Peran guru adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifikasi untuk membantu siswa agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas (Freire, 1999). Pandangan kritis tersebut akan meningkatkan kesadaran murid tentang realita sosial yang ada bukan hanya pengetahuan semu yang toh akhirnya tidak berguna sebagai apa-apa di dunia nyata dalam masyarakat. Peran guru seperti ini akan terasa lebih berat daripada memberikan pengetahuan hapalan yang dijejalkan paksa kepada otak muridnya. Namun esensi pendidikan menjadi sebenarnya sebagai ladang untuk mencari pengetahuan akan tercapai karena murid dan guru dalam proses dialogisnya saling bertukar pikiran dan pendapat terhadap realitas kehidupan menurut pandangan masing-masing.
Yang selama ini terjadi, pelajar dijauhkan dari persoalan masyarakat yang terjadi, mereka hanya disibukan untuk belajar mengejar nilai sebagai orientasi yang utama bukan ilmu pengetahuan. Ijazah sebagai tolak ukur keberhasilan dalam pendidikan disamping biaya pendidikan yang masih cenderung mahal. Mereka yang tak mampu untuk mendapatkan ijazah karena mahalnya pendidikan semakin tergerus oleh kebijakan negara maupun perusahaan yang menjadikan ijazah sebagai syarat utama untuk bekerja. Belum lagi mereka yang terkatung-katung secara ekonomi dalam membiayai pendidikan namun setelah mendapat suatu pusaka yang dinamakan ijazah mengalami nasib naas terenggut oleh mereka yang melakukan tindakan nepotisme dalam perekrutan tenaga kerja. Dalam fase ini mereka akan banyak berpikiran bahwasanya lebih baik uang untuk pendidikan lebih baik tidak pernah dikeluarkan dan lebih bagus lagi untuk membeli beras.
Gerbong-gerbong masalah yang dimulai dari pendidikan terus menyeret gerbong masalah baru. Dari sistem pendidikan anti dialogis yang hanya menuangkan dogma satu arah yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan berlanjut kepada stigma profesi petani. Dengan stigma kemudian munculah pandangan-pandangan tentang profesi idaman yang tidak perlu mengeluarkan banyak keringat hingga menjadikan persaingan ketenaga kerjaan pada bidang profesi itu-itu saja. Tingginya persaingan menuju profesi yang dianggap lebih mentereng mensyaratkan ijazah yang harus didapatkan dengan susah payah dengan berkorban biaya yang cukup besar. Masalah biaya belum terselesaikan, masalah ijazah membawa dampak baru. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hanya berorientasikan kepada nilai yang menunjang ijazah sebagai proses seleksi ke dunia kerja. Lagi-lagi masalah berikutnya muncul sebelum masalah satu terselesaikan atau mungkin memang masalah-masalah tersebut yang menghasilkan permasalahan baru.
Dengan tingginya angka lulusan sekolah dan perguruan tinggi persaingan mencari lapangan pekerjaan semakin ketat. Untuk mereka yang beruntung memiliki nilai-nilai baik tercantum dalam ijazahnya tentunya akan mudah, namun untuk mereka yang pas-pasan nilainya lain cerita. Persaingan yang begitu ketat menyebabkan praktek kolusi dan nepotisme berkembang merongrong hakikat manusia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam mencari pekerjaan. Beruntunglah mereka yang mempunyai sanak keluarga ataupun koneksi dalam perusahaan atau “orang dalam” dalam pekerjaan yang mereka inginkan. Yang tersisih dari segala proses seleksi pencarian pekerjaan tersebut akhirnya terkatung-katung, menjadi wirausaha bagi yang punya modal dan menjadi pekerja kasar atau buruh bagi mereka yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Sisanya, tentu saja menjadi angka-angka dalam statistik angka pengangguran produktif.
Dari berbagai masalah diatas yang membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia yang sadar menjadi resah perlu penyelesaian masalah dengan menghentikan gerbong masalah yang terus bertambah. Penghentian tersebut dengan cara menghentikan penyebab awal dan sekaligus memutuskan tali gerbong masalah yang lain. Sistem pendidikan yang anti dialogis harus segera dihilangkan dan digantikan sistem pendidikan dialogis. Namun melihat pendidikan yang saat ini lebih difungsikan sebagai alat legitimasi kekuasaan hal tersebut akan terlihat tidak mungkin apabila kita mengharap peran serta pemerintah. Pendidikan dialogis harus dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya sebagai tonggak awal dalam revolusi pendidikan negara Indonesia kita tercinta ini. Apabila tidak tentu gerbong-gerbong masalah yang telah menjadi lingkaran setan tersebut tidak akan pernah terputus dan masyarakat kita akan tetap terkatung-katung seperti saat ini. Sadarlah kita semua bahwa hantu pendidikan sedang membayangi Indonesia.
Sambil memikirkan pendidikan dan negara Indonesia, saya termenung dalam lamun dan tanpa sengaja menyanyikan lagu Tom Paxton yang dipopulerkan oleh Pete Seeger, kira-kira kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperti ini:
Apa yang kau pelajari di sekolah hari ini, anakku?
Apa yang kau pelajari di sekolah hari ini, anakku?
Aku diajari washington tidak pernah berdusta,
Aku diajari bahwa tentara itu tidak gampang mati,
Aku diajari bahwa setiap orang punya kebebasan,