Dokter merupakan salah satu profesi yang paling berjasa dalam membantu kelangsungan hidup manusia. Kepedulian dan keinginan untuk membantu banyak orang mengenai masalah kesehatan merupakan bagian dari diri seorang dokter. Tak ayal, hal inilah yang menjadikan dokter sebagai profesi yang diminati serta disayangi oleh para masyarakat.Â
Begitu pula dengan Soetanti, seorang perempuan enerjik yang menghabiskan waktunya untuk belajar dan menimba ilmu serta membantu banyak orang akan isu-isu kesehatan yang melanda mereka. Beliau merupakan dokter spesialis akupuntur pertama di Indonesia. Namun sayang, tak banyak yang mengetahui sepak terjang Soetanti dalam membantu rakyat Indonesia kala itu. Hal ini dikarenakan beliau adalah istri dari orang nomor satu di Partai Komunis Indonesia saat itu, Dipa Nusantara Aidit atau yang lebih kita kenal dengan nama D.N. Aidit.Â
Sejarah seolah menutup pintu akses masyarakat Indonesia untuk mengenal Soetanti lebih jauh. Lantaran beliau masih memiliki ikatan yang kuat dengan PKI yang sebelumnya menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Belakangan, nama beliau mulai dikenal dan sekelumit kisah hidupnya dapat kita baca di beberapa buku dan artikel seperti ; Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, G30S/PKI dan Peran Aidit, Tempo edisi Khusus; Kisah Cinta: Meminang Lewat Sepucuk Surat, artikel Agung Ayu Ratih yang berjudul "Merayakan Hari Ibu dan Kongres Perempuan Indonesia", (Jurnal Perpustakaan 1965-1966, Vol. 4, No. (7) September 2021) dan tulisan-tulisan lainnya.
Soetanti lahir di Sungai Liat pada tanggal 1 November 1923. Soetanti berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran. Ayahnya bernama R.M. Mudigdio (Raden Mas Mudigdio) yang merupakan putra dari Koesoemodigdo, bupati Tuban yang pertama. Ayahnya masih berkerabat dekat dengan bupati Rembang, K.R.M. Raja Muda Ario Singgih Djojoadhiningrat (Kanjeng Raden Mas Djojoadhiningrat) yang merupakan suami dari R.A. Kartini (Raden Ajeng Kartini). Ibunya bernama Siti Aminah yang berdarah Minang - Deli dan anak dari tuan tanah terpandang di daerah Deli.Â
Keluarga Soetanti akrab dengan gerakan melawan penjajah. Kendati mereka adalah keluarga ningrat, tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk fokus menimbun harta. Mereka hidup berpindah-pindah demi kepentingan pergerakan dan perang. Setelah Soetanti lahir, mereka pindah ke Yogyakarta. Bapak Mudigdio menjadi guru sekolah menengah Muhammadiyah disana. Mereka sempat tinggal di kediaman bupati Rembang selama beberapa waktu.
Soetanti tumbuh menjadi gadis pemberani, mudah akrab dengan orang, periang dan terkenal ceplas-ceplos saat berbicara. Ciri khas perempuan-perempuan yang berdarahkan semangat pergerakan. Soetanti terkenal cerdas dan gemar menimba ilmu. Baginya, belajar dan memperluas wawasan adalah sebuah kewajiban. Hal ini dilatarbelakangi karena ayahnya, Bapak Mudigdio, memang memiliki pikiran yang terbuka mengenai pendidikan bagi anak-anaknya.
Ia menamatkan sekolah menengah berbahasa Belanda (MULO) lalu kemudian melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran di Surabaya (NIAS). Ia sempat menemui halangan saat melanjutkan studinya itu, yaitu kekurangan biaya untuk membayar uang kuliahnya. Pada saat itu sedang dalam musim paceklik. Bapak Mudigdio, tidak mendapatkan panen yang baik sehingga tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar biaya kuliahnya. Jalan keluarnya, ia kemudian meminjam uang senilai tagihan uang kuliahnya kepada sepupu terdekatnya, R.M. Soesalit yang merupakan putra tunggal dari R.A. Kartini.
Soetanti muda mendapat julukan "Bolletje" yang jika terjemahkan dalam bahasa Belanda maka berarti "bundar". Hal ini disebabkan ia memiliki perawakan yang agak gemuk dan berpipi lebar.Â
Soetanti muda pertama kali bertemu D.N. Aidit pada saat kunjungannya ke kantor majalah dua bulanan Bintang Merah. Ia datang bersama dengan seorang teman perempuannya. Kedatangan mereka disana disambut oleh dua redaktur yang sedang bertugas kala itu, Hasan Raid (yang di kemudian hari diangkat menjadi anak oleh ibunya Soetanti karena sama-sama berdarah Minang) dan D.N. Aidit. Saat itu mereka masih menjadi mahasiswa tingkat tiga di sekolah kedokteran.
Kunjungan pertama mereka kiranya hanyalah untuk bersilaturahmi. Kemudian, pada kunjungan kedua, Soetanti membawa lebih banyak teman-temannya. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia dan sekaligus mengundang D.N. Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan "kuliah" soal politik dan keorganisasian.Â
Si "Bolletje" menyukai D.N. Aidit. Diketahui dari berbagai sumber, ia seringkali menyimak pidato Aidit di bangku paling depan. Hingga di suatu waktu, seusai berpidato, D.N. Aidit menitipkan surat kepada Soetanti yang diperuntukkan untuk ayahnya, Bapak Mudigdio. Isi surat itu tak lain dan tak bukan, berisikan lamaran untuk meminang Soetanti. Ayahnya pun menyetujui lamaran tersebut. Pada tahun 1948, D.N. Aidit dan Soetanti menikah secara Islam dan tanpa pesta di rumah K.H. Raden Dasuki (Kyai Haji Raden Dasuki), seorang sesepuh PKI Solo yang bertindak sebagai penghulu. Pernikahan ini dihadiri oleh ayah, ibu dan keempat adik Soetanti dan dua adik D.N. Aidit sebagai perwakilan dari keluarga D.N. Aidit dari Belitung. Pernikahannya dengan D.N. Aidit dikaruniai lima orang anak ; Ibarruri Putri Alam (Iba Aidit), Ilya Aidit, Irfan Aidit, Ilham Aidit dan Iwan Aidit.
Menjalani hidup sebagai istri D.N. Aidit tidaklah mudah. Mereka sering berpisah dikarenakan teror dan juga ancaman dari pelbagai pihak yang sinis dengan gerakan kiri. Terlebih pada saat D.N. Aidit menjadi ketua partai PKI dan wakil ketua MPR. Mereka pernah tinggal di rumah yang berlantaikan tanah di daerah Gondangdia. Lalu pernah juga tinggal di suatu perkampungan di daerah Galur, Tanah Tinggi. Hingga akhirnya mereka terpaksa mengungsi akibat perkampungan itu terbakar.Â
Saat melahirkan anak pertamanya, Ibarruri Putri Alam, ia hanya ditemani oleh adik-adiknya D.N. Aidit. Pada tahun 1958 - 1960, Soetanti berangkat ke Uni Soviet untuk melanjutkan studi spesialis Radiologi. Ia dalam mengandung, mengikutsertakan putri tertuanya, Iba Aidit yang kemudian disusul putri kedua nya, Ilya Aidit. Ia kemudian melahirkan Irfan Aidit dan Ilham Aidit saat sedang menyelesaikan studinya.Â
Sekembalinya dari Uni Soviet, Soetanti mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia pun membuka praktek di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Poliklinik rakyat di kantor Gerwani milik PKI. Sepak terjang Soetanti dalam belajar ternyata tidak sampai disitu. Diketahui, ia kemudian berangkat lagi ke Pyongyang, Korea Utara, untuk mendalami studi mengenai akupuntur.
Sepulang dari Pyongyang, belum sempat mempraktekkan ilmu yang telah didapatnya, ia sudah harus hidup dalam penyamaran. Kehidupan Soetanti setelah peristiwa pemberontakan kelam di tanggal 30 September 1965 berubah menjadi mencekam dan penuh tekanan.Â
Dikutip dari buku 'Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara', Soetanti dan Aidit sempat bertengkar sebelumnya. Soetanti tidak ingin suaminya ikut bersama orang-orang militer berbaju biru yang menjemputnya. Namun Aidit tetap pergi. Setelah mencium kening istrinya dan berpesan agar jangan lupa mengunci pintu, Aidit ikut dengan orang-orang yang menjemputnya dari tak pernah pulang kembali. Tak ada yang tahu diapakan dan dikemanakan ketua PKI itu, hanya saja, beredar kabar bahwa D.N. Aidit sudah tewas dieksekusi di Boyolali.
Tiga hari setelah suaminya dibawa, Soetanti ikut menghilang. Ia menitipkan anak-anaknya kepada saudara-saudara yang berbaik hati mau merawat. Konon, Soetanti pergi ke Boyolali mencari suaminya dan menemui bupati Boyolali untuk meminta bantuan.
Bupati Boyolali kemudian membantunya. Soetanti terpaksa harus bersembunyi dan menyamar. Bersama dengan bupati Boyolali, Suali Dwijosukanto, yang masih sama-sama seorang politikus PKI, ia kemudian menyewa sebuah rumah dan supaya tidak dicurigai, mereka mengambil dua orang anak. Posisinya sangat berbahaya pada saat itu. Buronan karena ia adalah seorang PKI, terlebih lagi, ia adalah istri dari ketua Partai Komunis Indonesia.
Tapi nasib memang tak berpihak pada Soetanti. Istri orang nomor satu di PKI ini kemudian ditangkap usai tetangganya melaporkannya lantaran menaruh kecurigaan kepada mereka. Soetanti kemudian dijebloskan ke penjara pada tahun 1966. Hari-hari selanjutnya ia habiskan dengan mendekam di satu penjara ke penjara lainnya. Soetanti mendekam di penjara selama 14 tahun. Kemudian, ia dibebaskan pada tahun 1980.Â
Selama di penjara, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan anak-anaknya. Pasalnya, keluarganya khawatir akan keselamatan anak-anaknya. Ia kemudian melanjutkan karirnya menjadi seorang dokter setelah memperoleh bantuan dari teman-temannya selama bersekolah dulu. Ia membuka praktek di rumah sakit yang menerimanya. Ia kemudian tinggal bersama ibunya, Siti Aminah. Soetanti kemudian tutup usia pada tahun 1991 karena terkena penyakit stroke.Â
Begitulah akhir hayat dari Soetanti, dokter spesialis akupuntur pertama di Indonesia yang sempat menghilang dari garis sejarah bangsanya sendiri. Jangan lah sesekali melupakan sejarah. Bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang ingat akan sejarah bangsanya. Mengenang sosok Soetanti adalah bagian dari mengingat sejarah Indonesia. Beliau memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga dan empati yang besar terhadap rakyat Indonesia, terkhusus pada dunia kedokteran di Indonesia. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang baik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI