Polarisasi juga meningkat di masyarakat, akibat dari pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi. Keberhasilan yang beliau pamerkan di media sosial, menjadi bahan perdebatan panas di kolom komentar. Pendukung memuji kinerja dari Jokowi, sebaliknya dengan oposisi yang melayangkan kritik tajam. Kondisi semakin diperparah oleh algoritma media sosial, yang lebih memprioritaskan konten-konten yang kontroversial. Oleh karena itu, masyarakat menjadi terpecah belah dan sedikitnya ruang untuk mencari kesepakatan atau diskusi yang rasional. Akibat dari polarisasi juga, masyarakat yang harusnya mengawasi isu-isu penting, justru teralihkan dengan perdebatan seputar citra dan persona Jokowi.
Dari dampak negatif yang terjadi, nyatanya strategi pencitraan Jokowi terbukti efektif untuk meningkatkan popularitas dan menarik public untuk memihak dirinya. Media sosial juga menjadi alat yang kuat untuk mengontrol narasi dan membangun hubungan emosional dengan rakyat. Yang membentuk persepsi bahwa Jokowi bukanlah hanya seorang presiden, melainkan juga simbol dari pemimpin yang sederhana dan pekerja keras. Untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dalam strategi pencitraan, perlu memastikan bahwa citra yang telah dibangun tidak hanya sebagai alat pencitraan semata, tapi memang mencerminkan kebijakan dan tindakan nyata yang berpihak pada rakyat. Apabila tidak menjaga hal tersebut, pastinya kepercayaan masyarakat akan secara cepat terkikis.
Walaupun media sosial menjadi alat untuk meningkatkan citra diri, media sosial juga bisa menjadi boomerang pada politisi tersebut. Membangun citra tanpa adanya kerja nyata, justru akan membawa ke arah kemunduran, dimana manipulasi merusak kepercayaan masyrakat terhadap proses demokrasi. Masyarakat juga perlu menentukan konten media sosial yang memengaruhi politik. Ketergantungan masyarakat pada media sosial untuk menerima informasi, sering melupakan bahwa kita juga harus memverifikasi fakta. Narasi yang tampaknya menarik dan emosional tidak jarang dibuat hanya untuk memengaruhi opini public secara sepihak. Maka dari itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima informasi, jangan fokus pada unggahan yang menarik dan emosional saja, tapi cobalah untuk menelusuri lebih dalam rekam jejak, kebijakan, dan Tindakan nyata dari politisi tersebut.
Pemanfaatan yang dapat memberikan dampak negatif juga perlu dihindari oleh para politisi. Media sosial yang ada harusnya menjadi kesempatan luas untuk membangun komunikasi yang bermakna dengan masyarakat. Daripada hanya berfokus untuk menciptakan citra yang sempurna, seharunsya politisi lebih berani menunjukan transparansi, menerima kritik dengan terbuka, dan berbincang dengan rakyat untuk memahami dan merealisasikan apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan. Jika hal tersebut nyata dilakukan, maka media sosial menjadi alat sempurna yang membantu mendekatkan pemimpin dengan rakyat, bukan sekadar penggung pencitraan semata.
Pada akhirnya, media sosial menjadi alat yang kekuatannya bergantung pada bagaimana kita mengolah dan memanfaatkanya. Jika digunakan dengan sebaik-baiknya, bisa menjadi ruang untuk memperkuat demokrasi, membangun dialog yang produktif, dan menghasilakan partisipan politik yang lebih banyak . Sebaliknya, jika hanya digunakan sebagai pencitraan dan manipulasi, yang tercipta hanya polarisasi dan rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap politik. Keberhasilan demokrasi di era media sosial ini, menjadi tanggung jawab kita semua antara politisi, masyarakat, bahkan penyedia platform untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H