Pengangguran di kalangan gen Z terus menjadi topik panas. generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012 ini dikenal adaptif terhadap teknologi, kreatif, dan melek digital. Namun ironisnya mereka justru sering terjebak dalam kemiskinan atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan ahli mereka. pertanyaannya apa yang salah apakah sistem lowongan pekerjaan yang jadi biang kerok, atau ada faktor lain yang berperan.
Ekspektasi Vs Realita di dunia kerja
Gen Z tumbuh di era informasi dimana segala hal tampak mungkin. Mereka terinspirasi oleh cerita sukses pengusaha muda, influencer, dan inovator. tapi ketika masuk ke pasar kerja, kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan banyak pekerjaan yang masih mengandalkan sistem lama yang rigid, seperti:
1. Persyaratan tidak masuk akal.
Contohnya, lowongan untuk posisi entry level tapi minta pengalaman kerja 3-5 tahun bagi fresh graduate ini jelas jadi tembok besar yang sulit ditembus.
2. Fokus berlebihan pada nilai akademikÂ
Banyak perusahaan yang masih terlalu mementingkan IPK tinggi tanpa soft skill atau kemampuan praktis yang dimiliki kandidat.Â
3. proses rekrutmen yang rumitÂ
Sistem rekrutmen yang panjang dan berbelit, seperti banyak tahap tes hingga wawancara sering membuat kandidat frustasi. Gen Z yang cenderung menghargai efisiensi merasa waktu mereka terbuang sia-sia.
Masalah sistem: Adakah solusi?
Beberapa masalah dalam sistem penerimaan kerja memang sudah lama ada, namun baru terasa dampaknya bagi Gen Z yang memiliki gaya hidup dan ekspektasi berbeda. Beberapa poin berikut menjadi sorotan utama:
Transparansi minimalÂ
Banyak perusahaan tidak memberikan informasi yang jelas tentang gaji, jenjang karir, atau budaya kerja akibatnya kandidat merasa seperti membeli "kucing dalam karung."
Teknologi yang tidak selalu bersahabatÂ
Meski Gen Z mahir teknologi, sistem Aplikasi Tracking System (ATS) yang digunakan banyak perusahaan justru sering menyingkirkan kandidat potensial hanya karena CV mereka tidak menggunakan kata kunci tertentu.
Kurangnya koneksi antara pendidikan dan industriÂ
Kurikulum pendidikan sering tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Gen Z pun terjebak dalam "skill gap," di mana kemampuan yang mereka miliki tidak sesuai dengan apa yang dicari perusahaan.
Apa yang bisa dilakukan?
Untuk memperbaiki situasi ini semua pihak perlu bekerja sama yaitu yang pertama perusahaan perlu beradaptasi, Sistem rekrutmen harus lebih fleksibel dan inklusif. Berikan kesempatan pada kandidat tanpa pengalaman formal, Â terutama mereka yang memiliki potensi besar berdasarkan portofolio atau karya nyata. Yang kedua yaitu reformasi pendidikan, Institusi pendidikan harus lebih banyak melibatkan industri dalam menyusun kurikulum sehingga lulusan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Yang terakhir Generasi Z harus proaktif, gen Z harus adaptif. jangan hanya mengandalkan jalur formal tapi memanfaatkan platform seperti LindkedIn buat portofolio digital atau eksplorasi kerja freelance untuk membangun pengalaman.
KesimpulanÂ
Pengangguran di era Gen Z bukan hanya soal malas atau kurang usaha tapi lebih kompleks dari itu. Sistem penerimaan kerja yang usang, ketidaksesuaian antara pendidikan dan industri, serta proses rekrutmen yang tidak ramah adalah sebagian dari masalahnya. Solusinya? semua pihak perlu berubah mulai dari perusahaan, pendidikan, hingga individu tersendiri. Kalau semua elemen ini berkolaborasi mungkin kemiskinan tidak lagi terjadi, tapi peluang untuk menciptakan dunia kerja yang lebih adil dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H