Mohon tunggu...
Galih setyo ardi
Galih setyo ardi Mohon Tunggu... Buruh - KARYAWAN

MENCOBA MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berakhirnya Era Sekolah Favorit, Medioker, dan Buangan

26 Juni 2019   14:12 Diperbarui: 28 Juni 2019   11:35 2729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Belajar Matematika (Shutterstock)

Ini hanyalah sebuah kisah pribadi untuk berbagi cerita yang mungkin masih relevan dengan kondisi sekarang tentang carut marut sekolah zonasi. Latar belakang  bagi saya menariknya cerita ini adalah saat SMA penulis sempat pindah sekolah tiga kali mulai dari pesantren, sekolah buangan dan berakhir di sekolah medioker. 

Pada masa SMP penulis dapat masuk ke sekolah favorit dan masih sekolah dalam rayon, pada awal tahun 2000 an sisem zonasi sebenarnya juga sudah ada namun istilah kala itu adalah sekolah dalam rayon dan luar rayon. Pendaftar siswa dari luar rayon dibatasi juga pada masa itu, tepatnya berapa persen siswa luar rayon yang diterima penulis lupa. 

Setelah lulus SMP penulis mendaftar di sekolah favorit di suatu kabupaten dan masih dalam rayon, penulis kala itu gagal lolos karena NEM pada saat itu tidak mencukupi untuk masuk sekolah favorit. Dulu untuk masuk sekolah favorit hanya berdasarkan NEM hasil EBTANAS, peringkat tertinggi dari kuota siswa yang diambil itulah yang diterima. 

Penerimaan pada saat itu sangat sederhana, jika kita gagal ke sekolah favorit pilihan pertama kita masih dapat mendaftar ke sekolah lain atau turun grade ke sekolah sekolah medioker atau menengah. 

Jikalau di sekolah medioker masih belum diterima juga karena nilai NEM kurang masih dapat mendaftar ke sekolah negeri buangan, sekolah tersebut memang sebagian besar hanya diisi oleh siswa siswa buangan yang tidak diterima di sekolah favorit atau medioker.

Kala itu penulis tidak diterima di sekolah favorit dan orang tua mempertimbangkan untuk masuk ke pesantren modern di luar kota. Penulis pun menerima keputusan itu dan perangkat ke pesantren untuk melanjutkan sekolah di pesantren modern. 

Namun, alhasil baru berjalan satu minggu di pesantren penulis tidak betah, konsidi di pesantren yang serba disiplin dan teratur membuat kurang nyaman dalam menjalani kehidupan. Suara - suara teman teman sewaktu sekolah di SMP selalu terniang - niang. 

Belum lagi perasaan kangen orang tua dan saudara sekandung semakin membuat ingin keluar dari pesantren. Akhirnya penulis menelepon orang tua kalau sudah tidak betah di pesantren dan ingin keluar pesantren, ingin lanjut di sekolah biasa saja. Akhirnya orang tua pun luluh dengan permintaan anaknya, dan mencari sekolah negeri untuk pindah sekolah. 

Sekolah medioker dekat rumah mencoba di datangi untuk mendaftar, namun kala itu pendaftran sudah tutup dan tidak dapat menerima siswa lagi. Pihak sekolah tersebut memberi solusi untuk mencoba mendaftar di sekolah buangan atau swasta. 

Biasanya pihak sekolah seperti itu masih buka pendaftran atau masih mau menerima siswa meski pendaftran resmi sudah ditutup. Kami pun mencoba dari sekolah negeri dahulu, dan ternyata benar pihak sekolah yang identik dengan sebutan sekolah buangan di masyarakat masih mau menerima siswa baru. Mungkin karena nilai NEM saya benarnya juga masih dapat masuk sekolah medioker jikalau masih ada pendaftaran. 

Foto di ruang praktikum. | Dokumentasi pribadi
Foto di ruang praktikum. | Dokumentasi pribadi
Setahun penulis menjadi siswa di sekolah yang sering mereka sebut sekolah buangan, genap kelas satu SMA penulis mendapat pendidikan di sekolah tersebut. Menurut penulis guru -guru disekolah tersebut sangat bekerja keras, para pendidik di sekolah tersebut justru sangat berusaha keras untuk menjadikan siswa-siswanya memperoleh prestasi yang baik. 

Ini justru sangat berbanding terbalik ketika saya di SMP favorit. Guru di sekolah favorit cenderung lebih santai, mungkin karena memang bibit siswa -siswanya sudah unggul. 

Guru disekolah favorit ibarat tinggal menyuruh siswa belajar sendiri mereka sudah paham dan menjadi pintar dengan sendirinya. Berbeda dari guru sekolah buangan, ibarat mereka harus sabar dan memberi arahan dari meja ke meja setiap siswa. 

Pada pendidik ke sekolah buangan tersebut mungkin dalam hatinya juga tidak mau diremehkan terus menerus karena anggapan masyarakat hasil pendidikan dari sekolah mereka selalu jelek di akhir EBTANAS dan hampir tidak ada prestasi ketika ada lomba bidang studi baik tingkat kabupaten atau nasional. 

Penulispun merasakan hasil kerja keras dari pada pendidik yang sangat sabar, di semester pertama penulis mendapat rangking 1 untuk satu sekolah, lanjut semester kedua penulis turun menjadi peringkat ke 2 untuk satu sekolah. Setelah setahun berlalu. 

Orang tua berencana untuk memindahkan penulis ke sekolah medioker yang dekat rumah. Proses administrasipun dipersiapkan dan mereka menerima saya salah satunya karena prestasi saya yang bagus di sekolah sebelumnya. Petualangan penulis berlanjut di sekolah baru pada tahun kedua SMA.

"Ingin semua siswa mendapat pendidikan yang sama dimanapun mereka sekolah, ingin mereka sekolah lebih dekat rumah agar mereka lebih mendapat perhatian dari keluarga agar mereka tidak perlu lagi inde kos di luar kota jika di sekolah favorit."

Apa yang penulis rasakan di sekolah medioker atau sekolah dengan grade satu tingkat dibawah sekolah favorit, salah satunya adalah persaingan antar siswa yang lebih hidup. Lebih banyak siswa yang aktif belajar, ikut les pelajaran tambahan dan siswa penggembira yang asal sekolah sudah mulai sedikit. 

Para pendidikpun saya lihat mulai agak santai, rata -rata pendidik sudah dapat memilah mana siswa yang harus diberi perhatian lebih dan mana siswa yang harus diabaikan. Kenapa mereka diabaikan? Karena di sekolah medioker masih ada beberapa siswa yang masih asal masuk sekolah, mereka yang belum nemenukan passion mereka untuk apa sekolah. 

Berbeda dengan siswa-siswa yang mendapat perhatian lebih, mereka sudah merencakan setelah lulus akan melanjutkan ke universitas atau akan mendaftar pendidikan seperti TNI/Polri. 

Para pendidik di sekolah medioker juga mulai bersemangat mendidik calon- calon kandidiat siswa untuk diajukan lomba bidang studi di tingkat kabupaten atau nasional. 

Menurut penulis sekolah medioker ini justru lebih berwarna, karena komposisi latar belakang siswa dan pendidiknya yang lebih bervarisi. Setelah dua tahun mendapat pendidkan di sekolah medioker ini penulis lulus tanpa hambatan apapun dan tanpa ikut pelajaran tambahan atau les diluar sekolah. 

Di akhir sekolah sebelum kelulusan penulis ikut Ujian Masuk Universitas dan diterima di perguruan tinggi favorit Universitas Gadjah MadaYogjakarta di fakultas pertanian program studi mikrobiologi. Justru penulis dapat menyingkirkan beberapa saingan dari sekolah SMA favorit yang juga mendaftar di Jurusan dan Universitas yang sama. 

Ketika kelas 3 SMA penulis juga sempat ikut lomba bidang study tingkat SMA dan meraih peringkat 3 menyingkirkan teman - teman dari sekolah favorit dan lolos ke tingkat provinsi meski ditingkat provinsi hanya meraih peringkat 17. 

Dan sekarang setelah lulus dari perguruan tingga favorit penulis bekerja di salah satu perusahaan BUMN, jika ada waktu luang penulis mencoba menulis blog. Perjalanan hidup penulis yang pernah mendapat pendidikan dari pesantren, sekolah buangan, sekolah medioker dan sekolah favorit memberi kesimpulan tersendiri dalam menyikapi viralnya sistem zonasi sekarang.

Bagi penulis hendaknya sistem zonasi tidaklah perlu di khawatirkan, memang orang tua mana yang tidak ingin anaknya di sekolah di favorit. Anak mereka akan mendapatkan lingkungan yang katanya lebih baik, mendapat pendidik yang katanya lebih baik. 

Semua itu hanyalah salah alat untuk mendidik anak menjadi lebih baik. Sebagai orang tua peran kita lebih besar dalam mendidik anak, memberi contoh, memberi motivasi, memberi dukungan biaya, sebagai tempat curhat anak & sebagai rekan berjuang bagi anak. 

Semua itu adalah pendidikan yang tidak kalah penting dari hanya sekedar sekolah favorit dan penulis merasakan itu semua. Mungkin Pemerintah dengan sistem zonasi 2019 ingin mengakhiri era sekolah dengan pembagian seperti kasta sekolah favorit, sekolah medioker atau sekolah buangan. 

Ingin semua siswa mendapat pendidikan yang sama dimanapun mereka sekolah, ingin mereka sekolah lebih dekat rumah agar mereka lebih mendapat perhatian dari keluarga agar mereka tidak perlu lagi inde kos di luar kota jika di sekolah favorit. 

Namun dengan belum siapnya pemerataan sumberdaya baik sumberdaya infrastruktur, SDM tenaga pendidik dan tenaga pendukung membuat beberapa pihak masih ragu akan sistem ini. Semoga sistem ini semakin baik dari tahun ketahun tanpa mengorbankan kualitas pendidikan yang akan diperoleh siswa.

Semoga apapun latar belakang sekolah yang anak kita jalani akan menjadikan anak yang baik dan sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun