Antropologi politik menyoroti pergerakan tingkah laku dan kebudayaan yang berorientasi kepada proses, menuju sintesis baru dengan menggunakan analisa struktur yang telah diperbarui.
Teori pertukaran sosial (social exchange)
Teori Social Exchange dari Peter M. Blau. menyatakan bahwa; “pertukaran sosial tidak hanya di dasarkan pada keputusan individu saja, tetapi individu yang masuk membangun hubungan sosial dengan kelompok, sehingga pada individu turut melekat posisi, jenjang, norma kelompok, dan kewenangan-kewenangannya.” (Susilo, 2008). Oleh karena itu sekalipun individu berkuasa merumuskan hubungan sosial itu, tetapi ia tidak bisa lepas dari atribut-atribut yang di miliki kelompoknya.
Peter M. Blau dalam Social Exchange Theory, yang diuraikan oleh Keren S. Cook. [1987], dan di kutip ke dalam Rachmad Dwi Susilo (2008) menyatakannya bahwa “organisasi sosial mampu memberikan imbalan kepada manusia secara intrinsik.” Malcolm Waters, mengutip Blau dalam Modern Sociological Theory, ia menyatakan “banyak sekali kesenangan manusia yang berakar pada kehidupan sosial.” Partisipasi pada organisasi manusia (organisasi politik, partai politik) sudah menjadi keharusan memerlukan pengorbanan biaya (cost), dan kemudian distribusi pengorbanan dan imbalan.
Menurut Peter Blau, pertukaran sosial memenuhi watak-watak dengan fungsi utama (Susilo, 2008), yaitu: Pertama; Pembentukan pertalian pertemanan bagi pihakpihak yang saling membuat persetujuan, baik pada strata (lapisan) yang sama maupun pada strata yang berbeda. Kedua; Meneguhkan Subordinasi atau dominasi, terutama terjadi jika interaksi dibangun dalam strata yang tidak sama.
Pertukaran sosial ranah politik
Para toko politik, elit masyarakat serta oligarki-oligarki berlomba untuk mendapat simpati masyarakat, salah satunya dengan cara melakukan kontrak politik. Budaya kontrak politik telah menjadi tren sejak pemilu langsung memilih tahun 2004. Kesepakatan dua kelompok atau lebih dalam kontrak politik tersebut sangat beraneka ragam. Segala tuntutan yang bersifat regional skala prioritas bagi rakyat setempat harus termuat dalam isi kontrak tersebut, yang hal tersebut wajib di realisasikan oleh partai pemenang. Sebaliknya para pendukung yang menjalin kontrak tersebut harus mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya bagi tokoh yang mereka dukung. Secara umum kontrak politik dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi, capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat dengan pemimpinnya (Biyanto, 2015).Secara umum kontrak politik bisa di golongkan menjadi dua bentuk model. Pertama; kontrak politik yang melibatkan antara elit partai dengan unsur-unsur masyarakat. Kedua; kontrak politik yang melibatkan sesama partai atau dua kubu partai, atau bahkan lebih.
Partai politik
Salah satu karakteristik dasar dari sebuah negara yang demokratis adalah adanya kebebasan di dalam membentuk organisasi, termasuk partai Politik. Partai Politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap sistem demokratis. Partai politik berperan sebagai wadah penghubung bagi segala proses yang melibatkan Masyarakat dan pemerintah. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokratis, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942) “political parties created democrazy” (Asshiddiqie, 2005). Jimly Ashiddiqie menambahkan bahwa, partai merupakan pilar sangat penting untuk di perkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem politik yang demokratis.
Walaupun demikian, sisi gelap partai politik pun jadi rahasia umum, ketika hawa nafsu dunia, keserakahan dan ambisi buta yang menutup akal sehat, menguasai elit dan partai, petakapun harus di terima oleh negara dan masyarakat luas. Tidak heran jika ada pandangan kritis dan skeptis terhadap partai politik. Pandangan lain juga menilai bahwa partai politik tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi segelintir elit politik untuk mengumpulkan keuntungan dirinya dan golongannya semata.