Hari terakhir bulan pertama tahun itu.
Aku masih menunggumu. Sehari semalam sejak kemarin malam. Aku menunggumu sampai bosan itu datang lalu pergi lagi. Aku menunggumu dari terang hingga gelap merajai malam. Kau bilang akan datang malam ini membawa kembang cinta bersama hujan untukku. Kita akan bercinta di ruang persegi milikku dengan irama gendang-gendang hujan. Ini sudah tengah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis manis nan romantis yang menyisakan kunang-kunang.
Kau tak jadi datang.
Kau tersandung bulan yang separuh benderang.
Aku tetap menunggumu sampai esok pagi menyapaku.
-----------------------------------------------------------------------------------
Hari pertama bulan kedua tahun ini.
Sehari sebelum genap delapan bulan pergumulan kita.
Kau datang pagi ini tanpa kembang di tanganmu. Keletihan semalam yang kau hadiahkan untukku. Letih sekali hingga aku tak bisa melihat senyummu. Aku tahu kau kemana semalam. Kau bercinta dengannya yang kukenal sebulan lalu. Aku tahu kau selingkuh dari aku. Aku tahu sejak tak ada lagi senyummu bagiku. Sejak telingamu mulai merapat bagi kalimat-kalimatku. Sejak kau menemukan kembang yang lebih wangi tapi tak lebih indah dariku. Aku tahu aku dimadu. Kurelakan berbagi hatimu dengannya. Berbagi peluhmu dengannya. Berbagi kelaminmu dengannya. Aku bertahan dengan kerelaan yang menusuk tajam paru-paru. Sesak!
“Aku kira kau tak akan datang.”
“Kalau aku janji datang, maka aku datang.”
“Janjimu datang sebelum malam. Kini kau datang saat matahari benderang.”
“Yang penting aku datang!”
“Datang kelelahan setelah semalaman bercinta dengannya.”
“Jangan mulai! Ini masih pagi.”
“Aku tak pernah memulainya. Kau yang memulainya. Menghancurkan hubungan yang kita bangun bersama nyaris delapan bulan. Kau tergoda lajang jalang itu. Aku tak pernah berpikir akan secepat ini.”
“Kau sudah tahu aku ini bangsat. Tinggalkan saja aku jika itu maumu.”
“Mauku? Itu maumu. Agar kau bisa leluasa bergumul dengannya. Kau pikir aku akan menyerah begitu saja setelah semua pengorbanan ini?”
“Apa yang kau korbankan?”
“Harga diri perempuan. Aku ikhlas diselingkuhi tapi aku tak akan rela kau meninggalkanku dengan cara senista ini.”
“Sudahlah!”
“Apanya yang sudah? Aku ikhlas saat tahu ternyata selama ini aku tidur dengan pelaku kriminal. Aku setia menunggumu hanya dengan bantal saat kau tak pulang tujuh malam di kurungan.”
“Kau mencintai penjahat.”
“Aku mencintaimu sebusuk apapun baumu. Apa ada yang lebih tahan dariku menyimpan belangmu? Ibumu saja lupa punya anak sepertimu.”
“Kau mencintai kelaminku, bukan aku!”
“Persetan dengan kelaminmu! Aku muda dan cantik. Aku bisa mendapatkan kelamin lelaki manapun yang kumau. Tapi maaf, aku tak sehina lacurmu itu.”
“Apa maumu?”
“Tetapkan kelaminmu pada satu wanita! Aku atau si jalang itu!”
“Keduanya tak ada yang lebih baik. Aku tak akan memilih. Aku akan menghilang dari keduanya. Adil!”
“Racun! Mulutmu racun. Jangan samakan aku dengannya. Dunia tahu aku lebih layak atas dirimu!”
----------------------------------------------------------------------------------
Hari kedua bulan kedua tahun ini.
Aku terbangun dari kenyataan buruk semalam. Sendirian. Tak ada perayaan. Tak ada kebiasaan. Seharusnya hari ini ada mawar kedelepan. Kau pergi di sela-sela kalimatku yang menggantung di bawah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis manis nan romantis yang menyisakan kunang-kunang. Kau mengikuti hasratmu. Entah ke pelukan si jalang itu atau si jalang lainnya aku tak tahu. Aku hanya tahu ternyata kau tak layak untukku. Semoga Tuhan yang kau sembah masih mau menunjukan arahNya padamu. Aku tak meyesalimu. Aku justru prihatin saat tahu baumu semakin menyengat.
Kudoakan dari jauh agar kau berjumpa dengan kembang surga yang semerbak di ujung jalan sana.
***
-AG- Kantor, 3 Pebruari 2010
*sedang belajar membuat cerpen :')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H