Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

# Terhapus

31 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 31 Desember 2024   13:53 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Social Media Illustrations . Sumber : Bing Image

Setahun setelah pertemuan saya dengan Karim, saya membuka sebuah platform bernama "Digital Sanctuary" - ruang aman bagi mereka yang pernah menjadi korban keadilan digital. Tempat di mana mereka bisa berbagi cerita tanpa takut dihakimi.

"Namaku Sarah," tulis salah satu anggota. "Aku kehilangan karir sepuluh tahunku karena sebuah foto yang diambil out of context."

"Aku Ramon. Restoran keluargaku bangkrut karena review palsu yang terorganisir."

Setiap cerita adalah lukisan detail tentang bagaimana kehidupan bisa hancur dalam hitungan klik dan share. Tapi lebih dari itu, setiap cerita adalah tentang bangkit kembali, tentang menemukan kemanusiaan di tengah kebencian digital.

Suatu hari, saya menerima email mengejutkan. Dari seorang gadis bernama Luna, yang mengaku sebagai salah satu admin akun yang dulu gencar menyerang saya.

"Saya tidak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan," tulisnya. "Setiap malam, saya membayangkan berapa banyak kehidupan yang telah saya hancurkan dengan keyboard saya. Saya pikir saya menegakkan keadilan. Tapi sekarang saya sadar, saya hanya menjadi alat kebencian."

Luna sekarang menjadi salah satu volunteer paling aktif di Digital Sanctuary. Ia membantu korban cyber bullying menavigasi proses hukum dan pemulihan reputasi online. "Ini cara saya menebus dosa," katanya.

Karim, yang tetap menjadi teman dekat, sering mengingatkan bahwa internet tidak pernah melupakan. "Tapi," tambahnya, "internet juga bisa belajar memaafkan."

Hari ini, saya kembali mengajar. Bukan di TK, tapi di sebuah ruang kelas digital, mengajarkan literasi media dan empati digital kepada generasi yang tumbuh dengan smartphone di tangan. Saya bercerita pada mereka tentang bagaimana sebuah share atau like bisa menjadi peluru yang melukai nyawa seseorang.

"Tapi Bu Mada," tanya seorang siswa, "bagaimana kita bisa tahu mana yang benar dan salah di internet?"

Saya tersenyum. "Mulailah dengan mengingat bahwa di balik setiap username, setiap avatar, ada manusia yang bernafas. Ada kehidupan yang bisa hancur karena keputusan impulsif kita untuk menekan tombol share."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun