Karim bekerja sebagai Analis data digital - semacam forensik untuk jejak-jejak yang ditinggalkan di internet. Ia menunjukkan pada saya bagaimana video itu pertama kali diunggah dari sebuah akun anonim, kemudian disebarkan oleh bot-bot yang terorganisir.
"Ini bukan kebetulan," katanya sambil menunjukkan pola penyebaran yang terlalu sempurna untuk menjadi viral secara organik. "Seseorang menginginkan Anda hancur."
Dalam penelusurannya, Karim menemukan bahwa serangan ini berawal dari sebuah Yayasan sosial yang merasa tersaingi dengan program literasi anak-anak yang saya jalankan di panti asuhan. Mereka kehilangan donor setelah banyak yang beralih mendukung program saya.
"Tapi saya tidak butuh pembalasan," kata saya pada Karim. "Saya hanya ingin nama saya bersih."
"Sayangnya," Karim tersenyum getir, "di dunia digital, tidak ada yang benar-benar bersih. Ada jejak di setiap sudut internet. Yang bisa kita lakukan adalah menulis ulang narasi."
Malam itu, saya membuka laptop yang sudah lama tak tersentuh. Membaca lagi ribuan komentar kebencian yang dulu membuat saya ingin mengakhiri hidup. Tapi kali ini berbeda. Kali ini saya melihatnya sebagai bukti betapa mudahnya manusia kehilangan kemanusiaannya di balik avatar digital.
Saya mulai menulis. Bukan pembelaan, bukan bantahan. Saya menulis tentang anak-anak di panti asuhan yang dulu saya ajar membaca. Tentang Dini yang akhirnya bisa menulis puisi sendiri. Tentang Adi yang sekarang sudah bisa membacakan dongeng untuk adik-adiknya.
Saya menulis tentang bagaimana media sosial telah menciptakan sistem peradilan baru - di mana seseorang bisa dihakimi dan dihukum tanpa pernah diberi kesempatan membela diri. Di mana keadilan diukur dengan jumlah retweet, dan hukuman dijatuhkan dalam bentuk kebencian massal.
"Mereka yang membenci Anda tidak mengenal Anda," kata Karim suatu hari. "Mereka hanya mengenal versi Anda yang ingin mereka benci."
Perlahan, cerita-cerita saya mulai mendapat perhatian. Bukan viral, tidak trending, tapi mengalir pelan seperti air yang mengikis batu. Satu per satu, mantan murid dan orangtua mereka mulai bersuara, membagikan pengalaman mereka dengan saya.
Yayasan yang tidak suka dengan saya akhirnya terbongkar kecurangannya sendiri, tapi saya menolak untuk bergabung dalam "pembatalan" mereka. "Lingkaran kebencian harus diputus di suatu tempat," tulis saya.