Nama saya masih Mada Prasta, meskipun dunia mencoba menghapusnya.
Hari ini tepat setahun sejak hashtag #MadaPenipu trending di Twitter. Tiga ratus enam puluh lima hari sejak seseorang, entah siapa, memutuskan bahwa saya pantas dihancurkan. Video itu - dipotong, diedit, dimanipulasi - menunjukkan saya seolah mengaku telah menggelapkan dana donasi untuk panti asuhan. Tujuh menit yang mengubah seluruh hidup saya.
"Kita harus mengadili dia!"
"Buktikan kalau kamu tidak bersalah!"
"Penipuan berkedok kemanusiaan!"
Mereka tidak tahu bahwa video lengkapnya adalah saya menjelaskan tentang modus penipuan yang mengatasnamakan panti asuhan, sebagai peringatan. Mereka tidak mau tahu. Di era di mana kebenaran diukur dengan likes dan retweets, siapa yang peduli dengan konteks?
Dalam seminggu, saya kehilangan pekerjaan sebagai guru TK. "Maaf, Bu Mada. Orangtua murid complain." Toko bunga kecil saya di daerah Kemang Selatan tutup karena diboikot. Bahkan panti asuhan yang selama lima tahun saya bantu, terpaksa menolak bantuan saya untuk menghindari kontroversi.
Lucu bagaimana dunia digital bisa mencabut kemanusiaan seseorang dengan begitu mudah. Satu tuduhan, satu hashtag, dan tiba-tiba Anda bukan lagi manusia - Anda adalah monster yang perlu dimusnahkan dari muka bumi.
"Kamu harus melawan!" kata Ibu saya. "Tunjukkan bukti!"
Tapi bagaimana melawan algoritma? Bagaimana menjelaskan kebenaran pada massa yang sudah memutuskan Anda bersalah? Video lengkapnya sudah saya upload berkali-kali, tapi selalu tenggelam di bawah badai kebencian.
Sampai suatu hari, saya menerima email dari seseorang yang mengaku bernama Karim.
"Saya tahu Anda tidak bersalah. Dan saya tahu siapa yang memulai semua ini."