Aku terdiam. Aku tahu ia tak mungkin pulang ke rumahnya, dan aku tak mungkin mengusirnya. Ia sudah di sini, di rumah kami.
"Seharusnya kamu ke sini tiga tahun lagi." Kali ini, ia yang terdiam. Ia tahu betul maksud kalimatku. Baru setahun berlalu dari empat tahun masa tahanannya. Hukuman yang ia terima cukup ringan karena berhasil meyakinkan hakim bahwa apa yang dilakukannya ialah untuk pertahanan diri. Ia tak pernah berniat membunuh suami Santi, belanya.
Hari itu, hari terburuk sepanjang tuaku, Harni datang dengan air mata yang tak berkesudahan. Dalam sedu-sedannya, ia mengabarkan Dito tertangkap polisi. Ia berkelahi dengan Ramdani. Ramdani naik pitam mengetahui alasan Santi minta cerai adalah dirinya. Pria itu menghampiri Dito di tempat kerjanya dengan sebuah belati yang akhirnya berakhir di perut pemiliknya. Hari itu juga, Santi resmi menjanda.
"Kalau pun kamu harus pulang," lanjutku, "pulanglah ke sini." Ia agak kaget saat kutepuk dadanya di akhir kalimat. Aku ragu ia mengerti maksudku. "Kamu sedang tersesat, Dito. Jangan buat dirimu makin jauh meninggalkan rumah."
"Tapi, Mbah..."
Belum sempat Dito mengutarakan maksudnya, aku beranjak. Mengambilkan handuk dan memintanya istirahat. Aku tahu apa yang akan dikatakannya. Cucuku ini masih sama rupanya, masih seorang anak kecil yang gemar bermain.
***
Aku sedang menyiapkan sarapan saat Pak Lurah datang bersama dua orang polisi. Malam tadi, aku meminta Surti, anak tetanggaku, menyampaikan kedatangan Dito. Aku tahu aku melakukan hal yang benar. Aku ingin cucuku tumbuh jadi pria yang selalu kudoakan pada Gusti.
Sementara Pak Lurah dan orang-orang berseragam itu menunggu di ruang tengah, aku mengetuk pintu kamar, tempat Dito rebah semalaman. Tak ada jawaban. Perlahan, tanganku kananku membuka pintu. Kosong, seperti sebelum Dito datang. Seperti benakku yang serta-merta hampa. Aku hanya menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan di atas meja kayu dekat jendela. "Mbah, aku pulang."
---------------------------------
Duo Kakak-Beradik (43)