Dalam praktik kehidupan bermasyarakat, Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan gotong royong dan keselarasan sosial sebagai inti kehidupan berbangsa. Korupsi jelas bertentangan dengan semangat gotong royong, karena tindakan tersebut merusak solidaritas dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Oleh karena itu, menanamkan kembali semangat gotong royong ala Ki Ageng dapat menjadi langkah penting dalam membangun sistem pemerintahan dan masyarakat yang lebih bersih serta berintegritas.
Jika diterapkan dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari, nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dapat menjadi landasan bagi transformasi moral di Indonesia. Melalui pendidikan karakter berbasis nilai-nilai lokal seperti bersikap baik dan cukup, tepa selira, dan gotong royong.
Melalui pendekatan kebatinan seperti yang di ajarkan Ki Ageng Suryomentaram, individu diajak untuk:
- Mengenal Hakikat Diri: Memahami esensi kehidupan yang melampaui kebutuhan fisik, berfokus pada kebahagian batin sendiri.
- Mengatasi Keterikatan: Membebaskan diri dari obsesi terhadap hal-hal duniawi, seperti harta dan kedudukan.
- Menumbuhkan Sikap Ikhlas: Menerima dengan lapang hati segala sesuatu yang menjadi bagian hidup tanpa diliputi hasrat yang berlebihan.
Pendekatan di atas tidak hanya semata-mata hanya untuk dipahami saja, tetapi perlu untuk di implementasikan pada kehidupan sehari-hari, terutama bagi diri sendiri. Dengan begitu, kemungkinan terjadinya tindak korupsi dapat dihindari.
Selanjutnya, Transformasi memimpin diri sendiri menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah suatu proses mendalam yang bertujuan untuk mengenali, memahami, dan mengendalikan sifat-sifat negatif manusia yang dapat merusak harmoni, baik dalam diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial. Proses ini didasarkan pada pengembangan kesadaran terhadap dorongan-dorongan internal yang sering kali menjadi sumber konflik dan ketidakseimbangan, seperti ambisi yang tidak terkendali, ketergesa-gesaan dalam bertindak, dan egoisme yang merugikan orang lain. Dalam ajarannya, Ki Ageng Suryomentaram dengan tegas mengingatkan manusia untuk menghindari tiga sifat utama yang menjadi akar dari berbagai masalah kehidupan, yakni:
- Ngangsa-angsa (Ambisius, Bernafsu-nafsu): Ambisi yang terlalu besar dapat membuat seseorang kehilangan tujuan dan keseimbangan dalam hidup. Keinginan yang terus-menerus mendorong individu untuk mengejar kekayaan, posisi, atau kekuasaan sering kali tidak memperhatikan konsekuensi yang akan terjadi pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa sifat ambisius ini menghasilkan tekanan internal yang berbahaya, karena manusia bisa terjebak dalam siklus tanpa akhir untuk memenuhi hasrat yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi. Ambisi yang tidak terkontrol ini juga mendorong seseorang untuk mengabaikan nilai-nilai moral dan etika, sehingga sering kali terlibat dalam tindakan yang tidak terpuji demi mencapai tujuan pribadi.
- Ngaya-aya (Terburu-buru, Tidak Teliti, Tidak Cermat, dan Tidak Hati-hati): Sikap ini menunjukkan perilaku yang dilakukan tanpa pemikiran yang mendalam, hanya untuk memperoleh hasil dengan cepat. Ki Ageng menyoroti pentingnya sabar dan berhati-hati dalam setiap langkah yang diambil. Tindakan yang terburu-buru sering kali mengakibatkan kesalahan, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaannya. Dalam aspek sosial dan profesional, sikap ini dapat merusak hubungan, menurunkan mutu pekerjaan, dan bahkan menimbulkan situasi yang berisiko bagi banyak orang. Ngaya-aya juga menunjukkan ketidak menghargaan terhadap proses, di mana seseorang lebih mementingkan hasil akhir tanpa memperhatikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
- Golek Benere Dewe (Mencari Benarnya Sendiri, Mau Menang Sendiri): Sikap egois yang selalu ingin menang sendiri atau mencari bukti untuk membenarkan tindakan-tindakan yang diambil tanpa memikirkan dampak pada orang lain menjadi perhatian Ki Ageng Suryomentaram. Ia mengajarkan bahwa perilaku seperti ini adalah penyebab ketidakharmonisan dalam hubungan sosial. Seseorang yang terus-menerus mengutamakan diri sendiri biasanya mengesampingkan kepentingan orang lain, merusak kolaborasi, dan menimbulkan konflik. Dalam kehidupan bersama, sifat ini dapat menyebabkan ketidak seimbangan sosial, ketidakadilan, dan bahkan tindakan yang melawan hukum demi keuntungan pribadi dibandingkan untuk tujuan bersama.
Keadaan korupsi di Indonesia saat ini dapat dilihat sebagai manifestasi nyata dari tiga sifat negatif yang ditekankan oleh Ki Ageng Suryomentaram untuk dihindari. Para koruptor menunjukkan bahwa tindakan mereka didorong oleh sifat ngangsa-angsa, ngaya-aya, dan golek benere dewe, yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga menciptakan kerusakan sosial yang mendalam. Maka dari itu, salah satu konsep yang di kemukakan Ki Ageng Suryomentaram tentang Enam "SA" penting untuk diterapkan pada tiap individu terutama orang yang memiliki jabatan tertentu.
- Sa-butuhne (Sebutuhnya): Prinsip ini berakar pada ide bahwa manusia sebaiknya fokus pada kebutuhan dibandingkan keinginan Dalam konteks kebatinan, kebutuhan lebih bersifat esensial, seperti kebutuhan fisik (makan, minum, tempat tinggal) maupun kebutuhan spiritual (kedamaian hati, kebahagiaan sejati). Pengaplikasian sa-butuhne dalam ekonomi, mengarah pada minimalisme menggunakan sumber daya secara bijak dan hanya untuk yang benar-benar diperlukan dan prinsip ini membantu seseorang mengelola keinginan yang tidak perlu sehingga mengurangi stres dan tekanan sosial.
- Sa-perlune (Seperlunya): Konsep ini mempertegas perlunya efisiensi dalam tindakan. Kita diajarkan untuk tidak melakukan hal-hal yang berlebihan atau sia-sia. Filosofi ini mengarahkan kita untuk fokus pada hal-hal yang relevan dan benar-benar bermanfaat. Pengaplikasian sa-perlune dalam manajemen waktu, seseorang hanya mengalokasikan energi dan sumber daya untuk kegiatan yang memberi dampak positif dan konsep ini mendorong komunikasi yang jelas, sederhana, dan tepat sasaran tanpa memperumit permasalahan.
- Sa-cukupe (Secukupnya): Konsep ini adalah kesadaran untuk berhenti pada batas cukup. Hal ini mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak datang dari memiliki segalanya, tetapi dari merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Dalam filsafat Jawa, konsep "cukup" adalah kunci menuju ketenteraman batin. Pengaplikasian sa-cukupe dalam budaya konsumerisme modern, ini adalah kritik terhadap kurangnya solidaritas dan meningkatnya egoisme dalam hubungan sosial. Secara spiritual, mengajarkan manusia untuk bersyukur dan menerima takdir tanpa keluhan.
- Sa-benere (Sebenarnya): Prinsip ini mengajak kita untuk melihat kebenaran sejati, baik dalam hal fakta maupun nilai moral. Dalam kebatinan Jawa, "benar" adalah selaras dengan hukum alam, logika, dan hati nurani. Pengaplikasian sa-benere dalam kehidupan sosial, menuntut kita untuk jujur, objektif, dan tidak bias terhadap suatu permasalahan.
- Sa-mesthine (Semestinya): Konsep ini adalah pengakuan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan kodrat atau aturan alam. Prinsip ini mengajarkan penerimaan terhadap hal-hal yang tidak bisa dikendalikan, serta mengikuti hukum-hukum yang berlaku di masyarakat maupun alam semesta. Pengaplikasian sa-mesthine dalam kehidupan sehari-hari, seseorang harus belajar untuk ikhlas dan menjalani peran dalam masyarakat sesuai norma dan kewajiban.
- Sak-penake (Seenaknya): Prinsip ini menekankan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kenyamanan, tetapi dengan batasan tanggung jawab moral. Ini adalah panduan untuk tidak menjadi terlalu terikat pada pendapat orang lain, namun tetap menjaga harmoni. Â Pengaplikasian sak-penake dalam psikologi berkaitan dengan self-compassion, yaitu memberi diri sendiri ruang untuk beristirahat dan merasa nyaman tanpa rasa bersalah dan ini bisa berarti menciptakan keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental.
Konsep enam "SA" erat kaitannya dengan Rasionalitas, Kawaruh Jiwa, Pangawikan Pribadi dan Mulur Mungkret. Pertama, hubungannya dengan Rasionalitas:
- Rasionalitas Reflektif: Ini melibatkan akal budi, rasa, naluri, insting, feeling, dan intuisi. Rasionalitas ini lebih bersifat introspektif dan personal, mengutamakan pemahaman mendalam terhadap situasi berdasarkan pengalaman batin dan kebijaksanaan.
- Rasionalitas Akomodatif: Rasionalitas ini menghasilkan situasional, menyesuaikan dengan konteks atau kebutuhan tertentu. Prinsip ini memungkinkan seseorang untuk mempertimbangkan faktor sosial, budaya, atau relasi dalam pengambilan keputusan.
Kedua, hubungannya dengan Pangawikan Pribadi: hal ini mengacu pada upaya untuk memahami diri sendiri, termasuk rasa, hakikat, dan keberadaan diri. Konsep ini disederhanakan dalam prinsip "Saiki, Ing Kene, Lan Ngene" yang berarti "Sekarang, di sini, begini". Prinsip ini menekankan kesadaran terhadap waktu, tempat, dan keadaan saat ini tanpa dipengaruhi oleh hal lain.
Tujuan Pangawikan Pribadi adalah mengendalikan keinginan manusia terhadap:
- Semat: Kekayaan, kenikmatan, dan kesenangan material.
- Derajat: Kedudukan, keluhuran, kemuliaan, atau kebanggaan.
- Kramat: kekuasaan, kepercayaan, penghormatan, atau pujian dari orang lain.