Ketiga, hubungannya dengan Mulur Mungkret:
- Mulur adalah metafora yang menggambarkan sifat keinginan manusia yang cenderung terus  bertambah, tanpa mengenal batas. Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, sifat ini dianggap sebagai akar dari ketidakpuasan dan penderitaan. Konsep ini mencerminkan dorongan manusia untuk selalu menginginkan lebih, baik dalam hal materi, kedudukan, atau penghargaan, yang sering kali berujung pada perilaku serakah atau ambisius tanpa batas.
- Mungkret adalah istilah yang menggambarkan keadaan emosional manusia ketika harapan atau keinginan tidak tercapai. Dalam ajaran Ki Ageng Suryomentaram, sifat ini merupakan kebalikan dari mulur, di mana keinginan yang sebelumnya berkembang secara ambisius justru menyusut atau kembali ke titik awal akibat kegagalan. Perasaan mungkret sering kali disertai kekecewaan, frustrasi, bahkan putus asa karena harapan yang tidak terwujud.
Dengan demikian, Situasi Mulur dan Mungkret menunjukkan bahwa semua yang diinginkan manusia itu bersifat sementara. Pada akhirnya, kembali pada konsep Enam "SA"
Setelah kita memahami tentang dasar konsep-konsep Ki Ageng Suryomentaram, berikut penjelasan mendalam mengenai konsep yang di ajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, dan mengapa penting bagi seorang pemimpin untuk memulai transformasi dari diri sendiri dalam upaya pencegahan korupsi serta bagaimana prinsip-prinsip kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dapat membantu individu dalam memimpin diri sendiri untuk menghindari tindak korupsi.
Apa yang dimaksud dengan konsep kebatinan Ki Ageng Suryomentaram dalam konteks pencegahan korupsi?
Konsep ajaran Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari pemenuhan keinginan duniawi, tetapi dari pengendalian diri dan pemahaman yang mendalam tentang makna hidup. Terdapat wejangan pokok ilmu bahagia yang diajarkan olehnya dapat menjadi kerangka untuk mencegah korupsi dengan cara mengarahkan individu pada kehidupan yang harmonis, baik secara internal maupun eksternal.
- Bungah dan Susah: Wejangan pertama menyatakan bahwa kebahagiaan dan kesedihan merupakan aspek alami dalam hidup, tergantung pada bagaimana seseorang menanggapi keinginan (karep). Keinginan yang tidak tercapai tidak mengakibatkan kehancuran, dan keinginan yang terwujud tidak menjamin kebahagiaan yang langgeng. Dalam konteks korupsi, wejangan ini menjelaskan bahwa berlebihan dalam mengejar kekayaan atau posisi hanya akan membawa derita. Pemahaman ini membebaskan individu dari beban untuk memenuhi ambisi pribadi dengan cara-cara yang tidak beretika.
- Mulur-Mungkret (Fleksibilitas Keinginan): Keinginan manusia bersifat mulur-mungkre bertambah saat terpenuhi dan menyusut saat tidak tercapai. Korupsi sering terjadi karena pelaku tidak memahami dinamika ini dan terus mengejar kekayaan tanpa henti. Dengan menyadari sifat fleksibel keinginan ini, seseorang dapat menghentikan siklus ketamakan yang menjadi akar dari perilaku koruptif.
- Raos Sami (Kesetaraan Rasa): Semua orang merasakan hal yang serupa, yaitu hasrat untuk merasa bahagia dan menjauh dari kesakitan. Kesadaran ini menumbuhkan empati dalam diri individu, sehingga mereka enggan melakukan tindakan yang merugikan orang lain, seperti tindakan korupsi. Para pelaku korupsi sering kali tidak menyadari akibat dari tindakan mereka terhadap masyarakat secara keseluruhan akibat kurangnya rasa empati.
- Rasa Tentrem (Ketentraman Batin): Ketentraman hanya dapat dicapai ketika seseorang menerima bahwa hidup terdiri dari siklus senang dan susah. Pelaku korupsi sering kali didorong oleh ketidakpuasan batin dan kecemasan akan kehilangan status atau kekayaan. Dengan memahami wejangan ini, individu dapat menemukan ketentraman tanpa harus bergantung pada tindakan destruktif.
- Raos Langgeng (Kesadaran akan Keabadian Rasa): Keinginan manusia merupakan hal yang terus ada, namun kesengsaraan yang muncul akibat keinginan ini bisa dipersempit dengan menyadari bahwa setiap pengalaman, baik menyenangkan maupun menyedihkan, merupakan bagian dari perjalanan hidup. Korupsi sering kali muncul dari ketakutan akan kesengsaraan atau kegagalan, seperti kehilangan posisi. Dengan memahami ajaran ini, seseorang tidak mudah terpengaruh untuk berkorupsi demi menghindari rasa takut tersebut.
- Rasa Tabah: Rasa tabah mengajarkan keberanian untuk menghadapi segala hal dalam hidup, baik senang maupun susah. Pelaku korupsi sering kali takut kehilangan kekayaan atau posisi mereka, sehingga mencari jalan pintas yang tidak etis. Dengan menanamkan rasa tabah, individu dapat menghadapi tantangan hidup tanpa melanggar nilai-nilai moral.
- Nyawang Karep (Pengawasan terhadap Keinginan): Wejangan ini menekankan pentingnya memahami keinginan individu dan membedakan "aku" yang sejati dari keinginan itu. Korupsi sering muncul karena pelaku tidak dapat mengendalikan dorongan dalam dirinya. Dengan memahami keinginan, seseorang bisa bertindak dengan kesadaran dan kebijaksanaan, alih-alih hanya didorong oleh keinginan semata.
Konsep kebatinan Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa pengendalian diri adalah kunci untuk hidup dalam harmoni, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Dalam konteks korupsi, kebatinan ini memberikan kerangka kerja untuk mengidentifikasi dan mengatasi dorongan-dorongan negatif yang mendorong perilaku koruptif. Dengan menanamkan tujuh wejangan pokok ilmu bahagia, seseorang dapat mengembangkan karakter yang kuat, jujur, dan bertanggung jawab, yang menjadi pondasi utama dalam pencegahan korupsi.
Kebatinan ini juga relevan untuk diterapkan secara dalam membangun budaya organisasi yang bersih. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam sistem pendidikan, pelatihan, dan kebijakan, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendorong integritas dan transparansi, sekaligus meminimalkan ruang bagi perilaku koruptif. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai melalui jalan pintas atau tindakan destruktif, melainkan melalui pemahaman, penerimaan, dan pengendalian diri.
Kenapa penting bagi seorang pemimpin untuk memulai transformasi dari diri sendiri dalam upaya pencegahan korupsi dengan konsep Ki Ageng Suryomentaram?
Transformasi diri merupakan pondasi penting bagi seorang pemimpin dalam membangun integritas dan menghindari perilaku koruptif. Berdasarkan ajaran Ki Ageng Suryomentaram, transformasi ini tidak hanya berdampak pada pemimpin itu sendiri, tetapi juga menciptakan teladan dan perubahan sistemik dalam organisasi atau masyarakat yang dipimpinnya. Berikut perspektif yang dapat menyatakan seberapa pentingnya transformasi memimpin diri.
- Transformasi Diri Sebagai Dasar Integritas. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram menyoroti pentingnya Kawruh Jiwa atau pemahaman tentang diri sendiri. Seorang pemimpin yang bisa memahami dan mengendalikan "aku" atau egonya dapat bertindak secara jujur, adil, dan bertanggung jawab, yang merupakan nilai-nilai dasar dalam mencegah korupsi. Ia mengingatkan bahwa manusia sebaiknya menghindari sikap ngangsa-angsa (ambisius), ngaya-aya (terburu-buru), dan golek benere dhewe (mencari kebenaran versi diri sendiri), yang sering kali menjadi penyebab utama korupsi. Contoh: Seorang kepala daerah yang memahami ajaran ini akan lebih berhati-hati dalam mengelola anggaran publik. Alih-alih tergesa-gesa mencairkan dana tanpa audit yang memadai (ngaya-aya), ia akan memastikan bahwa semua proses transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, ia akan menghindari sikap membenarkan penyimpangan anggaran demi kepentingan kelompok tertentu (golek benere dhewe).
- Menjadi Teladan dalam Perilaku. Pemimpin yang telah menata dirinya sesuai dengan ajaran satriya Jawa (jujur, tangguh, tanggap, dan tanggon) tidak hanya membangun kredibilitas pribadi, tetapi juga menjadi teladan bagi bawahan dan masyarakat. Sikap sederhana dan bersahaja, seperti yang dicontohkan Ki Ageng, menekankan pentingnya menghindari gaya hidup berlebihan yang sering menjadi alasan seseorang melakukan korupsi. Contoh: Pemimpin perusahaan yang memilih untuk menetapkan standar gaya hidup sederhana, seperti menghindari fasilitas mewah untuk acara-acara pribadi, akan membangun budaya transparansi di perusahaan tersebut. Sikap ini akan memotivasi karyawan untuk mengikuti jejaknya, sehingga tercipta lingkungan kerja yang berintegritas.
- Membangun Kepemimpinan yang Berdasarkan Rasa Sama. Ki Ageng menegaskan bahwa setiap manusia memiliki raos sami (rasa yang sama), yaitu hasrat untuk meraih kebahagiaan dan menghindari kesakitan. Pemahaman ini mendorong pemimpin untuk tidak bersikap angkuh atau mementingkan diri sendiri serta menjadikan kepentingan bersama lebih utama daripada kepentingan pribadi. Dalam konteks pencegahan korupsi, hal ini mendorong keterbukaan dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Contoh: Dalam pembagian anggaran daerah, seorang gubernur yang berpegang pada prinsip raos sami akan memastikan bahwa dana difokuskan pada kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan sekolah dan rumah sakit, daripada dialihkan untuk proyek mercusuar yang hanya menguntungkan pihak tertentu.
- Menghindari Getun-Sumelang dan Berani Bertanggung Jawab. Dalam ajarannya, Ki Ageng juga memperingatkan tentang getun-sumelang (penyesalan atas yang telah terjadi dan kekhawatiran tentang yang belum terjadi). Pemimpin yang dapat menerima keadaan dengan tabah akan lebih fokus pada tanggung jawab dan tidak tergoda untuk menyalahgunakan wewenang demi menghindari kesulitan. Contoh: Seorang direktur perusahaan yang menyadari adanya kekeliruan dalam laporan keuangan memilih untuk mengungkapkan kesalahan tersebut secara terbuka kepada pemegang saham. Dengan begitu, ia tidak hanya memperbaiki kepercayaan publik tetapi juga menciptakan budaya kejujuran di organisasinya.
- Kehidupan Sebagai Pembelajaran Tanpa Pamrih. Ki Ageng mengajarkan sepi ing pamrih (tanpa pamrih pribadi) sebagai dasar tindakan. Pemimpin yang menginternalisasi nilai ini cenderung bertindak demi kemaslahatan umum, tidak mencari keuntungan pribadi, dan memiliki semangat pengabdian. Contoh: Seorang menteri yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur pedesaan meskipun proyek tersebut tidak memberikan keuntungan politik atau pencitraan pribadi adalah contoh nyata sepi ing pamrih. Ia bekerja karena memahami bahwa tugasnya adalah melayani rakyat, bukan memperkaya diri.