Mohon tunggu...
Politik

Hantu Pendidikan Sedang Membayangi Indonesia

24 April 2017   17:32 Diperbarui: 25 April 2017   02:00 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerataan pendidikan selalu digaungkan sebagai permasalahan yang harus diselesaikan oleh negara dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Ironisnya di Indonesia sendiri tingkat pengangguran bergelar sarjana terus meningkat. Hal ini seakan menjadi legitimasi bahwa tingkat pendidikan tidak lantas mengurangi jumlah pengangguran. sebaliknya kontradiksi tersebut menjadikan pertanyaan apa yang salah dalam sistem pendidikan kita hingga hal tersebut terjadi.

            Pendidikan yang kini diidentikan dengan sekolah nampaknya sungguh salah kaprah. Sekolah tidak menunjukan realita dalam masyarakat dan justru menggeneralisasi bahwa sistem pendidikan kepada setiap orang di setiap daerah haruslah sama. Sistem yang sedemikian rupa menyebabkan sekolah hanya menjadi batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang dianggap oleh dogma sekolahan lebih baik daripada pekerjaan orang tua mereka pada umumnya. Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah manusia agraris baik itu bertani maupun berkebun.

            Roem Tomatipasang (1998) dalam bukunya Sekolah itu Candumenjelaskan dalam pengamatannya di Dusun Galung-Galung, kawasan Taman Nasional Bulu Saraung, Propinsi Sulawesi Selatan, hampir seluruh warga dalam 4 generasi terahir sudah mengenyam pendidikan sekolah dasar. Namun dari penuturan mereka tidak banyak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, adapun yang melanjutkan hingga perguruan tinggi namun tidak kembali menetap di dusunnya dan lebih memilih untuk hidup di kota besar. Sedangkan ada juga yang melanjutkan ke tingkat SMK Elektro justru kembali ke dusun tersebut dan mengikuti orangtuanya untuk menjadi petani dan meramu hasil hutan.

            Sekolah dan pendidikan tidak menjadi tepat guna dari fakta yang tersaji diatas, karena masyarakat yang mampu merasakan pendidikan hingga jenjang tertinggi malah menghindar dari desa asalnya untuk pergi ke kota besar mencari pekerjaan yang dianggap lebih baik. Untuk yang mampu melanjutkan hingga pendidikan tinggi namun tidak bernasib beruntung, atau gagal mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya akan kembali ke daerah asal dan mengikuti jejak pendahulunya, bertani.

            Sistem pendidikan yang di jejalkan oleh sekolah tidak memperlihatkan fungsi guna yang lebih baik daripada memberikan dogma untuk memperoleh pekerjaan lebih dari bertani. Pendidikan yang sedemikian rupa tidak akan memberikan dampak yang lebih baik dan tepat guna bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan haruslah tepat guna bukan hanya untuk satu individu yang dididik itu saja, melainkan pendidikan yang berguna bagi individu yang dididik dan masyarakat sekitarnya. Menggeneralisasi sistem pendidikan yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak akan membuahkan hasil yang optimal karena kondisi masyarakat, geografis, dan kebutuhan masyarakat di setiap daerah tidak pernah sama.

            Pendidikan haruslah menggunakan sistem dialogis, tidak ditentukan melalui standar kurikulum yang sama untuk setiap daerah. Murid tidak dijadikan sebagai obyek, bagaikan suatu wadah yang dituangkan pengetahuan oleh guru. Melainkan interaksi antara guru dan murid haruslah berupa dialog. Guru tidak hanya memberikan materi yang sudah ditentukan oleh negara, tetapi guru sebagai pemantik untuk menggali potensi murid yang sesuai dengan bakat seorang murid dan tentunya hal tersebut juga bergantung dengan letak geografis dan kondisi masyarakat tempat tumbuh berkembang murid tersebut.

            Pendidikan yang selama ini hanya satu arah dianggap oleh Paulo Freire (Pendidikan Kaum Tertindas, 1972)sebagai bentuk penindasan. Dalam pendidikan satu arah yang anti dialog, pendidikan hanya untuk menuangkan pengetahuan yang melanggengkan kekuasan penguasa dan dengan begitu mengaburkan nilai-nilai budaya setempat. Setelah hilangnya nilai budaya tersebut pengendalian masyarakat untuk kepentingan penguasa lebih mudah dan pendidikan telah menjauh dari esensi aslinya sebagai pembebasan akan kebodohan.

            Pendidikan gaya bank yang anti dialogis tersebut nyatanya gagal dalam pemberantasan kebodohan, mengurangi pengangguran, dan memberantas kemiskinan. Pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dengan pengajaran-pengajaran sejarah yang memberikan pandangan bahwa rezim penguasa sebagai pahlawan dalam problema yang dihadapi oleh negara. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hanya sebagai wahana pewarisan nilai-nilai yang direstui oleh rezim penguasa. Gaya dan sistem pendidikan yang sedemikian rupa tidak lagi indah untuk diterapkan dan terasa nirfaedah bagi kepentingan masyarakat sendiri.

            Penerapan pendidikan dialogis perlu dilakukan di Indonesia. Dengan melihat potensi geografis yang lebih condong sebagai negara agraris, peran pakar dan guru sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan dialogis ini. Para pakar harus meneliti bersama masyarakat, bagaimana pengalaman dari masyarakat tersebut agar menjadi sebuah pengetahuan yang bermanfaat. Masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan bersama pakar bersama-sama sebagai subyek dalam penelitian untuk mencari pengetahuan yang benar-benar berguna dan dibutuhkan dalam masyarakat agraris. Para pakar juga sekaligus bertindak sebagai guru, yang dalam proses belajar-mengajarnya tidak hanya memberi pengetahuan, namun dengan membuat forum diskusi yang sifatnya guru hanya sebagai pemantik bukan pemberi materi.

            Dalam masyarakat Indonesia yang secara geografis menunjang sektor agraris tentunya pandangan rendah tentang profesi bertani harus dihapuskan melalui peran pendidikan dialogis ini. Tanpa mengesampingkan peran profesi lain, sektor agraris memang paling rasional untuk menjadi tumpuan negara Indonesia, oleh sebab itu stigma petani tersebut harus dihapuskan. Sarjana pertanian harus terjun dalam masyarakat Indonesia sendiri dan berbaur dengan masyarakat yang berprofesi sebagai petani untuk menggali pengetahuan yang ada dengan cara dialogis.

            Sebagai perimbangan, sektor lainnya juga perlu untuk dikembangkan. Dalam pendidikan anak-anak, misalnya dalam sekolah dasar setelah diajarkan baca tulis, anak sudah harus dibiasakan untuk pendidikan yang bersifat dialogis ini. Dengan hilangnya stigma profesi petani sebagai pekerjaan yang patut dihindari, opsi pekerjaan yang diimpikan oleh anak akan semakin banyak. Disinilah potensi seorang anak digali dan difokuskan kepada minatnya, melalu peranan guru sebagai pemantik dalam diskusi dan dialog dengan murid.

            Peran guru adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifikasi untuk membantu siswa agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas (Freire, 1999). Pandangan kritis tersebut akan meningkatkan kesadaran murid tentang realita sosial yang ada bukan hanya pengetahuan semu yang toh akhirnya tidak berguna sebagai apa-apa di dunia nyata dalam masyarakat. Peran guru seperti ini akan terasa lebih berat daripada memberikan pengetahuan hapalan yang dijejalkan paksa kepada otak muridnya. Namun esensi pendidikan menjadi sebenarnya sebagai ladang untuk mencari pengetahuan akan tercapai karena murid dan guru dalam proses dialogisnya saling bertukar pikiran dan pendapat terhadap realitas kehidupan menurut pandangan masing-masing.

            Yang selama ini terjadi, pelajar dijauhkan dari persoalan masyarakat yang terjadi, mereka hanya disibukan untuk belajar mengejar nilai sebagai orientasi yang utama bukan ilmu pengetahuan. Ijazah sebagai tolak ukur keberhasilan dalam pendidikan disamping biaya pendidikan yang masih cenderung mahal. Mereka yang tak mampu untuk mendapatkan ijazah karena mahalnya pendidikan semakin tergerus oleh kebijakan negara maupun perusahaan yang menjadikan ijazah sebagai syarat utama untuk bekerja. Belum lagi mereka yang terkatung-katung secara ekonomi dalam membiayai pendidikan namun setelah mendapat suatu pusaka yang dinamakan ijazah mengalami nasib naas terenggut oleh mereka yang melakukan tindakan nepotisme dalam perekrutan tenaga kerja. Dalam fase ini mereka akan banyak berpikiran bahwasanya lebih baik uang untuk pendidikan lebih baik tidak pernah dikeluarkan dan lebih bagus lagi untuk membeli beras.

            Gerbong-gerbong masalah yang dimulai dari pendidikan terus menyeret gerbong masalah baru. Dari sistem pendidikan anti dialogis yang hanya menuangkan dogma satu arah yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan berlanjut kepada stigma profesi petani. Dengan stigma kemudian munculah pandangan-pandangan tentang profesi idaman yang tidak perlu mengeluarkan banyak keringat hingga menjadikan persaingan ketenaga kerjaan pada bidang profesi itu-itu saja. Tingginya persaingan menuju profesi yang dianggap lebih mentereng mensyaratkan ijazah yang harus didapatkan dengan susah payah dengan berkorban biaya yang cukup besar. Masalah biaya belum terselesaikan, masalah ijazah membawa dampak baru. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hanya berorientasikan kepada nilai yang menunjang ijazah sebagai proses seleksi ke dunia kerja. Lagi-lagi masalah berikutnya muncul sebelum masalah satu terselesaikan atau mungkin memang masalah-masalah tersebut yang menghasilkan permasalahan baru.

Dengan tingginya angka lulusan sekolah dan perguruan tinggi persaingan mencari lapangan pekerjaan semakin ketat. Untuk mereka yang beruntung memiliki nilai-nilai baik tercantum dalam ijazahnya tentunya akan mudah, namun untuk mereka yang pas-pasan nilainya lain cerita. Persaingan yang begitu ketat menyebabkan praktek kolusi dan nepotisme berkembang merongrong hakikat manusia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam mencari pekerjaan. Beruntunglah mereka yang mempunyai sanak keluarga ataupun koneksi dalam perusahaan atau “orang dalam” dalam pekerjaan yang mereka inginkan. Yang tersisih dari segala proses seleksi pencarian pekerjaan tersebut akhirnya terkatung-katung, menjadi wirausaha bagi yang punya modal dan menjadi pekerja kasar atau buruh bagi mereka yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Sisanya, tentu saja menjadi angka-angka dalam statistik angka pengangguran produktif.

Dari berbagai masalah diatas yang membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia yang sadar menjadi resah perlu penyelesaian masalah dengan menghentikan gerbong masalah yang terus bertambah. Penghentian tersebut dengan cara menghentikan penyebab awal dan sekaligus memutuskan tali gerbong masalah yang lain. Sistem pendidikan yang anti dialogis harus segera dihilangkan dan digantikan sistem pendidikan dialogis. Namun melihat pendidikan yang saat ini lebih difungsikan sebagai alat legitimasi kekuasaan hal tersebut akan terlihat tidak mungkin apabila kita mengharap peran serta pemerintah. Pendidikan dialogis harus dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya sebagai tonggak awal dalam revolusi pendidikan negara Indonesia kita tercinta ini. Apabila tidak tentu gerbong-gerbong masalah yang telah menjadi lingkaran setan tersebut tidak akan pernah terputus dan masyarakat kita akan tetap terkatung-katung seperti saat ini. Sadarlah kita semua bahwa hantu pendidikan sedang membayangi Indonesia.

Sambil memikirkan pendidikan dan negara Indonesia, saya termenung dalam lamun dan tanpa sengaja menyanyikan lagu Tom Paxton yang dipopulerkan oleh Pete Seeger, kira-kira kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperti ini:

Apa yang kau pelajari di sekolah hari ini, anakku?

Apa yang kau pelajari di sekolah hari ini, anakku?

Aku diajari washington tidak pernah berdusta,

Aku diajari bahwa tentara itu tidak gampang mati,

Aku diajari bahwa setiap orang punya kebebasan,

Begitulah yang diajarkan guruku.

Itulah yang aku pelajari disekolah hari ini,

Itulah yang aku pelajari di sekolah.

Aku diajari bahwa polisi adalah sahabatku,

Aku diajari bahwa keadilan tidak pernah mati,

Aku diajari bahwa pembunuh itu mati karena kejahatannya sendiri,

Meski kadang kita juga membuat kesalahan.

Aku diajari bahwa pemerintah harus kuat,

Pemerintah selalu benar dan tak pernah salah,

Pemimpin kita adalah orang yang paling bijak,

Dan lagi-lagi kita akan memilih mereka.

Aku diajari bahwa perang itu tidak begitu buruk,

Aku pernah diajari bahwa ada sebuah perang yang pernah terjadi,

Kita dulu pernah berperang di Jerman dan Perancis,

Dan mungkin suatu saat aku akan berperang.

Itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini,

Itulah yang aku pelajari di sekolah.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun