Mohon tunggu...
NAZWA AULIA KAMILAH
NAZWA AULIA KAMILAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia

Saya senang menghabiskan waktu luang dengan menonton film, merakit lego, dan bersepeda di sore hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dendam Gunarto dalam Naskah Ayahku Pulang Karya Usmar Ismail

12 Desember 2023   21:04 Diperbarui: 12 Desember 2023   21:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dendam Gunarto dalam Naskah Ayahku Pulang karya Usmar Ismail

Oleh: Nazwa Aulia Kamilah

Usmar Ismail dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia dan juga Bapak Film Indonesia. Debutnya yang semula di panggung teater, belakangan memang lebih banyak di dunia perfilman. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 20 Maret 1921. Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah. Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim. Drama diartikan sebagai karya yang merealisasikan kehidupan masyarakat. Dari sekian banyak drama yang ada di Indonesia, salah satu drama yang dikenal dengan kehidupan realistis dan permasalahan keluarga yang banyak terjadi dikehidupan nyata, yaitu drama yang berjudul Ayahku Pulang karya Usmar Ismail. Adapula yang menyebutkan dalam buku Analisis dan Apresiasi Naskah Drama bahwa naskah drama tersebut merupakan saduran Usmar Ismail.

Naskah ini diperankan oleh 5 tokoh dengan berbagai macam watak dalam satu keluarga. Terdapat peran ayah yang bernama Raden Saleh, peran ibu bernama Tina, anak sulung bernama Gunarto, anak kedua bernama Maimun, dan anak terakhir bernama Mintarsih. Raden Saleh memiliki watak yang angkuh, Tina memiliki watak yang pengasih dan pemaaf, Gunarto memiliki watak yang angkuh dan juga keras kepala, Maimun memiliki watak yang pengampun, dan Mintarsih memiliki watak yang penyabar.

Pada tahap eksposisi dalam naskah drama tersebut, pengenalan masalah dimulai dengan adegan seorang Ibu yang sedang duduk, menampilkan ekspresi wajah sedihnya ketika mendengar suara bedug takbir. Kesedihannya dipicu oleh kenangan masa lalu bersama suami dan anaknya. Di malam hari raya, suaminya pergi tanpa alasan dan kata-kata, meninggalkan Ibu beserta anaknya. Kepergian tersebut membuat hidup wanita ini dipenuhi kesepian dan keharusan untuk bekerja keras.

Gunarto merupakan anak laki-laki tertua dari Raden Saleh dan Tina. Gunarto semasa kecilnya tidak merasakan kasih sayang dari sosok seorang ayah dan yang teringat hanyalah siksaan yang menimpanyari. Gunarto, seorang anak yang pendendam, membenci ayahnya karena telah meninggalkan keluarga. Meskipun ayahnya pulang, Gunarto tetap merasa dendam dan tidak menerima kepulangan ayahnya. Ia harus bekerja sebagai kuli untuk menghidupi kehidupan keluarganya.

Kedendaman Gunarto terlihat dengan ia selalu mengaitkan kesulitan yang dialami keluarganya dengan ulah dari ayahnya yang meninggalkan rumah, terlihat seperti pada dialog berikut ini:

Gunarto (Diam berfikir, kemudian kesal)

"Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini, Bu! Harus! Ini kewajibanku sehingga abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!"

(Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri)

"Kalau saja aku punya uang sejuta saja..." 

Kemurkaan Gunarto kepada ayahnya nampak dengan ia mengatakan kepada adiknya jika dirinya tidak mempunyai sosok ayah dalam hidunya, seperti dalam dialog berikut ini:

            Gunarto

"Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!"

Ayah (Raden Saleh) yang meninggalkan mereka selama 20 tahun telah datang kembali ke rumah. Ibu, Maimun, dan Mintarsih terkejut dan menahan haru dengan kedatangan Raden Saleh terutama Ibu. Akan tetapi, tidak untuk Gunarto. Gunarto begitu kesal dengan kedatangan ayahnya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun untuk menyambut kedatangan ayahnya kembali, bahkan diminta tolong untuk mengambilkan segelas air minum ayahnya ia tidak mau, terlihat pada dialog ayah dan ibu sebagai berikut:

            Ibu (gelisah serba salah)

"Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu."

Raden Saleh

"Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun, Maukah kau memberikan ayah air segelas?"

Gunarto merasa bahwa perilaku ayahnya selama ini sangat tidak baik, karena ayahnya kembali tanpa mempedulikan keluarganya yang telah ditinggalkannya. Gunarto menganggap bahwa ayahnya tidak menyadari upaya keras yang telah dia lakukan untuk keberlangsungan keluarga, bersama dengan usaha ibunya dan kedua adiknya untuk bertahan hidup, sementara ayahnya pergi tanpa alasan yang jelas. Ayahnya hanya mau kembali setelah mengalami kelemahan dan bisnisnya mengalami kebangkrutan, perasaan Gunarto tersebut terlihat jelas pada dialog berikut:

Gunarto                                                                                             

"Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun, Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bias membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi ke sekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!"

Ibu Gunarto sering menyalahkan Ayahnya atas kondisi sulit keluarganya, yang akhirnya membuat Gunarto dan Ibu menjadi budak dan babu mencuci pakaian orang lain. Meskipun dalam keadaan sulit, Gunarto berjuang keras untuk membuktikan bahwa dia mampu memberi makan keluarganya tanpa bergantung pada bantuan orang lain, kondisi tersebut yang menyebabkan Gunarto memiliki rasa dendam pada ayah kandungnya terlihat jelas pada dialog berikut:

            Gunarto (sikapnya dingin, namun keras)

"Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan ibu karena lapar, dingin, dan penyakitan, dan ibu selalu bilang "ini semua adalah kesalahan ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan." Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain. Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain!"

Gunarto menunjukkan tekadnya untuk tidak membutuhkan pertolongan orang lain dan berusaha menjadi orang yang berharga meskipun tanpa kehadiran kasih sayang seorang Ayah. Pada usia delapan belas tahun, gambaran Ayahnya yang sesat selalu menghantuinya, melarikan diri dengan perempuan asing dan meninggalkan tanggung jawabnya kepada keluarga. Gunarto memandang Ayahnya sebagai musuh terbesarnya, yang meninggalkan hutang-hutang dan menyiksa masa kecil mereka. Kemarahan Gunarto terlihat pada dialog berikut:

            Gunarto

"Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia".

Gunarto (marah dengan cepat)

Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang mebesarkan kau! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benar adalah aku. 

Maimun berusaha membujuk hati abangnya, dia menanyakan kepada kakaknya agar mau mengampuni kesalahan ayahnya sepanjang waktu. Kemudian, Mintarsih menangis sambil mengatakan bahwa kakaknya begitu tega menyuruh ayah pergi ketika hujan deras. Meski demikian, Gunarto tetap tidak mau mengalah dan merasa marah. Gunarto tetap teguh pendirian untuk mengusir ayahnya dari rumah. Tidak lama setelah itu Maimun pergi keluar untuk mencari ayahnya. Sesampainya di rumah Maimun hanya membawa kopiah dan baju basah ayahnya yang ia temukan di dekat jembatan. Mengetahui hal itu, Mintarsih, Ibu, dan Gunarto terkejut. Gunarto langsung membawa kopiah dan baju basah tersebut sambil berlari keluar dan berteriak-teriak seperti orang gila yang menujukkan bahwa ia sangat menyesal atas perbuatan yang ia lakukan.

Gunarto mampu memahami dan menghayati karakter secara mendalam. Gunarto benar-benar menyampaikan rasa dendamnya secara jelas dan tegas. Ia menunjukkan dendamnya dengan terus mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukan oleh ayahnya. Tidak hanya itu, Gunarto juga menujukkan kemurkaan pada ayahnya di akhir cerita dengan tidak menerima kembali ayahnya pulang ke rumah.

Namun, Gunarto menyadari apa yang telah ia perbuat kepada ayahnya merupakan perbuatan keji. Ia merasa menyesal ketika ia mengetahui ayahnya tidak akan pulang untuk selamanya karena telah melompat dari jembatan. Gunarto berteriak sangat kencang saat hujan deras sambil menyalahkan dirinya sendiri. Hal tersebut menunjukkan rasa emosi yang sangat kuat sehingga pembaca terbawa dengan suasana yang dialami oleh Gunarto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun