"Apa kamu sudah gila, Dito? Santi itu istri orang. Sudah beranak pula!"
"Tapi aku sudah dapat izin dari ibu, Mbah."
"Kamu dan Harni sama gilanya!"
Seharusnya aku senang saat Dito menyampaikan maksudnya. Ia hendak kawin. Ia akan memberiku cicit pertama. Belum sempat senang, aku keburu geram saat tahu yang akan dikawininya istri orang. Ia merusak khidmat lebaran yang selalu kurindukan.
***
Aku tersentak saat air itu semakin berbuih, mendidih. Aku mengangkat dan menuangnya kedalam gelas. Membiarkan teh dan gula membadai saat sendok perlahan berputar.
Aku membawa teh manis panas itu ke ruang tengah. Aku melihatnya duduk terpekur, menghitung jutaan air mata awan yang menghunjam bumi. Kaos menyatu dengan kulitnya karena kuyup. Perlahan, sekelumit rasa iba menyergap tiba-tiba.
"Minumlah." Suaraku sepertinya bagai petir baginya. Dia tersentak, berbalik menghadapku.
"Eh, Mbah. Iya, Mbah. Terima kasih." Ia terima teh dari tanganku dengan gugup. Sedikit demi sedikit teh itu dia tuang ke piring kecil alas gelas dan mulai meniup, menyeruputnya.
Aku duduk di amben yang sama, memilih sudut yang berbeda. Aku memperhatikan wajahnya telah jauh lebih tua dibanding usianya.
"Maaf jika kedatanganku mengganggu, Mbah. Aku tak tahu harus pulang ke mana."