Mohon tunggu...
Ndr. Ayu Nurdiana
Ndr. Ayu Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya

Jangan lupa tinggalkan komentar & saran yang membangun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebelum Tiba Sang Pagi

21 Desember 2019   17:51 Diperbarui: 21 Desember 2019   17:50 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hariku berlalu dengan wajar setelah itu. Dia mengirimkanku pesan hampir setiap pagi dan malam hari.  Hingga suatu masa saat aku baru saja hendak keluar dari kelas kuliah terakhir hari itu, kurasakan getaran ponsel dari saku gamisku yang berwarna biru dongker, kulihat pesan darinya mengajakku berbicara lewat obrolan video. Aku panik bukan main. Seperti bumbu takut, malu, senang, sungkan, diaduk menjadi satu menghasilkan perasaan yang gado-gado. "Aku kan lagi jelek hari ini, duuh", keluhku dalam hati.

Sial, mengapa harus sekarang juga, mendadak sekali, tak bisakah menunggu nanti saja, atau nanti malam setelah aku mandi. Aku merasa tak percaya diri, barangkali bedak dan liptint ku sudah hilang tak membekas oleh wudhu' shalat asar tadi. Terlebih bekas jerawatku yang timbul saat haid ini sungguh tak enak dilihat. Belum selesai aku bergumam, ponselku bergetar lagi, kali ini getarannya lebih kencang. Ya, obrolan video.

Aku kembali masuk ke ruang kelas. Dengan perasaan yang masih gado-gado, kuseret sebuah kursi ke bagian sudut kelas hingga berdekatan dengan AC. Barangkali mampu sedikit mendinginkan ragaku yang panas. Ku tekan menu berwarna hijau. Dengan menutupi setengah wajahku menggunakan kerudung, kusapa "Assalamualaikum". Lawan bicaraku membalas, untuk pertamakalinya ku dengar suara itu. Suaranya cukup merdu dan tak begitu maskulin. Hubungan sebenarnya yang kulakukan dengan laki-laki itu hanyalah dengan apa yang tampak pada layar ponselku saja. Pandang mata dan senyum itu mengusir rasa aneh yang baru saja kurasakan. Gaya dan tutur katanya yang baik menandakan bahwa ia sungguh adalah pria baik-baik.

Percakapan pertamaku dengan laki-laki itu menjadi seolah nyata di tengah-tengah hubungan jarak yang sebenarnya tidak nyata. Tetap saja, belum kurasakan apa-apa. Tak ada sedikitpun bayangan bahwa aku jatuh cinta padanya. Barangkali kami akan jadi teman dekat, layaknya teman-teman dekatku yang lain. Yang ketika mereka butuh bantuan, aku bisa sedikit membantu, begitu pula giliranku. Cukup manis, ia mengenakan jaket hoodie berwarna hitam dibawah terik matahari yang menyinari bahunya yang tegap.

Katanya, itu matahari palsu. Terik tak sebanding dengan suhu musim dingin Mesir yang hanya 9 derajat celcius kala itu. Ku lihat-lihat lagi, rambutnya cukup panjang hingga ke telinga. Mungkin tak ingin mencukur rambut dahulu agar terasa sedikit lebih hangat ditengah musim dingin yang panjang, tebakku. Beberapa menit saja, percakapan pertama kami selesai, dan aku berlomba dengan senja untuk segera pulang ke asrama.
***
Kediri, 16 Agustus. Apa yang selama ini kuanggap khayalan semata kini berada tepat didepanku. Berdiri tegak, tingginya ternyata tak jauh berbeda dengan tubuhku. Tapi, inilah kenyataan. Entah apa rencana tuhan diatas sana. Yang pasti adalah, kesabaran akan selalu menjanjikan berbuah manis. Sekujur tubuhku terasa dingin, keringatku terasa menetes dari balik dahi meski tak dapat kulihat. Ini dingin yang membahagiakan, bak salju yang turun setelah dinanti berbulan-bulan. Pria yang kucintai datang padaku, berhasil mengalahkan jarak antara benua Afrika dan Asia. Berulang kali kuucapkan "Masya Allah" dalam hati. Berterimakasih, padanya, pada tuhan, dan pada diriku sendiri atas takdir yang menimpaku saat ini.
"Kanda, jika boleh memilih, aku ingin ikut bersamamu. Kemanapun, asal bersamamu."
 
***
(5:50 AM)
Ketika aku membuka mata, kudapati diriku baru saja tertidur, tapi tidak dengan pikiranku. Tidak, pikiran dan khayalanku tentangnya tak pernah ada istirahat. Kuusap wajahku dengan sebelah telapak tangan, kulihat ada bekas darah mimisan yang telah mengering, mungkin sudah keluar sejak 2 jam yang lalu. Lagi-lagi tak kusadari. Aku pun duduk dari pembaringan dan kulihat pula ada bekas darah yang mengenai sarung bantal.
tess.. tesss..

Dua tetes jatuh lagi dan basah hingga ke bibir. Ternyata ini bukan mimisan seperti biasa, kali ini lebih banyak, dan belum berhenti. Segera kuambil telepon genggam dan ku tuju pada kontak ibu. Namun, niat ku terhenti. Bukankah tak akan membantu apapun, jika kuberitahu beliau. Yang ada, malah semakin memperburuk dan menambah pikiran ibu mencemaskanku. Barangkali begitu. Ah, hal kecil begini sudah biasa kuselesaikan sendiri. Cukup dibersihkan dan diakhiri dengan berwudhu.

Aku keluar dari kamar mandi dengan tisu masih tersumbat di lubang hidung. Aku duduk di bibir ranjang dan untuk sekian kalinya kupandangi foto lelaki ber-kemeja putih di dompetku. Entah apa yang merasukiku hingga menjad seperti ini. Barangkali ada yang menganggapku bodoh. Atau aku saja yang terlalu terobsesi. Atau, aku sedang menjadi people pleaser-nya. Aku memang tak mengungkapkan bahwa aku mencintainya setiap hari, mendoakan keselamatannya, atau apapun itu. Tidak, barangkali ia akan merasa risih akan kehadiranku. Entahlah, aku hanya sedang ingin memikirkannya dan memenuhi memori otak pagi ini dengan sesuatu tentangnya. "Apa aku gila" gumamku.

Pagi ini cerah, terlihat ada cahaya matahari yang malu-malu masuk kamarku. Layaknya aku yang masih malu-malu memberitahu manusia sekitarku bahwa 'Aku Sedang Tidak Baik-Baik Saja'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun