Mohon tunggu...
Febia Wahyu Ningtyas
Febia Wahyu Ningtyas Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

Matcha, kata, senja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Cerita di Kampung Halamanku

20 September 2024   17:49 Diperbarui: 20 September 2024   17:50 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keesokan harinya, para warga menabur racun di setiap ladang yang mereka miliki. Warga-warga itu menabur racun dengan ekspresi puas membayangkan kematian kera. Rasa kesal mereka telah meluap-luap. Membuat apa yang menjadi tindakan mereka berjalan di luar batas. Sesuai dugaan, siang harinya banyak kera mulai berdatangan. Ada yang ke kebun pisang, ketela, kacang, dan beberapa kebun lainnya. Kera-kera tersebut mulai meraih-raih makanan dengan riang gembira. Saling menyuarakan suaranya, seakan mereka sedang berbagi cerita tentang kebahagiaan. 

Tak lama setelah itu, ada beberapa kera yang mulutnya mulai berbusa, ada pula yang menjadi lemas, dan badannya sedikit kaku. Sepertinya, efek dari racun-racun yang disebar warga sudah mulai bekerja. Bahkan, beberapa menit setelah itu ada kera yang meregang nyawanya. Kera-kera itu tertatih-tatih mencari air. Berjalan sekitar 50 meter, gerombolan kera itu menemukan sumber mata air. Para kera berbondong-bondong meminum sumber mata air itu. Sekejap mata, segala lara dan sakit yang diderita kera hilang. Sehat seperti sedia kala.

“Bagaimana bisa seperti itu?” ucap salah satu warga yang melihat peristiwa tersebut. Warga itu segera pergi untuk mengabari warga yang lain. 

Berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru desa. Hingga tetua yang ada di sana pergi menemui para warga yang tadinya meracuni kera. Sang tetua mencoba mencari akar permasalahannya. Pada saat itu, banyak warga yang mengeluarkan keluh kesahnya. Keluh kesah tentang bagaimana susahnya merawat tanaman dan ruginya karna hasil panenan hampir habis di makan kera. Tetua terdiam, berusaha memikirkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Bagaimana pun juga, kera adalah hewan liar yang tidak mengerti bahasa manusia. 

“Bagaimana jika kalian memberikan jatah makanan untuk kera? Dengan membunuh mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi dengan adanya sumber mata air itu, kera-kera bisa lekas sembuh,” ucap tetua memberikan saran. Awalnya, banyak warga yang tidak setuju. Bagaimana mungkin mereka memberikan hasil panenan kepada kera? Sedang mereka sudah merawatnya dengan susah payah. Tidak mengenal waktu, malam atau pun siang. Bagaimana bisa tetua berkata begitu mudahnya? 

Tetua memberikan pengertian kepada warga. Bahwa berbagi itu indah, berbagi tidak harus kepada manusia dan mungkin ini menjadi satu-satunya jalan agar kera-kera tidak merusak tanaman warga. Mau diracun berapa kali pun selama sumber mata air itu masih ada akan percuma. Sedangkan untuk menutup sumber mata air itu, rasanya hanya menjadi hayalan belaka. Selain itu, populasi kera juga harus dilestarikan seiring bertambah umur dunia. Lagipula, manusia juga mengambil makanan dari hutan yang mana milik hewan-hewan di sana. Akhirnya, warga pun setuju untuk membagi hasil panenan mereka dengan hewan di hutan, terutama kera. Sejak saat itu, kera-kera mulai berkurang datang ke kebun warga. Warga telah menyediakan makanan di perbatasan hutan. Tidak ada kegaduhan antara warga dan hewan-hewan liar lainnya. Semua hidup berdampingan sebagaimana mestinya. Memang benar kata tetua, bahwa berbagi dan berbuat baik tidak harus kepada manusia. Semua berhak bahagia dan semua berhak hidup sebagaimana mestinya Tuhan menciptakan hidup. 

Tidak terasa matahari tepat berada di atas kepala. Sedari tadi Rian mendengar cerita kakek dengan baik. Sekarang dia menjadi tau kelengkapan dari legenda yang sering kakek ceritakan dulu. Namun, masih terbesit satu pertanyaan di kepala Rian. “Kek, kenapa tempat itu dinamakan Watu Adeg?” 

Kakek meletakkan cangkir kopinya. Lalu menoleh ke arah Rian. “Saat kita berada di jalan, jalan yang tadi kamu lewati kita akan melihat batu itu seolah-olah berdiri. Oleh sebab itu, dinamakan Watu Adeg. Tidak ada sejarah khusus tentang penamaannya, Le.” Rian menganggukkan kepala tanda mengerti. 

Saat Rian mengamati letak Watu Adeg, dia dibuat gagal fokus terhadap sebuah pagar di tepi tebing dan bendera merah putih di atasnya. Sepertinya sudah ada pembangunan di daerah sana. “Tadi Rian lihat dari jalan, ada pagarnya di tepi tebing. Apa sudah ada pembangunan di sana, Kek?” tanya Rian. 

Kakek mengangguk, “Iya, Le. Baru saja dibangun bulan Maret tahun 2023. Dijadikan sebagai Desa Wisata seperti Taman Dolanan dan Tempat Pembuatan Batik Ciprat. Pengelolanya pemuda desa sini semua, Le. Andai kamu ndak merantau bisa gabung.” Rian menanggapi dengan senyuman. “Andai aja ya, kek.” 

“Kamu coba main ke sana, Le. Sekarang aksesnya lebih mudah. Kalau mau ke sumber mata airnya tanya saja sama petugas, nanti diberi tau,” ucap kakek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun