Tubuhnya kuyup. Tas punggungnya masih bersandar di pundaknya, meneteskan rembesan air hujan. Aku tahu siapa ia tanpa harus ia ingatkan.
Kami berhadapan, aku menarik tanganku. Genggaman tangannya kurasakan sangat dingin, bukan karena dia kehujanan, tapi dingin yang lain. Serupa halimun, perlahan menyergap relung hatiku.
"Mbah masih ingat aku, kan?"
Kali ini tanya yang menegaskan. Aku masih menghalangi jalan masuknya. Aku mengangguk. Enggan, aku memberinya jalan, masuk ke rumahku.
***
Ruang tengah rumah ini lengang. Serupa tanah petakan sawah, tak ada apa-apa. Hanya ada sebuah amben bambu yang hampir lapuk termakan usia di sudut dekat pintu samping. Tua, sepertiku.
"Sebentar, kubuatkan minum."
Aku menuju dapur. Kerling mataku menangkap geraknya menuju amben dan mencoba mencari posisi nyaman untuk duduk dan bersandar. "Iya, Mbah," sahutnya.
Aku menuang air dari gentong tanah ke dalam panci. Memantik korek, membakar sedikit kelaras dan meletakkannya di antara ranting kayu agar terbakar di tungku. Beberapa kali aku meniup bara dengan selongsong bambu agar lekas menyala dan membuat didih air.
Di antara gemeretak kayu terbakar, aku menyiapkan gelas, teh dan gula. Sesekali kudengar suara batuknya meningkahi air yang jatuh dari cucuran atap.
Aku mengusik api. Baranya memercik serupa kembang. Sebentar lagi air mendidih, gelembung-gelembungnya perlahan menyeruak, semendidih aku pernah dibuat pemuda itu.