Mohon tunggu...
NAZWA LUKYTASARI
NAZWA LUKYTASARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

MAHASISWI PROGRAM STUDI KEBIDANAN ANGKATAN 2024

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Sunat Wanita : Apa Dampak Bagi Sistem Reproduksi dan Psikologis yang Dirasakan Oleh Wanita

14 Desember 2024   11:10 Diperbarui: 19 Desember 2024   09:06 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sunat Wanita : Apa Dampak Bagi Sistem Reproduksi dan Psikologis yang Dirasakan oleh Wanita

          Sistem reproduksi manusia terdiri dari serangkaian organ dan jaringan yang berbeda antara pria dan wanita yang berfungsi untuk memungkinkan proses reproduksi, yaitu proses biologis di mana seseorang menghasilkan keturunan.Sistem reproduksi sendiri memiliki organnya masing-masing dan tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan antara satu dengan yang lainnya, sebab antar organ saling melengkapi dan berkaitan.

           Sunat perempuan, atau pemotongan genital perempuan (FGM), adalah salah satu cara yang merusak hak reproduksi wanita. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (2021), FGM adalah teknik tradisional yang berbahaya yang dapat menyebabkan cedera pada alat kelamin wanita. Untuk alasan keamanan medis, petugas khitan tradisional dan beberapa penyedia layanan melakukan prosedur ini dengan sering. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa mutilasi genital manusia (FGM) adalah tindakan yang dilarang karena merupakan pelecehan hak asasi perempuan. Di seluruh dunia, mutilasi alat kelamin masih dilakukan pada lebih dari 200 juta wanita dewasa dan anak perempuan. Meskipun jumlah kasus FGM telah berkurang, sekitar 3 juta anak perempuan berpotensi mengalaminya sebelum usia mereka genap 15 tahun. Tingkat FGM pada perempuan usia 15-19 tahun meningkat dari 49% pada tahun 2020.

           UNICEF (2019) melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ke 4 (49%) perempuan usia 0-11 tahun yang mengalami FGM, di belakang Mauritania (51%), Gambia (56%), dan Mali (73%). Gorontalo memiliki tingkat tertinggi dengan lebih dari 80%, sedangkan Nusa Tenggara Timur memiliki tingkat terendah dengan kurang dari 10%. FGM dapat menyebabkan masalah kesehatan dalam jangka panjang dan tidak memiliki manfaat kesehatan. FGM mencakup semua prosedur yang mengeluarkan alat kelamin wanita dari luar, baik sebagian maupun keseluruhannya, atau cedera lain pada alat kelamin wanita karena alasan non-medis. Susantyawati dan Hakim, 2022.Sangat penting bagi masyarakat, penyunat tradisional melakukan praktik ini sebagian besar. Menurut WHO (2018), organisasi tersebut dengan tegas meminta para profesional kesehatan untuk menghindari melakukan prosedur FGM. Permenkes RI Nomor 6 tahun 2014 mencabut Permenkes RI Nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang sunat perempuan karena dianggap bukan tindakan kedokteran dan pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Ini menunjukkan bahwa FGM dilakukan hanya karena faktor budaya dan keyakinan.

Apa Aja Sih Dampak yang Dialami oleh Wanita ?

  1. Dampak yang Dialami oleh Wanita pada Sistem Reproduksi Akibat Melakukan Sunat.

Sunat wanita dapat menyebabkan efek fisik seperti perdarahan, shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul yang menyebabkan sepsis, sakit kepala yang luar biasa, retensi urin karena pembengkakan, dan rasa sakit yang berkepanjangan saat melakukan hubungan seks. Selain itu, lubang vagina menyempit dan menjahit sehingga penis tidak dapat masuk ke dalamnya. Dengan demikian, operasi diperlukan. Sunat tradisional wanita dapat menyebabkan jaringan parut mengeras, abses, kista dermoid, dan keloid.Sunat perempuan dapat membahayakan secara psikologis dan fisik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa wanita yang disunat dapat mengalami trauma psikologis (Knipscheer, Vloebreghs, Kwaak, & Muijsenbargh, 2015). Menurut data UNICEF, lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan.

  1. Perubahan Emosional (psikologis) yang Dirasakan Oleh Wanita yang Melakukan Sunat.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa gadis yang beranjak dewasa merasa kurang percaya diri yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang lebih banyak melakukan sunat daripada yang tidak, hal itu merupakan suatu tradisi turun temurun yang menjadi suatu keharusan. Wanita yang telah melakukan sunat merasa lebih percaya diri dan menganggap bahwa orang disekitar mereka menerima dan bersikap terbuka, namun tidak sedikit banyak yang mengatakan bahwa sunat perempuan itu membuat wanita merasa tidak nyaman dan menyesal telah melakukan sunat, hingga membuat tekanan yang sangat mendalam bagi wanita tersebut.

Apa Saja Sih Alasan Sunat Wanita Masih Dilakukan ?

A.   Praktik Sunat Perempuan Atas Dasar Anjuran Agama

Khitan dipandang sunah oleh sebagian orang dan menganggap untuk memuliakan wanita, namun sebagian lainnya berpandangan bahwa tradisi tersebut tidak mempunyai nash agama maupun sunnah. Fatwa MUI menegaskan batasan dan tata cara sunat perempuan yang sesuai dengan ketentuan syariah, yaitu khitan dilakukan cukup dengan menghilangkan bagian selaput (jaldah/kulup/praeputium) yang menutupi klitoris, serta sunat perempuan tidak dibolehkan dilakukan dengan berlebihan. Menurut mazhab Maliki dan Hambali, sunat perempuan dianggap sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafi'i, yang dianut banyak kalangan disini, mewajibkan sunat pada perempuan. Hadits Ummu Atiyah yang mengatakan jangan berlebihan dalam menyunat Perempuan karena itu lebih disukai laki-laki ialah dalil yang dijadikan sebagai landasan untuk melakukan sunat perempuan, namun hadits ini tidak cocok untuk dijadikan sumber hukum karena ada sebagian rowi yang hilang dan mengakibatkan hadits ini dianggap dhaif dan mursal.

B. Praktik Sunat Perempuan Sebagai Tradisi

            Sunat perempuan dianggap sebagai tradisi turun-temurun yang harus dilakukan pada beberapa kalangan masyarakat di Indonesia dan dianggap sebagai upaya untuk membersihkan atau mencuci seorang perempuan dengan menghilangkan bagian tubuhnya yang dianggap tidak bersih.Sunat perempuan masih dilakukan di Sumbawa, Makassar, Sulawesi, Yogyakarta, Klaten, Banten, dan Madura. Beberapa kelompok masyarakat menganggap sunat sebagai syarat sah menjadi seorang muslim dan dianggap dapat membersihkan kelamin wanita, mempercantik wajah, mengontrol hawa nafsu, dan meningkatkan kenikmatan seksual wanita. Sebaliknya, jika tradisi sunat perempuan tidak dilakukan, dianggap kecantikan wanita berkurang, hasrat seksual berkurang, dan risiko infeksi alat kelamin meningkat. 

C. Praktik Sunat Perempuan Dalam Sisi Hukum dan Hak Perempuan

             Di Indonesia, peraturan sunat perempuan hanya diatur oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Nomor Hk.00.07.1.3.1047a pada tahun 2006, yang telah diubah dan diperdebatkan. Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Sunat Perempuan dikeluarkan sebagai tanggapan atas surat edaran tersebut. Peraturan tertuang sunat perempuan 1636/MENKES/PER/XI/2010 kemudian dikeluarkan oleh PERMENKES RI, yang memungkinkan tenaga kesehatan melakukan sunat dengan tidak memotong klitoris dan kelamin perempuan secara berlebihan. Permenkes RI Nomor 4 Tahun 2014 mengatur sunat perempuan yang tidak dianjurkan setelah berbagai perdebatan. Setelah Permenkes RI Nomor 4 Tahun 2014 disahkan, Peraturan Daerah dibuat untuk mengatur pelaksanaan sunat perempuan dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan komunitas terkait.    

D. Praktik Sunat Perempuan dalam Sisi Kesehatan dan Psikologis

Perempuan yang melakukan sunat memiliki efek yang signifikan pada kesehatan mereka secara fisik dan mental. Dari perspektif kesehatan fisik, prosedur ini sering menyebabkan masalah seperti infeksi, perdarahan, dan jaringan parut, serta kerusakan atau penghilangan klitoris, yang dapat mengurangi sensitivitas seksual dan menyebabkan nyeri berkepanjangan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kemungkinan komplikasi masih tinggi meskipun dilakukan secara simbolis atau secara medis. Praktik ini juga sering menyebabkan trauma, ketidaknyamanan, ketidakpercayaan diri, dan tekanan sosial. Wanita yang menjalani prosedur ini kadang-kadang merasa terisolasi atau menyesal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Knipscheer et al. (2015), praktik ini sering meninggalkan luka emosional yang signifikan, terutama bagi mereka yang menyadari efek negatifnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun