Menurut penulis sekolah medioker ini justru lebih berwarna, karena komposisi latar belakang siswa dan pendidiknya yang lebih bervarisi. Setelah dua tahun mendapat pendidkan di sekolah medioker ini penulis lulus tanpa hambatan apapun dan tanpa ikut pelajaran tambahan atau les diluar sekolah.Â
Di akhir sekolah sebelum kelulusan penulis ikut Ujian Masuk Universitas dan diterima di perguruan tinggi favorit Universitas Gadjah MadaYogjakarta di fakultas pertanian program studi mikrobiologi. Justru penulis dapat menyingkirkan beberapa saingan dari sekolah SMA favorit yang juga mendaftar di Jurusan dan Universitas yang sama.Â
Ketika kelas 3 SMA penulis juga sempat ikut lomba bidang study tingkat SMA dan meraih peringkat 3 menyingkirkan teman - teman dari sekolah favorit dan lolos ke tingkat provinsi meski ditingkat provinsi hanya meraih peringkat 17.Â
Dan sekarang setelah lulus dari perguruan tingga favorit penulis bekerja di salah satu perusahaan BUMN, jika ada waktu luang penulis mencoba menulis blog. Perjalanan hidup penulis yang pernah mendapat pendidikan dari pesantren, sekolah buangan, sekolah medioker dan sekolah favorit memberi kesimpulan tersendiri dalam menyikapi viralnya sistem zonasi sekarang.
Bagi penulis hendaknya sistem zonasi tidaklah perlu di khawatirkan, memang orang tua mana yang tidak ingin anaknya di sekolah di favorit. Anak mereka akan mendapatkan lingkungan yang katanya lebih baik, mendapat pendidik yang katanya lebih baik.Â
Semua itu hanyalah salah alat untuk mendidik anak menjadi lebih baik. Sebagai orang tua peran kita lebih besar dalam mendidik anak, memberi contoh, memberi motivasi, memberi dukungan biaya, sebagai tempat curhat anak & sebagai rekan berjuang bagi anak.Â
Semua itu adalah pendidikan yang tidak kalah penting dari hanya sekedar sekolah favorit dan penulis merasakan itu semua. Mungkin Pemerintah dengan sistem zonasi 2019 ingin mengakhiri era sekolah dengan pembagian seperti kasta sekolah favorit, sekolah medioker atau sekolah buangan.Â
Ingin semua siswa mendapat pendidikan yang sama dimanapun mereka sekolah, ingin mereka sekolah lebih dekat rumah agar mereka lebih mendapat perhatian dari keluarga agar mereka tidak perlu lagi inde kos di luar kota jika di sekolah favorit.Â
Namun dengan belum siapnya pemerataan sumberdaya baik sumberdaya infrastruktur, SDM tenaga pendidik dan tenaga pendukung membuat beberapa pihak masih ragu akan sistem ini. Semoga sistem ini semakin baik dari tahun ketahun tanpa mengorbankan kualitas pendidikan yang akan diperoleh siswa.
Semoga apapun latar belakang sekolah yang anak kita jalani akan menjadikan anak yang baik dan sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H