Tasawuf memiliki berbagai pengertian yang berbeda-beda, tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Para sufi, sebagai pengamal tasawuf, mengartikannya berdasarkan pengalaman spiritual mereka masing-masing. Pokok ajaran tasawuf adalah ihsan. Rasulullah SAW mendefinisikan ihsan dalam sabdanya: "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, meskipun engkau tidak dapat melihat-Nya di dunia ini, karena engkau sadar bahwa Allah selalu melihatmu."Â
Dari definisi ihsan ini, tasawuf bisa dimaknai sebagai usaha untuk berbuat baik kepada sesama, alam, dan lingkungan hidup, yang dilandasi oleh hati yang bersih, keikhlasan, serta kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah, dengan kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatan manusia.
Meskipun istilah "tasawuf" mungkin belum ada pada masa Rasulullah SAW, ajaran dan praktik tasawuf sebenarnya sudah tampak dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari beliau. Nilai-nilai tasawuf tercermin dalam setiap aspek hidup Nabi Muhammad SAW, yang kemudian menjadi teladan bagi para sahabatnya dan terus diikuti hingga kini.
Kehidupan Rasulullah SAW dalam pandangan tasawuf dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi rasul, dan periode kedua adalah kehidupan beliau setelah diangkat menjadi rasul.
1. Sebelum diangkat menjadi rasul
Dalam salah satu riwayat, diceritakan bahwa setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW senantiasa mengasingkan diri di Gua Hira, menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia.Â
Beliau menghindari kenikmatan dan kemewahan duniawi, serta membatasi makan dan minum, mengurangi tidur, dan lebih banyak merenungkan kebesaran alam semesta. Semua ini membersihkan hati beliau, yang akhirnya mengantarkannya pada peristiwa kenabian. Pada saat itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa wahyu pertama, yaitu surah Al-Alaq (96): 1-5.
Kehidupan Rasulullah SAW di Gua Hira menjadi dasar bagi kehidupan para zahid dan sufi setelahnya, di mana mereka membimbing diri untuk melaksanakan latihan ruhani (riadhah), seperti pengalaman fana' (sirna) dalam munajat (audiensi) dengan Allah, yang merupakan hasil dari khalwat (pengasingan diri).
Dengan demikian, di Gua Hira, dimulailah proses pengukuhan dan pemurnian kalbu serta jiwa Rasulullah SAW, yang kemudian bersinar dengan cahaya yang cemerlang, mampu menembus alam semesta, dan menghapuskan tirai kegelapan. Di tempat tersebut, beliau menerima ilmu dan wawasan yang sangat berharga, yang akan menjadi bekal bagi masa depan umat manusia.
2. Setelah diangkat menjadi Rasul
Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, fase tasawuf beliau ditandai dengan munculnya sifat *zuhud* yang semakin kuat dalam diri beliau. *Zuhud* ini tercermin dalam pengendalian diri, terutama dalam hal makan dan minum, serta kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad SAW juga fokus pada pengisian ruhaniah dengan amal shalih, memperbanyak ibadah, dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Semua ini menggambarkan penghayatan tasawuf dalam kehidupannya, yang selalu berfokus pada hubungan dengan Allah dan menjauhi godaan duniawi.