Si "Bolletje" menyukai D.N. Aidit. Diketahui dari berbagai sumber, ia seringkali menyimak pidato Aidit di bangku paling depan. Hingga di suatu waktu, seusai berpidato, D.N. Aidit menitipkan surat kepada Soetanti yang diperuntukkan untuk ayahnya, Bapak Mudigdio. Isi surat itu tak lain dan tak bukan, berisikan lamaran untuk meminang Soetanti. Ayahnya pun menyetujui lamaran tersebut. Pada tahun 1948, D.N. Aidit dan Soetanti menikah secara Islam dan tanpa pesta di rumah K.H. Raden Dasuki (Kyai Haji Raden Dasuki), seorang sesepuh PKI Solo yang bertindak sebagai penghulu. Pernikahan ini dihadiri oleh ayah, ibu dan keempat adik Soetanti dan dua adik D.N. Aidit sebagai perwakilan dari keluarga D.N. Aidit dari Belitung. Pernikahannya dengan D.N. Aidit dikaruniai lima orang anak ; Ibarruri Putri Alam (Iba Aidit), Ilya Aidit, Irfan Aidit, Ilham Aidit dan Iwan Aidit.
Menjalani hidup sebagai istri D.N. Aidit tidaklah mudah. Mereka sering berpisah dikarenakan teror dan juga ancaman dari pelbagai pihak yang sinis dengan gerakan kiri. Terlebih pada saat D.N. Aidit menjadi ketua partai PKI dan wakil ketua MPR. Mereka pernah tinggal di rumah yang berlantaikan tanah di daerah Gondangdia. Lalu pernah juga tinggal di suatu perkampungan di daerah Galur, Tanah Tinggi. Hingga akhirnya mereka terpaksa mengungsi akibat perkampungan itu terbakar.Â
Saat melahirkan anak pertamanya, Ibarruri Putri Alam, ia hanya ditemani oleh adik-adiknya D.N. Aidit. Pada tahun 1958 - 1960, Soetanti berangkat ke Uni Soviet untuk melanjutkan studi spesialis Radiologi. Ia dalam mengandung, mengikutsertakan putri tertuanya, Iba Aidit yang kemudian disusul putri kedua nya, Ilya Aidit. Ia kemudian melahirkan Irfan Aidit dan Ilham Aidit saat sedang menyelesaikan studinya.Â
Sekembalinya dari Uni Soviet, Soetanti mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia pun membuka praktek di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Poliklinik rakyat di kantor Gerwani milik PKI. Sepak terjang Soetanti dalam belajar ternyata tidak sampai disitu. Diketahui, ia kemudian berangkat lagi ke Pyongyang, Korea Utara, untuk mendalami studi mengenai akupuntur.
Sepulang dari Pyongyang, belum sempat mempraktekkan ilmu yang telah didapatnya, ia sudah harus hidup dalam penyamaran. Kehidupan Soetanti setelah peristiwa pemberontakan kelam di tanggal 30 September 1965 berubah menjadi mencekam dan penuh tekanan.Â
Dikutip dari buku 'Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara', Soetanti dan Aidit sempat bertengkar sebelumnya. Soetanti tidak ingin suaminya ikut bersama orang-orang militer berbaju biru yang menjemputnya. Namun Aidit tetap pergi. Setelah mencium kening istrinya dan berpesan agar jangan lupa mengunci pintu, Aidit ikut dengan orang-orang yang menjemputnya dari tak pernah pulang kembali. Tak ada yang tahu diapakan dan dikemanakan ketua PKI itu, hanya saja, beredar kabar bahwa D.N. Aidit sudah tewas dieksekusi di Boyolali.
Tiga hari setelah suaminya dibawa, Soetanti ikut menghilang. Ia menitipkan anak-anaknya kepada saudara-saudara yang berbaik hati mau merawat. Konon, Soetanti pergi ke Boyolali mencari suaminya dan menemui bupati Boyolali untuk meminta bantuan.
Bupati Boyolali kemudian membantunya. Soetanti terpaksa harus bersembunyi dan menyamar. Bersama dengan bupati Boyolali, Suali Dwijosukanto, yang masih sama-sama seorang politikus PKI, ia kemudian menyewa sebuah rumah dan supaya tidak dicurigai, mereka mengambil dua orang anak. Posisinya sangat berbahaya pada saat itu. Buronan karena ia adalah seorang PKI, terlebih lagi, ia adalah istri dari ketua Partai Komunis Indonesia.
Tapi nasib memang tak berpihak pada Soetanti. Istri orang nomor satu di PKI ini kemudian ditangkap usai tetangganya melaporkannya lantaran menaruh kecurigaan kepada mereka. Soetanti kemudian dijebloskan ke penjara pada tahun 1966. Hari-hari selanjutnya ia habiskan dengan mendekam di satu penjara ke penjara lainnya. Soetanti mendekam di penjara selama 14 tahun. Kemudian, ia dibebaskan pada tahun 1980.Â
Selama di penjara, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan anak-anaknya. Pasalnya, keluarganya khawatir akan keselamatan anak-anaknya. Ia kemudian melanjutkan karirnya menjadi seorang dokter setelah memperoleh bantuan dari teman-temannya selama bersekolah dulu. Ia membuka praktek di rumah sakit yang menerimanya. Ia kemudian tinggal bersama ibunya, Siti Aminah. Soetanti kemudian tutup usia pada tahun 1991 karena terkena penyakit stroke.Â
Begitulah akhir hayat dari Soetanti, dokter spesialis akupuntur pertama di Indonesia yang sempat menghilang dari garis sejarah bangsanya sendiri. Jangan lah sesekali melupakan sejarah. Bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang ingat akan sejarah bangsanya. Mengenang sosok Soetanti adalah bagian dari mengingat sejarah Indonesia. Beliau memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga dan empati yang besar terhadap rakyat Indonesia, terkhusus pada dunia kedokteran di Indonesia. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang baik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.