Mohon tunggu...
Pandu T. Amukti
Pandu T. Amukti Mohon Tunggu... Administrasi - Dokter Hewan

I am officially a Veterinarian, writer, reader, listener, and wish to make a happen: Husnul Khotimah in the end :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hajinya Akung dan Uti yang Mendebarkan Hati

11 Oktober 2015   04:41 Diperbarui: 11 Oktober 2015   10:08 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kreeeeeeeekkkkk, brruuuuk… “Alloh… Alloh… Allohuakbar!” Crane yang terpasang menjulang di langit Masjidil Haram jatuh. Bergemuruh bersamaan cuaca yang kurang bersahabat. Angin tak bersemilir namun menghempas. Syahdu dan mesra hamba-hamba Alloh saat berintiman dengan-Nya seketika ambyar. Lisan para tamu Alloh malam itu kelu. Sebagian lain berdzikir terkejut melihat apa yang terjadi di depan tatapan mata. Allohuakbar, tangis merintih, darah bercucuran, tubuh-tubuh yang tertindih alat berat itu bergelimpang. Puluhan awalnya, kemudian seratus lebih jiwa yang menjadi korban syahid.

Sabtu dini hari saya terbangun. Menikmati rutinitas menegak menengadah dalam buliran kasih, rahmat, dan kenikmatan bermunajat. Sejenak membuka handphone, sebuah foto saya terima. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un… Crane ambruk, saya yakin muslim sedunia beristirja’ karenanya. Hati saya berdebur, jantung berdegup, menghati-hati menekan keypad handphone. Akung saya coba hubungi. Tulalit! Tidak tersambung.

Tidak hentinya saya berkomat-kamit menyambung doa keselamatan untuk Akung dan Uti yang sedang bertamu di pelataran Haromain. Lindungilah beliau berdua dari segala musibah ya Alloh. Subuh itu saya memacu gas motor menuju Tambak Bening untuk tholabul elm. Dada saya bergemuruh kencang, suara mesin yang saya tunggangi rasanya kalah.

Sekitar 11.00, parau pita suara khas terdengar di gendang telinga saya, “Aku sehat, selamat. Waktu kejadian aku dan uti ada di penginapan.” Hamdalah, Engkau karuniakan kesentausaan untuk beliau berdua. Hati yang sempat terburai menanti kabar ini tiba-tiba bertaut menyatu padu lagi. Sungguh mendebarkan hati!

------------------------

Sakralnya pelaksanaan ibadah haji tahun 2015 ini membuat hati sanak kadang, kerabat, dan sahabat menyemburat di kejauhan. Bagaimana tidak, di hari-hari terakhir ibadah haji hampir usai tragedi Mina dengan korban yang lebih banyak dibanding jatuhnya bebesian crane tertakdir. Kabar ini membuat saya menganga dan tergugu untuk melantunkan doa keselamatan terkhusus pada akung dan uti. Mina seakan-akan Dia takdirkan agar muslim-mukmin menderas doa untuk saudara seiman yang sedang berihram.

Lagi-lagi akung tidak bisa langsung dihubungi saat itu. Sampai saya coba kirimkan pesan menanyakan kabar akung uti disana. Tak kunjung berbalas. Hingga keesokan harinya 60 menit sebelum adzan sholat Jum’at Kota Surabaya berkumandang. “Alhamdulillah,” sedikit serak suaranya, “sudah kugenapkan lempar jumroh sebelum kecelakaan Mina itu terjadi,” kata akung.

Kalimat baik ini membinarkan mata sekaligus hati saya. Alhamdulillah, selamatkan beliau berdua hingga tiba di nusantara ini Ya Robb. Sungguh mendebarkan hati!

------------------------

Kesaktian pancasila. Kamis pagi siaran berita mewartakan persiapan upacara hari Kesaktian Pancasila. Euforia Pancasila begitu semarak. Saya hampir terlupa kalau akung dan uti akan tiba di tanah Jawa. Takdir Alloh selepas Maghrib saya membuka kontak BBM dimana salah satu putri menantu bungsu akung memasang foto profil akung dan uti. Seketika saya coba menghubungi nomor ponsel akung. Tersambung, tuuuut… tuuuut… lalu diangkat. “Haloooo, Assalamu’alaikum,” kali ini suara akung lebih serak, “aku wes nang Juanda,” lanjutnya sumringah.

Tarikan gas motor saya sungguh bergairah. Asrama Haji Sukolilo Surabaya menjadi destinasi saya. Bibir saya terbungkam. Para penjemput dan penyambut tamu Alloh menyemut. Riuh-rendahnya menanti penyandang mabrur. Jangankan memarkir, beroleh pintu gerbang untuk masuk pun tidak. Hampir saja saya meninggalkan titik poin tibanya jamaah haji. Duduk di sebuah bruk sembari mencari akal bagaimana cara agar bisa bersua dengan akung dan uti terkasih.

Mencoba peruntungan, saya kendarai motor ke sebuah gang yang katanya untuk parkir penjemput. Benar memang kita bisa melihat jamaah haji yang baru tiba, namun terhijab oleh pagar besi pembatas yang memanjang. Pagarnya berujung namun terjaga oleh petugas keamanan. Menghimpit besi-besi pagar terdepan adalah ikhtiar agar bisa berteriak memanggil akung dan uti.

Sebakda rombongan haji Madiun meninggalkan asrama haji, kini giliran jamaah asal Bondowoso yang siap menumpangi bus yang terparkir rapi. Disinilah saatnya bertemu. Para jamaah keluar dari asrama menuju bus yang telah panitia tentukan. Jika terlewatkan dari pandangan, raiblah kesempatan berjabat lagi berpeluk rindu dengan akung dan uti.

Satu per satu dengan tas tenteng dan koper besar yang terpikul oleh porter para jamaah mulai memasuki bus. Akung uti belum terlihat batang hidungnya. Gerbang asrama semakin sepi, rasanya seluruh tamu Alloh sudah duduk di pelungguhan bus AKAS. Sampai tiba saat sebagian kecil jamaah yang belum naik bus, terlihat akung sedang mendorong kursi roda uti dengan penuh kehati-hatian keluar dari gerbang asrama.

Kilau kemilau sekaligus membendung buliran air mata yang hendak meleleh pelupuk ini, saat menatap beliau berdua dari kejauhan. Mencoba mendekati sambil terhuyung-huyung. Meneriaki, “Kung… akung… akung Arifin,” dengan segenap teriakan ternyaring saya sebut juga, “Uti… Uti….!” Dua orang sepuh itu bertolah-toleh, mungkin mendengar tapi tak tahu darimana arahnya. Terus saya ikuti, sambil meneriaki. Tak berbalas, bahkan dua orang sepuh itu tak menoleh ke arah saya. Maklum remang lagi ramai.

Jika saja beliau langsung naik dan duduk manis di atas bus mungkin saya tidak akan bisa menyalami dan mengucap Ahlan wa sahlan! Seorang kenek bus yang sepagar dengan akung saya pinta tolongnya untuk menepuk pundak akung bahwa saya sedang memanggilnya. Berbuah manis, akung menyunggingkan senyum pada saya. Sedangkan uti sudah melungguh tenang di atas bus. Tak apalah, tidak menjumpa seluruhnya.

Andai pagar pembatas bukanlah besi yang berat, maka tak jadi penghalang peluk cium rindu untuk akung. Tak apalah lagi, mencium tangan semoga menjadi awal keberkahan yang memberkahi saya. Penyambutan sederhana ini sungguh mendebarkan hati!

Mungkin hanya 10-15 menit, kami pun berpisah, “Pandu insya Alloh pulang saat sudah ada kabar baik soal menyoal diterimanya pekerjaan Pandu,” begitu kujawab saat akung bertanya kapan pulang. “Hati-hati Kung, salam untuk Uti,” pungkasku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun