Debu dan polusi yang berterbangan. Suara riuh saling bersahutan. Orang-orang berjalan ke sana ke mari. Semua terlihat kurang beraturan. Suasana biasa di terminal bus kota. Rian Giandra Atmaja, laki-laki bertubuh tinggi atletis sedang meneliti setiap bus yang datang. Rian mencari bus dengan kode 615 tujuan Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri. Hari ini adalah hari kepulangannya ke kampung halaman, Desa Pucong, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri. Dua tahun lamanya dia meninggalkan kampung halaman. Merantau demi memenuhi tuntutan kerja di Kota Tangerang.
Suara kondektur samar-samar terdengar. Memberi pengumuman tentang kedatangan bus kode 615. Rian segera menggendong tas dan menyeret kopernya menuju bus. Menyerahkan koper ke kernet untuk ditaruh di dalam bagasi. Lalu naik ke dalam bus dan duduk di kursi baris ke tiga. Rian memasang earphone. Memutar musik berjudul 33× karya Perunggu. Menikmati setiap alunan lagu sembari memejamkan mata. Sepuluh jam berlalu, Rian sampai di terminal bus Purwantoro, Wonogiri. Duduk sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Sudah lama rasanya dia tidak menghirup udara segar. Perlahan senyum di bibirnya mengembang. Tak sabar merasakan nikmatnya udara dan suasana di kampung halaman.
Rian bergegas memesan ojek pangkalan. Dia harus menempuh perjalanan selama 40 menit untuk sampai di kampung halaman. Rian melihat kanan dan kiri jalan. Sangat berbeda dengan suasana di Tangerang. Pepohonan yang rindang, rumah belum bersusun, dan juga masyarakat yang saling peduli. Tentram rasanya memandang itu semua. Rian memberikan ongkos kepada tukang ojek. Antusias keluarga menjadi pandangan pertama menyambut kedatangan Rian. Ada yang menanyakan kabar, memeluk dengan riang, atau sekedar menepuk pundak pelan. Rian berjalan masuk ke rumah bersama keluarganya. Dia izin pamit untuk bersih-bersih dan istirahat di kamar.
~*~
Bulan kian menyamar seiring terbitnya mentari. Menjadi pertanda waktu fajar. Rian mengayuh sepeda fixie-nya. Perlahan-lahan naik ditanjakan. Mengingat Desa Pucong merupakan desa yang terdapat di dataran tinggi. Pemandangan sekitar begitu menakjubkan. Tebing-tebing dan lereng-lereng yang penuh pepohonan. Menjadi view favorit bagi anak rantau seperti Rian. Pandangan Rian tertuju pada tebing sebelah kanan. Dia mencopot earphone-nya. Pikirannya menerawang 20 tahun yang lalu. Samar-samar Rian teringat tentang legenda yang diceritakan kakeknya saat masih kecil. Sebuah cerita sederhana dibalik berdirinya tebing yang ditonton Rian. Dia jadi penasaran akan kelanjutan cerita itu.
Rian segera mengayuh sepeda fixie-nya menuju rumah. Dia ingin menemui kakeknya untuk kembali menceritakan tentang legenda itu. Dia juga rindu momen di mana kakeknya menceritakan cerita tentang kampung halamannya. Banyak sekali kenangan yang ingin Rian ulang. Dia merindukan semua, merindukan masa kecilnya. Rian melihat kakeknya sedang minum kopi di teras. Rian segera mendatangi kakeknya. Lalu menyampaikan maksud dan tujuan untuk menceritakan kembali cerita waktu itu. Kakek menanggapi Rian dengan senyuman.
Pada kala itu, zaman di mana elektronik belum menyerang. Semua warga melakukan segala kegiatan dengan alat tradisional. Masa lebatnya hutan dan minimnya perumahan. Suara burung saling berkicauan, ular berdesis di semak-semak, kera banyak bergelantungan, dan binatang lain menjadi teman bagi warga yang mencari pundi-pundi makanan di tengah hutan.
Suut!
Satu burung jatuh dengan luka panah di sayap kanannya. Pemburu itu segera memasukkan burung ke dalam keranjang tangkapan. Dia berjalan ke tempat yang datar, duduk mensejajarkan kedua kakinya. Tangannya mengambil pisang di dalam karung persediaan makanan. Baru saja ujung pisang akan masuk ke dalam mulut. Naas, sudah direbut dengan kera-kera yang ada di sana. Satu tandan pisang habis tak tersisa. Pemburu itu kesal, mulutnya siap menyumpahi setiap kera yang ada. Pemburu pulang dengan perasaan dongkol. Bukan sekali dua kali kera-kera itu mengganggunya. Bahkan kebun kacangnya hampir habis di makan kera. Tiba di rumah pemburu itu langsung memberikan hasil buruannya kepada sang istri untuk diolah menjadi makan malam.
Setelah istirahat beberapa saat, pemburu itu pamit kepada istrinya untuk mencari rumput di tebing. Saat di perjalanan, tanpa sengaja melihat warga yang berkerumun. Namun, pandangannya fokus pada ekspresi warga yang terlihat kesal dan marah. Pemburu segera menuju ke arah warga untuk bertanya. Seiring jarak yang kian dekat, samar-samar pemburu mendengar percakapan warga. Kini dia tau penyebab ekspresi warga yang terlihat marah dan kesal. Tak lain dan bukan karna kera-kera itu. Pemburu berdecih, “Dasar, kera-kera tidak tau diuntung.”
Pemburu segera mendekat ke arah warga. Sesampai di sana, dia menceritakan peristiwa sewaktu berburu. Hal ini, membuat amarah warga semakin meledak-ledak. Rasa menghakimi semakin memuncak. Salah satu di antara mereka mengajukan saran untuk meracun kera-kera itu, agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga yang semakin besar. Semua warga setuju. Mereka berencana melancarkan aksi pada esok hari.
Keesokan harinya, para warga menabur racun di setiap ladang yang mereka miliki. Warga-warga itu menabur racun dengan ekspresi puas membayangkan kematian kera. Rasa kesal mereka telah meluap-luap. Membuat apa yang menjadi tindakan mereka berjalan di luar batas. Sesuai dugaan, siang harinya banyak kera mulai berdatangan. Ada yang ke kebun pisang, ketela, kacang, dan beberapa kebun lainnya. Kera-kera tersebut mulai meraih-raih makanan dengan riang gembira. Saling menyuarakan suaranya, seakan mereka sedang berbagi cerita tentang kebahagiaan.
Tak lama setelah itu, ada beberapa kera yang mulutnya mulai berbusa, ada pula yang menjadi lemas, dan badannya sedikit kaku. Sepertinya, efek dari racun-racun yang disebar warga sudah mulai bekerja. Bahkan, beberapa menit setelah itu ada kera yang meregang nyawanya. Kera-kera itu tertatih-tatih mencari air. Berjalan sekitar 50 meter, gerombolan kera itu menemukan sumber mata air. Para kera berbondong-bondong meminum sumber mata air itu. Sekejap mata, segala lara dan sakit yang diderita kera hilang. Sehat seperti sedia kala.
“Bagaimana bisa seperti itu?” ucap salah satu warga yang melihat peristiwa tersebut. Warga itu segera pergi untuk mengabari warga yang lain.
Berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru desa. Hingga tetua yang ada di sana pergi menemui para warga yang tadinya meracuni kera. Sang tetua mencoba mencari akar permasalahannya. Pada saat itu, banyak warga yang mengeluarkan keluh kesahnya. Keluh kesah tentang bagaimana susahnya merawat tanaman dan ruginya karna hasil panenan hampir habis di makan kera. Tetua terdiam, berusaha memikirkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Bagaimana pun juga, kera adalah hewan liar yang tidak mengerti bahasa manusia.
“Bagaimana jika kalian memberikan jatah makanan untuk kera? Dengan membunuh mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi dengan adanya sumber mata air itu, kera-kera bisa lekas sembuh,” ucap tetua memberikan saran. Awalnya, banyak warga yang tidak setuju. Bagaimana mungkin mereka memberikan hasil panenan kepada kera? Sedang mereka sudah merawatnya dengan susah payah. Tidak mengenal waktu, malam atau pun siang. Bagaimana bisa tetua berkata begitu mudahnya?
Tetua memberikan pengertian kepada warga. Bahwa berbagi itu indah, berbagi tidak harus kepada manusia dan mungkin ini menjadi satu-satunya jalan agar kera-kera tidak merusak tanaman warga. Mau diracun berapa kali pun selama sumber mata air itu masih ada akan percuma. Sedangkan untuk menutup sumber mata air itu, rasanya hanya menjadi hayalan belaka. Selain itu, populasi kera juga harus dilestarikan seiring bertambah umur dunia. Lagipula, manusia juga mengambil makanan dari hutan yang mana milik hewan-hewan di sana. Akhirnya, warga pun setuju untuk membagi hasil panenan mereka dengan hewan di hutan, terutama kera. Sejak saat itu, kera-kera mulai berkurang datang ke kebun warga. Warga telah menyediakan makanan di perbatasan hutan. Tidak ada kegaduhan antara warga dan hewan-hewan liar lainnya. Semua hidup berdampingan sebagaimana mestinya. Memang benar kata tetua, bahwa berbagi dan berbuat baik tidak harus kepada manusia. Semua berhak bahagia dan semua berhak hidup sebagaimana mestinya Tuhan menciptakan hidup.
Tidak terasa matahari tepat berada di atas kepala. Sedari tadi Rian mendengar cerita kakek dengan baik. Sekarang dia menjadi tau kelengkapan dari legenda yang sering kakek ceritakan dulu. Namun, masih terbesit satu pertanyaan di kepala Rian. “Kek, kenapa tempat itu dinamakan Watu Adeg?”
Kakek meletakkan cangkir kopinya. Lalu menoleh ke arah Rian. “Saat kita berada di jalan, jalan yang tadi kamu lewati kita akan melihat batu itu seolah-olah berdiri. Oleh sebab itu, dinamakan Watu Adeg. Tidak ada sejarah khusus tentang penamaannya, Le.” Rian menganggukkan kepala tanda mengerti.
Saat Rian mengamati letak Watu Adeg, dia dibuat gagal fokus terhadap sebuah pagar di tepi tebing dan bendera merah putih di atasnya. Sepertinya sudah ada pembangunan di daerah sana. “Tadi Rian lihat dari jalan, ada pagarnya di tepi tebing. Apa sudah ada pembangunan di sana, Kek?” tanya Rian.
Kakek mengangguk, “Iya, Le. Baru saja dibangun bulan Maret tahun 2023. Dijadikan sebagai Desa Wisata seperti Taman Dolanan dan Tempat Pembuatan Batik Ciprat. Pengelolanya pemuda desa sini semua, Le. Andai kamu ndak merantau bisa gabung.” Rian menanggapi dengan senyuman. “Andai aja ya, kek.”
“Kamu coba main ke sana, Le. Sekarang aksesnya lebih mudah. Kalau mau ke sumber mata airnya tanya saja sama petugas, nanti diberi tau,” ucap kakek.
“Iya, kek nanti sore saja. Sekalian Rian mau melihat senja di atas sana.”
~SELESAI~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H