keras, rambutku yang panjang kian menipis akibat rontok yang terlihat tak wajar, namun aku adalah orang yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada rambut, toh akan tertutup hijab juga. Satu lagi, persendian seringkali terasa nyeri, terutama ketika melakukan gerakan shalat, hingga terkadang ingin menjerit didalam hati rasanya. "Ya Allah, sakit sekali!".

Sepertinya malam ini cukup dingin. Peralihan musim panas pada musim hujan. Terdengar dari suara ngorok tetangga kamarku yang sepertinya terlelap nyenyak sekali. Bagai bayi baru lahir yang tertidur di pangkuan ibu sehabis diberi ASI. Tapi mengapa, dinginnya sungkan menyapaku?!. Tubuhku masih saja ingin duduk di hadapan kipas angin yang menyala. Benar-benar ada yang tak beres, gumamku dalam hati. Namun tak apalah, toh aku memang sedari dulu adalah orang yang berbeda dari orang lain. Begitu kata guru SD padaku. Jadi, mungkin tubuhku juga sedang berekspresi menjadi berbeda.

Seketika mataku melirik ke arah meja, kemudian ke rak buku dimana terdapat sebuah jam tangan kecil berwarna silver dengan angka-angka Arab yang diberikan seseorang, oleh-oleh dari Mesir katanya. Ternyata sudah pukul setengah empat pagi, artinya adzan subuh tak lebih dari setengah jam lagi. Belum ada tanda-tanda kantuk yang menghampiri. Padahal, dulunya aku adalah orang yang sangat posesif pada waktu istirahat, aku selalu tertidur pada jam sepuluh malam dan terbangun jam 4:30 pagi. Sudah sangat cukup untuk memulai hari dengan ceria dan bersemangat. Meski sebenarnya tak pernah ada yang menyemangati. Namun segalanya berubah sejak memasuki semester 5 pada bangku perkuliahan, banyaknya tugas dan tututan para dosen seringkali membuatku kalap, mungkin tak hanya aku, semua mahasiswa semester senja barangkali merasakan hal yang sama. Dikejar deadline, analisis teori, presentasi, terjemah, mencari naskah, dan segala warna warni drama didalamnya.

Tak beranjak, pandanganku masih terhenti pada jam tangan itu. Apakah gerangan, entah sebab pantulan cahaya yang bersumber darinya atau sosok pria yang menghadiahkannya padaku. Kuangkat pandanganku dari jam itu dan kupejamkan kedua mataku. Kuhela nafas dalam-dalam. Dan lagi-lagi, yang terbayang dalam kelopak mataku adalah wajah lelaki itu, pemuda yang belum bisa sepenuhnya kupercayai ketika ia berkata rindu padaku. Kupikir, jika benar rindu maka bukanlah hal yang sulit untuk sekedar meneleponku, atau hanya menyapa lewat pesan singkat. Sedangkan ia, seringkali kuperhatikan notifikasi whatsapp yang sedang 'online' namun tak sekalipun bersedia mengirim pesan padaku.

Dia tidak sedang benar-benar rindu. Barangkali balasan pesannya kemarin hanya untuk menghiburku, membalas rinduku yang tulus kusampaikan sebenar-benarnya. Gumamku sendiri. Pikiranku seolah berlarian kemana-mana. "Bukan tak mungkin, dia kan punya banyak fans ukhti-ukhti shalihah, para hafidzhah, bercadar dan tidak, cantik dan rupawan, bisa bebas pilih yang mana" kataku, mungkin sedang sibuk membalas pesan yang masuk dari mereka satu per satu. Bagai hilir dan mudik, jauh sekali jika dibandingkan denganku ini.

Ya, setidaknya aku mawas diri, aku sering bercermin dengan apa yang ada pada diri. Apa aku masuk dalam kriteria tipe nya? Aku kan biasa-biasa saja. Pun tak ada yang dapat kubanggakan dari diriku. Aku bingung apakah dia benar mencintaiku. Atau, pernahkah ia mencintaiku?. Mengapa ada kebingungan semacam ini di dunia. Seperti kebingungan yang dialami orang-orang yang sedang mencari tuhan atau kebahagiaan dengan tangan kosong. Mengapa ada kebingungan semacam ini dalam diriku? Apakah aku orang jahat? Walaupun setiap hari mataku telah berjumpa dengan ratusan pasang mata, dan bayanganku masih saja melukiskan dia yang jauh dan bahkan tak pernah memikirkanku, "Haha". Kutertawai khayalanku sendiri.

Tetapi hal itu secepat mungkin berlalu. Dunia ini dan diriku seketika kembali normal denganku yang masih terbaring di kasur dengan menanti rasa kantuk hinggap pada kelopak mata. Kupadukan kedua telapak tangan dan kuletakkan dibawah pipi. Desember, telah lewat setahun sejak pertama kali pria itu mengajakku berkenalan lewat instagram. "Assalamualaikum", aku masih ingat betul pesan pertama yang ia kirimkan padaku. Kemudian kupalingkan badanku ke sebelah kanan, berhadapan dengan tembok kamar yang setengahnya ku tempeli stiker bergambar bunga-bunga mawar kecil berwarna merah jambu. Aku suka bunga, aku suka warna merah muda, aku suka buah-buahan, dan aku paling suka berkhayal.

Ku ingat-ingat lagi, setahun lalu, mengapa aku begitu mudah memberikan nomer ponselku pada orang yang baru ku kenal beberapa menit sebelumnya, lewat media sosial, serta belum pernah kulihat wujud dan rupanya. Sedangkan sebelum itu, aku mati-matian tak ingin memberikan nomer ponselku pada seorang abang kelas yang sejak SMP hingga kini masih kembali mengejar perhatianku. Apa aku sudah gila. Atau, apa aku murahan?!. Saat itu, ku buka pofil akunnya. Kujelajahi satu persatu foto yang berderet di halaman instagram di layar ponselku. "Sepertinya orang baik-baik", ucapku dalam hati. Konyol, aku baru saja menjadi stalker bagi seorang yang kuhadiahi nomer whatsapp nan tak semua teman pria dapat memperolehnya dengan bebas.

Hari-hariku berlalu dengan wajar setelah itu. Dia mengirimkanku pesan hampir setiap pagi dan malam hari.  Hingga suatu masa saat aku baru saja hendak keluar dari kelas kuliah terakhir hari itu, kurasakan getaran ponsel dari saku gamisku yang berwarna biru dongker, kulihat pesan darinya mengajakku berbicara lewat obrolan video. Aku panik bukan main. Seperti bumbu takut, malu, senang, sungkan, diaduk menjadi satu menghasilkan perasaan yang gado-gado. "Aku kan lagi jelek hari ini, duuh", keluhku dalam hati.

Sial, mengapa harus sekarang juga, mendadak sekali, tak bisakah menunggu nanti saja, atau nanti malam setelah aku mandi. Aku merasa tak percaya diri, barangkali bedak dan liptint ku sudah hilang tak membekas oleh wudhu' shalat asar tadi. Terlebih bekas jerawatku yang timbul saat haid ini sungguh tak enak dilihat. Belum selesai aku bergumam, ponselku bergetar lagi, kali ini getarannya lebih kencang. Ya, obrolan video.

Aku kembali masuk ke ruang kelas. Dengan perasaan yang masih gado-gado, kuseret sebuah kursi ke bagian sudut kelas hingga berdekatan dengan AC. Barangkali mampu sedikit mendinginkan ragaku yang panas. Ku tekan menu berwarna hijau. Dengan menutupi setengah wajahku menggunakan kerudung, kusapa "Assalamualaikum". Lawan bicaraku membalas, untuk pertamakalinya ku dengar suara itu. Suaranya cukup merdu dan tak begitu maskulin. Hubungan sebenarnya yang kulakukan dengan laki-laki itu hanyalah dengan apa yang tampak pada layar ponselku saja. Pandang mata dan senyum itu mengusir rasa aneh yang baru saja kurasakan. Gaya dan tutur katanya yang baik menandakan bahwa ia sungguh adalah pria baik-baik.

Percakapan pertamaku dengan laki-laki itu menjadi seolah nyata di tengah-tengah hubungan jarak yang sebenarnya tidak nyata. Tetap saja, belum kurasakan apa-apa. Tak ada sedikitpun bayangan bahwa aku jatuh cinta padanya. Barangkali kami akan jadi teman dekat, layaknya teman-teman dekatku yang lain. Yang ketika mereka butuh bantuan, aku bisa sedikit membantu, begitu pula giliranku. Cukup manis, ia mengenakan jaket hoodie berwarna hitam dibawah terik matahari yang menyinari bahunya yang tegap.

Katanya, itu matahari palsu. Terik tak sebanding dengan suhu musim dingin Mesir yang hanya 9 derajat celcius kala itu. Ku lihat-lihat lagi, rambutnya cukup panjang hingga ke telinga. Mungkin tak ingin mencukur rambut dahulu agar terasa sedikit lebih hangat ditengah musim dingin yang panjang, tebakku. Beberapa menit saja, percakapan pertama kami selesai, dan aku berlomba dengan senja untuk segera pulang ke asrama.
***
Kediri, 16 Agustus. Apa yang selama ini kuanggap khayalan semata kini berada tepat didepanku. Berdiri tegak, tingginya ternyata tak jauh berbeda dengan tubuhku. Tapi, inilah kenyataan. Entah apa rencana tuhan diatas sana. Yang pasti adalah, kesabaran akan selalu menjanjikan berbuah manis. Sekujur tubuhku terasa dingin, keringatku terasa menetes dari balik dahi meski tak dapat kulihat. Ini dingin yang membahagiakan, bak salju yang turun setelah dinanti berbulan-bulan. Pria yang kucintai datang padaku, berhasil mengalahkan jarak antara benua Afrika dan Asia. Berulang kali kuucapkan "Masya Allah" dalam hati. Berterimakasih, padanya, pada tuhan, dan pada diriku sendiri atas takdir yang menimpaku saat ini.
"Kanda, jika boleh memilih, aku ingin ikut bersamamu. Kemanapun, asal bersamamu."
 
***
(5:50 AM)
Ketika aku membuka mata, kudapati diriku baru saja tertidur, tapi tidak dengan pikiranku. Tidak, pikiran dan khayalanku tentangnya tak pernah ada istirahat. Kuusap wajahku dengan sebelah telapak tangan, kulihat ada bekas darah mimisan yang telah mengering, mungkin sudah keluar sejak 2 jam yang lalu. Lagi-lagi tak kusadari. Aku pun duduk dari pembaringan dan kulihat pula ada bekas darah yang mengenai sarung bantal.
tess.. tesss..

Dua tetes jatuh lagi dan basah hingga ke bibir. Ternyata ini bukan mimisan seperti biasa, kali ini lebih banyak, dan belum berhenti. Segera kuambil telepon genggam dan ku tuju pada kontak ibu. Namun, niat ku terhenti. Bukankah tak akan membantu apapun, jika kuberitahu beliau. Yang ada, malah semakin memperburuk dan menambah pikiran ibu mencemaskanku. Barangkali begitu. Ah, hal kecil begini sudah biasa kuselesaikan sendiri. Cukup dibersihkan dan diakhiri dengan berwudhu.

Aku keluar dari kamar mandi dengan tisu masih tersumbat di lubang hidung. Aku duduk di bibir ranjang dan untuk sekian kalinya kupandangi foto lelaki ber-kemeja putih di dompetku. Entah apa yang merasukiku hingga menjad seperti ini. Barangkali ada yang menganggapku bodoh. Atau aku saja yang terlalu terobsesi. Atau, aku sedang menjadi people pleaser-nya. Aku memang tak mengungkapkan bahwa aku mencintainya setiap hari, mendoakan keselamatannya, atau apapun itu. Tidak, barangkali ia akan merasa risih akan kehadiranku. Entahlah, aku hanya sedang ingin memikirkannya dan memenuhi memori otak pagi ini dengan sesuatu tentangnya. "Apa aku gila" gumamku.

Pagi ini cerah, terlihat ada cahaya matahari yang malu-malu masuk kamarku. Layaknya aku yang masih malu-malu memberitahu manusia sekitarku bahwa 'Aku Sedang Tidak Baik-Baik Saja'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun