Mereka pun bersama-sama membersihkan halaman. Dimas dan Rara memunguti ranting-ranting yang patah, sementara Ayah memangkas bagian pohon yang rusak. Ibu menyirami tanah di sekitar pohon, menambahkan pupuk agar pohon itu mendapat kekuatan baru.
Hari-hari berlalu, dan meskipun pohon mangga itu kini tampak lebih kecil dan kurus, perlahan daun-daun baru mulai tumbuh. Dimas dan Rara setiap hari memperhatikan perubahan pohon itu dengan penuh semangat.
"Lihat, Kak, daunnya semakin banyak!" seru Rara suatu pagi.
Dimas mengangguk sambil tersenyum. "Pohon ini memang kuat, sama seperti kata Ayah."
Beberapa bulan kemudian, pohon mangga itu mulai berbunga. Bunganya kecil dan berwarna kuning, tanda bahwa pohon itu akan berbuah lagi. Ketika musim panen tiba, pohon itu menghasilkan buah yang lebih manis dari sebelumnya.
"Kita rayakan panen ini!" seru Ayah suatu sore.
Mereka duduk bersama di bawah pohon mangga sambil menikmati buah-buah yang telah mereka petik. Rasanya luar biasa, seperti hasil kerja keras mereka telah terbayar.
"Pohon ini seperti keluarga kita," kata Ayah sambil tersenyum pada semua anggota keluarganya. "Kadang kita diterpa badai, kadang kita terluka. Tapi selama kita saling mendukung, kita akan tumbuh lebih kuat."
Keluarga itu tersenyum bersama, menikmati kebahagiaan kecil yang lahir dari pohon mangga di tengah rumah mereka. Dan sejak saat itu, pohon itu menjadi simbol keteguhan mereka, pengingat bahwa cinta dan kebersamaan adalah akar yang membuat mereka tetap utuh apa pun yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H