Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Singkat Menuju Pemahaman

3 April 2024   16:22 Diperbarui: 5 April 2024   11:13 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di selatan Jakarta hari itu tampak berwarna abu-abu, di sebuah lingkungan yang penuh dengan gedung tinggi dan jalanan yang selalu sibuk,  Irfan mengendarai motornya. Irfan hanya pekerja biasa; hanya saja dia sangat suka filsafat, dia adalah seorang filsuf dalam dunia modern, seseorang yang menemukan keajaiban dalam rutinitas dan mendalami makna hidup melalui pengamatan sehari-hari.

Hari itu, Irfan memutuskan untuk mengunjungi kafe favoritnya, sebuah tempat kecil namun hangat yang sering menjadi tempat berkumpulnya para pemikir seperti dirinya. Saat memasuki kafe, dia disambut dengan senyum ramah dari Brea, pemilik kafe yang juga memiliki minat dalam filsafat.

"Selamat datang kembali, Irfan. Kopi seperti biasa?" tanya Brea dengan suara lembut.

"Iya, dan mungkin sesuatu yang baru dari menu hari ini?" jawab Irfan, sambil melirik papan menu yang selalu berubah setiap hari.

Sambil menunggu pesanannya, Irfan mengeluarkan buku catatannya dan mulai menuliskan pemikiran-pemikiran yang muncul di benaknya. Kafe itu bukan hanya tempat untuk menikmati kopi bagi Irfan, tapi juga sebuah ruang untuk introspeksi dan bertukar ide.

Tidak lama kemudian, Rina, seorang mahasiswi yang sedang mengejar gelar master di bidang filsafat, bergabung dengan Irfan. Rina adalah salah satu dari banyak orang muda di kota itu yang menemukan inspirasi dalam diskusi dan debat yang sering terjadi di kafe Brea.

"Kamu sedang memikirkan apa, Irfan?" tanya Rina, sambil menarik kursi di seberangnya.

"Idealisme vs. Realisme. Bagaimana keduanya berperang dalam setiap keputusan yang kita buat," jawab Irfan, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya.

Pembicaraan mereka berkembang menjadi diskusi tentang bagaimana filsafat bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dari cara kita memilih untuk bekerja, berinteraksi dengan orang lain, hingga bagaimana kita menanggapi kegagalan dan kesuksesan.

Saat hari beranjak sore, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota,tidak jauh dari Kafe,  menikmati udara segar sambil melanjutkan diskusi mereka. Taman itu, dengan jalur setapaknya yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang, menjadi saksi bisu atas pencarian mereka akan makna hidup.

Di salah satu bangku taman, mereka bertemu dengan Damar, seorang seniman yang karyanya sering menggambarkan konflik internal manusia dan pencarian akan identitas. Diskusi mereka kemudian beralih ke hubungan antara seni dan filsafat, dan bagaimana keduanya saling melengkapi dalam mengeksplorasi kebenaran dan keindahan.

"Seni adalah cara saya berfilsafat," ujar Damar, sambil menunjukkan salah satu sketsanya pada Irfan dan Rina. "Melalui kuas dan kanvas, saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab hanya dengan kata-kata."

Hari itu berakhir dengan ketiganya kembali ke kafe Brea, tempat mereka memulai. Mereka duduk bersama dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, namun merasa terhubung dalam pencarian bersama mereka akan makna hidup.

Ketika malam mulai menutupi kota, percakapan di dalam kafe Brea menjadi lebih dalam dan introspektif. Lampu-lampu yang hangat menyinari wajah para pengunjung, menciptakan suasana yang nyaman dan mengundang lebih banyak diskusi.

Brea memutuskan untuk bergabung dengan Irfan, Rina, dan Damar di meja mereka, membawa secangkir teh dan sepiring kue buatannya sendiri. "Saya selalu berpikir bahwa kafe ini lebih dari sekadar tempat untuk minum kopi," ujarnya. "Ini adalah tempat untuk bertemu pikiran, untuk berbagi dan bertumbuh bersama."

Pembicaraan beralih ke topik tentang kebebasan dan determinisme. Irfan mengemukakan pandangannya bahwa kebebasan sejati mungkin merupakan ilusi, namun penting untuk bertindak seolah-olah kita memiliki pilihan, untuk memberi makna pada hidup kita. Rina, dengan semangat, membela gagasan bahwa kebebasan ada dalam kemampuan kita untuk memilih sikap kita terhadap kondisi yang kita hadapi.

Damar menyumbangkan perspektif senimannya, mengatakan, "Mungkin kebebasan sejati terletak dalam ekspresi diri. Melalui seni, kita bisa melawan batasan dan mengekspresikan pemikiran serta emosi kita tanpa kata-kata."

Diskusi berlanjut dengan pertanyaan dari Brea tentang bagaimana kita dapat menemukan kebahagiaan dalam ketidakpastian. "Apakah kebahagiaan lebih dari sekadar kepuasan sesaat? Bagaimana kita menemukan kebahagiaan yang abadi di dunia yang selalu berubah?"

Irfan merenung sejenak sebelum menjawab, "Mungkin kita perlu memandang kebahagiaan sebagai proses, bukan tujuan. Seperti berkebun; kita menanam, menyiram, dan merawat, menikmati prosesnya, meski kita tahu tidak semua tanaman akan bertahan hidup atau berbunga."

Rina menambahkan, "Dan mungkin, dengan membagi kebahagiaan kita dengan orang lain, kita menemukan makna yang lebih dalam dan kebahagiaan yang lebih abadi."

Malam semakin larut, dan satu per satu pengunjung mulai meninggalkan kafe. Damar membuka sketsa bukunya lagi, kali ini menggambar Irfan, Rina, dan Brea dalam percakapan, mencoba menangkap esensi momen itu dengan goresan pensilnya.

Pertemuan itu berakhir dengan perasaan hangat dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan filsafat. Mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi, untuk melanjutkan pencarian mereka akan kebenaran, keindahan, dan makna dalam kehidupan.

Ketika Irfan berjalan pulang melewati jalanan kota sudah mulai sepi, dia merenung tentang hari itu. Dia menyadari bahwa, meskipun jawaban atas pertanyaan besar kehidupan mungkin selalu tetap menjadi misteri, kekayaan sejati terletak dalam perjalanan pencarian itu sendiri, dalam pertemuan dan percakapan yang kita bagikan dengan sesama pencari.

Di dalam keramaian dan kekacauan dunia modern, ada tempat untuk keheningan dan refleksi. Dan di dalam hati setiap individu, ada ruang untuk filosofi---untuk pencarian yang tak pernah berakhir akan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia di sekitar kita dan tempat kita di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun