Mencoba peruntungan, saya kendarai motor ke sebuah gang yang katanya untuk parkir penjemput. Benar memang kita bisa melihat jamaah haji yang baru tiba, namun terhijab oleh pagar besi pembatas yang memanjang. Pagarnya berujung namun terjaga oleh petugas keamanan. Menghimpit besi-besi pagar terdepan adalah ikhtiar agar bisa berteriak memanggil akung dan uti.
Sebakda rombongan haji Madiun meninggalkan asrama haji, kini giliran jamaah asal Bondowoso yang siap menumpangi bus yang terparkir rapi. Disinilah saatnya bertemu. Para jamaah keluar dari asrama menuju bus yang telah panitia tentukan. Jika terlewatkan dari pandangan, raiblah kesempatan berjabat lagi berpeluk rindu dengan akung dan uti.
Satu per satu dengan tas tenteng dan koper besar yang terpikul oleh porter para jamaah mulai memasuki bus. Akung uti belum terlihat batang hidungnya. Gerbang asrama semakin sepi, rasanya seluruh tamu Alloh sudah duduk di pelungguhan bus AKAS. Sampai tiba saat sebagian kecil jamaah yang belum naik bus, terlihat akung sedang mendorong kursi roda uti dengan penuh kehati-hatian keluar dari gerbang asrama.
Kilau kemilau sekaligus membendung buliran air mata yang hendak meleleh pelupuk ini, saat menatap beliau berdua dari kejauhan. Mencoba mendekati sambil terhuyung-huyung. Meneriaki, “Kung… akung… akung Arifin,” dengan segenap teriakan ternyaring saya sebut juga, “Uti… Uti….!” Dua orang sepuh itu bertolah-toleh, mungkin mendengar tapi tak tahu darimana arahnya. Terus saya ikuti, sambil meneriaki. Tak berbalas, bahkan dua orang sepuh itu tak menoleh ke arah saya. Maklum remang lagi ramai.
Jika saja beliau langsung naik dan duduk manis di atas bus mungkin saya tidak akan bisa menyalami dan mengucap Ahlan wa sahlan! Seorang kenek bus yang sepagar dengan akung saya pinta tolongnya untuk menepuk pundak akung bahwa saya sedang memanggilnya. Berbuah manis, akung menyunggingkan senyum pada saya. Sedangkan uti sudah melungguh tenang di atas bus. Tak apalah, tidak menjumpa seluruhnya.
Andai pagar pembatas bukanlah besi yang berat, maka tak jadi penghalang peluk cium rindu untuk akung. Tak apalah lagi, mencium tangan semoga menjadi awal keberkahan yang memberkahi saya. Penyambutan sederhana ini sungguh mendebarkan hati!
Mungkin hanya 10-15 menit, kami pun berpisah, “Pandu insya Alloh pulang saat sudah ada kabar baik soal menyoal diterimanya pekerjaan Pandu,” begitu kujawab saat akung bertanya kapan pulang. “Hati-hati Kung, salam untuk Uti,” pungkasku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H