Di sebuah desa kecil di tepian hutan, tinggallah keluarga kecil yang harmonis. Ayah, Ibu, dan dua anak mereka, Dimas dan Rara, hidup di sebuah rumah kayu sederhana dengan halaman yang luas. Di tengah halaman, berdiri tegak sebuah pohon mangga tua yang rindang. Pohon itu bukan sembarang pohon. Ia adalah warisan keluarga yang penuh cerita dan kenangan.
Kakek Ayah yang menanam pohon itu puluhan tahun lalu. Ia menanamnya saat kelahiran Ayah sebagai simbol kehidupan baru. Sejak kecil, Ayah tumbuh bersama pohon itu, memanjatnya, berteduh di bawahnya, hingga mengukir namanya di batangnya. Saat Ayah menikah dan membangun keluarga kecilnya, pohon itu tetap menjadi pusat kehidupan mereka.
Setiap sore, Ayah dan Ibu duduk di bawah pohon itu sambil menikmati teh hangat. Dimas dan Rara bermain kejar-kejaran di sekitar pohon, tertawa lepas tanpa khawatir akan apa pun. Pohon mangga itu tidak hanya memberikan buah yang manis, tetapi juga memberikan keteduhan dan rasa damai.
Namun, suatu hari di awal musim hujan, awan gelap menggantung di langit. Angin kencang mulai bertiup, membawa bau tanah yang basah. "Kelihatannya akan ada badai besar," kata Ayah sambil menutup jendela.
Dimas dan Rara membantu Ibu memasukkan jemuran, sementara Ayah memeriksa atap rumah. Malam itu, badai benar-benar datang. Angin berderu kencang, membuat dedaunan beterbangan. Pohon mangga di halaman mereka bergoyang hebat, seolah melawan kekuatan badai.
"Ayah, pohonnya akan tumbang, tidak?" tanya Rara dengan wajah cemas.
Ayah tersenyum meski ia sendiri khawatir. "Pohon itu kuat, Nak. Akarnya sudah tertanam dalam. Sama seperti keluarga kita, pohon itu akan bertahan."
Mereka berdoa bersama di ruang tengah, berharap badai segera reda.
Pagi harinya, hujan sudah berhenti, dan matahari kembali bersinar. Tetapi, ketika mereka keluar untuk memeriksa keadaan, hati mereka miris. Pohon mangga mereka rusak parah. Banyak cabangnya yang patah, daun-daunnya berguguran, dan beberapa buahnya jatuh ke tanah.
Dimas dan Rara terlihat sangat sedih. "Kenapa pohonnya rusak, Yah?" tanya Dimas.
Ayah mendekat, menepuk pundaknya lembut. "Pohon ini memang terluka, tapi lihatlah, batangnya tetap kokoh. Selama akarnya masih kuat, ia akan tumbuh lagi. Sama seperti kita. Kadang badai melukai kita, tapi kita akan pulih selama kita tetap bersama."