Maraknya penggunaan media sosial, politik tidak lagi hanya diperdebatkan di ruang parlemen atau forum diskusi formal. Instagram, Twitter, hingga Tiktok kini menjadi arena politik baru. Tempat di mana para politik berkompetisi, membangun citra dan memengaruhi persepsi public. Kemampuan untuk menciptakan narasi personal yang dapat menggugah emosi telah menjadikan media sosial alat utama bagi politisi dalam membangun popularitasnya. Namun, di balik kemudahan dan banyaknya ketersediaan yang diberikan media sosial, apakah akan membawa demokrasi yang lebih baik, atau justru menyeretnya ke dalam jurang polarisasi dan manipulasi?
Di media sosial, banyak sekali pencitraan yang tumbuh dan bias. Salah satunya adalah pencitraan politik, politisi sering kali menyerupai pemasaran sebuah produk. Politisi bukan lagi sekadar tokoh yang memimpin, tetapi juga sebuah "brand" yang harus dijual kepada masyarakat. Foto-foto penuh senyum bersama rakyat kecil, video sederhana yang menunjukan kegiatannya sedang blusukan, hingga unggahan konten humor di Tiktok yang menunjukan bahwa betapa strategi pencitraan kini didesain untuk menyentuk sisi emosional rakyat.
Namun, muncul sebuah pertanyaan yaitu seberapa autentik narasi tersebut? Banyak politisi menggunakan tim professional untuk merancang citra yang sempurna di media sosial. Setiap kata, gestur, hingga warna yang digunakan dalam unggahan dirancang untuk menciptakan resonansi emosional tertentu. Contohnya seperti seorang politisi yang menampilkan dirinya sebagai "pemimpin rakyat kecil", padahal rekam jejak kebijakannya justru pro-korporasi. Di sinilah pencitraan politik melalui media sosial seringkali menjadi bentuk manipulasi yang tersusun atau sistematis, yang memanfaatkan emosi public untuk menciptakan gambaran ideal yang belum tentu mencerminkan realitas.
Media sosial memungkinkan politisi mengontrol narasi yang ingin mereka sampaikan tanpa perlu melewati filter media massa tradisional. Akibatnya, masyarakat sering kali hanya menerima versi yang telah disaring oleh politisi atau tim profesionalnya. Sehingga hal ini justru mempersempit ruang bagi publik untuk mendapatkan gambaran yang objektif. Misalnya, politisi yang aktif di media sosial cenderung mendapat perhatian atau ketenaran lebih dibandingkan dengan politisi lain yang masih menggunakan pendekatan tradisional. Di media sosial, popularitas terkadang dipandang sebagai legimitasi politik atau penerimaan oleh masyarakat tentang kewenangan yang diambil seorang pemimpin. Dimana hal tersebut menciptakan dinamika bahwa pemimpin yang terlihat "bekerja" di media sosial lebih diharga daripada pemimpin yang bekerja di belakang layar tanpa banyak menggunakan media sosial. Sehingga, mengakibatkan masyarakat lebih tertarik dengan penampilan daripada kinerja atau kebijakan yang sebenarnya.
Dengan adanya pencitraan politik di media sosial, tentunya menimbulkan konsekuensi yang akhrinya meningkatkan dampak polarisasi. Algoritma pada media sosial juga condong menonjolkan konten atau berita yang provokatif atau kontroversial. Politisi yang mengincar "viral" lebih tertarik dengan sebuah narasi yang divisif, dimana hal tersebut memicu perdebatan di antara pendukungnya dan lawan politiknya. Menciptakan jarak antara kelompok masyarakat dan melemahkan diskusi politik yang substantif. Membuat masyarakat lebih tertarik pada persona seorang politisi daripada gagasan atau kebijakan yang mereka tawarkan. Dengan demikian, media sosial saat ini menjadi kompetisi yang didominasi serangan disinformasi, bukan ruang untuk membangun kesepakatan yang bersifat membangun.
Apa yang ditampilkan oleh media sosial memang memang memberikan ilusi, bahwa ada kedekatan antara politisi dengan rakyat. Melalui komentar di media sosial saja, masyarakat dapat merasa bahwa mereka terhubung secara langsung dengan pemimpin mereka. Namun, kenyataannya interaksi politisi dengan masyarakat banyaknya terjadi hanya di media sosial saja. Terkadang politisi mungkin merespon komentar atau membuat sebuah konten yang mengikuti tren, tapi jarang sekali ada indikasi suara masyarakat tersebut digunakan dalam pengambilan keputusan mereka. Daripada mendekatkan, media sosial sepertinya justru menjadi ajang bagi politisi untuk memerkan kesalehan politiknya tanpa mempertanggungjawabkan kebijakan yang dibuat oleh politisi. Menjadikan media sosial sebagai alat untuk menonjolkan citra sempurna ketimbang sarana untuk mendengarkan aspirasi rakyat secara mendalam.
Salah satu politisi yang memanfaatkan media sosial sebagai alat utama untuk membangun citra politik pada Pemilu 2014 adalah Jokowi. Salah satu teknik yang ditonjolkan adalah visualisasi keseharian yang merakyat. Jokowi memanfaatkan media sosial dengan mengunggah foto atau video yang menampilkan dirinya sedang makan di warung sederhana, berbincang dengan pedagang di pasar tradisional, maupun melakukan blusukan ke kampung-kampung. Momen-momen seperti ini tidak hanya memberikan kesan pemimpin yang rendah hati, tapi juga memperkuat pernyataan bahwa beliau memahami kebutuhan-kebutuhan rakyat kecil. Untuk mencapai hubungan emosional yang kuat antara Jokowi dengan masyarakat, bliau membagikan momen-momen sederhana tersebut secara konsisten. Terutama untuk menarik perhatian kalangan kelas menengah dan kelas bawah, hingga merasa bahwa dirinya dekat dengan sosok Jokowi.
Tidak hanya menarik perhatian masyarakat dengan memposting kesehariannya yang merakyat, Jokowi juga membagikan momen bersama keluarganya, seperti bermain dengan cucunya atau bincang santai dengan anak-anaknya. Memperlihatkan sisi humanisnya sebagai seorang ayah dan kakek, yang semakin menonjolkan karakternya sebagai "orang biasa". Efek yang diberikan dari unggahan-unggahan Jokowi adalah masyarakat merasakan kedekatan secara emosional dan memperkuat kesan pemimpin yang tulus. Apalagi Jokowi menggunakan Bahasa yang sederhana pada postingan-postingannya, sehingga membuat semua kalangan memahami isi pesan tersebut. Kepala negara seringnya terlihat sebagai seseorang yang formal, namun Jokowi terkadang menampilkan sisi humorisnya dalam sebuah konten yang disajikan.
Menginat bahwa ini merupakan Pemilu, selain membagikan kehidupan sehari-harinya, Jokowi juga membagikan program pemerintah yang menjadi elemen penting dalam strategi pencitraan. Dokumentasi tentang proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, Pelabuhan, dan bandara memenuhi media sosialnya. Memberikan kesan bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang pekerja keras dan fokus pada pembangunan negara. Disertai dengan visual yang menarik dan penyampaian yang optimis, Jokowi dapat menarik perhatian masyarakat yang semakin percaya dengan kemampuannya untuk memimpin suatu negara.
Banyak media sosial pada saat ini, menjadi ladang strategi yang digunakan oleh Jokowi untuk menjangkau berbagai kalangan masyarakat yang ada. Jokowi menyesuaikan pesan yang dikirim sesuai dengan aplikasi yang digunakannya, di Instagram beliau membagikan aktivitas harian dan interkasi personalnya dalam bentuk foto. Di Twitter, beliau menyampaikan pernyataan resmi atau pandangannya terhadap isu-isu besar yang sedang terjadi, seperti kebijakan ekonomi atau masalsah nasional lainnya. Pada aplikasi lainnya seperti Tiktok, beliau mengunggah konten-konten singkat yang lebih santai namun tetap dengan nuansa politik untuk menjangkau generasi muda yang lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain Tiktok. Karena telah memahami karakteristik dari setiap platform, menghasilkan jangkauan audiens yang lebih luas dan beragam dari seluruh kalangan.
Apabila dalam kehidupan sehari-hari ada dampak positif dan dampak negatif, begitu pula dengan strategi pencitraan yang tidak sepenuhnya positif. Walaupun banyak masyarakat yang kagum dengan citra sederhana dan merakyat Jokowi, tetap ada kritik yang muncul. Terutama terkait dengan perbedaan antara narasi yang ditampilkan di media sosial dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintahannya. Salah satu kritik utama adalah pada pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, menuai banyak protes dari masyrakat karena dianggap lebih menguntungkan korporasi dibandingkan dengan masyarakat kecil. Masyarakat merasa bahwa citra merakyat Jokowi tidak selaras dengan realitas kebijakan yang dijalankannya. Menjadi perdebatan di masyarakat mengenai apakah narasi yang dibangun di media sosial menjadi cerminan kepemimpinan yang nyata.
Polarisasi juga meningkat di masyarakat, akibat dari pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi. Keberhasilan yang beliau pamerkan di media sosial, menjadi bahan perdebatan panas di kolom komentar. Pendukung memuji kinerja dari Jokowi, sebaliknya dengan oposisi yang melayangkan kritik tajam. Kondisi semakin diperparah oleh algoritma media sosial, yang lebih memprioritaskan konten-konten yang kontroversial. Oleh karena itu, masyarakat menjadi terpecah belah dan sedikitnya ruang untuk mencari kesepakatan atau diskusi yang rasional. Akibat dari polarisasi juga, masyarakat yang harusnya mengawasi isu-isu penting, justru teralihkan dengan perdebatan seputar citra dan persona Jokowi.
Dari dampak negatif yang terjadi, nyatanya strategi pencitraan Jokowi terbukti efektif untuk meningkatkan popularitas dan menarik public untuk memihak dirinya. Media sosial juga menjadi alat yang kuat untuk mengontrol narasi dan membangun hubungan emosional dengan rakyat. Yang membentuk persepsi bahwa Jokowi bukanlah hanya seorang presiden, melainkan juga simbol dari pemimpin yang sederhana dan pekerja keras. Untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dalam strategi pencitraan, perlu memastikan bahwa citra yang telah dibangun tidak hanya sebagai alat pencitraan semata, tapi memang mencerminkan kebijakan dan tindakan nyata yang berpihak pada rakyat. Apabila tidak menjaga hal tersebut, pastinya kepercayaan masyarakat akan secara cepat terkikis.
Walaupun media sosial menjadi alat untuk meningkatkan citra diri, media sosial juga bisa menjadi boomerang pada politisi tersebut. Membangun citra tanpa adanya kerja nyata, justru akan membawa ke arah kemunduran, dimana manipulasi merusak kepercayaan masyrakat terhadap proses demokrasi. Masyarakat juga perlu menentukan konten media sosial yang memengaruhi politik. Ketergantungan masyarakat pada media sosial untuk menerima informasi, sering melupakan bahwa kita juga harus memverifikasi fakta. Narasi yang tampaknya menarik dan emosional tidak jarang dibuat hanya untuk memengaruhi opini public secara sepihak. Maka dari itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima informasi, jangan fokus pada unggahan yang menarik dan emosional saja, tapi cobalah untuk menelusuri lebih dalam rekam jejak, kebijakan, dan Tindakan nyata dari politisi tersebut.
Pemanfaatan yang dapat memberikan dampak negatif juga perlu dihindari oleh para politisi. Media sosial yang ada harusnya menjadi kesempatan luas untuk membangun komunikasi yang bermakna dengan masyarakat. Daripada hanya berfokus untuk menciptakan citra yang sempurna, seharunsya politisi lebih berani menunjukan transparansi, menerima kritik dengan terbuka, dan berbincang dengan rakyat untuk memahami dan merealisasikan apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan. Jika hal tersebut nyata dilakukan, maka media sosial menjadi alat sempurna yang membantu mendekatkan pemimpin dengan rakyat, bukan sekadar penggung pencitraan semata.
Pada akhirnya, media sosial menjadi alat yang kekuatannya bergantung pada bagaimana kita mengolah dan memanfaatkanya. Jika digunakan dengan sebaik-baiknya, bisa menjadi ruang untuk memperkuat demokrasi, membangun dialog yang produktif, dan menghasilakan partisipan politik yang lebih banyak . Sebaliknya, jika hanya digunakan sebagai pencitraan dan manipulasi, yang tercipta hanya polarisasi dan rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap politik. Keberhasilan demokrasi di era media sosial ini, menjadi tanggung jawab kita semua antara politisi, masyarakat, bahkan penyedia platform untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H