Mohon tunggu...
Nazwaa Syerindaa
Nazwaa Syerindaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Suka membaca, Melukis Dan Bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Rasul SAW Menyontohkan Akhlak Tasawuf ?

7 November 2024   15:37 Diperbarui: 9 November 2024   23:15 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian tasawuf itu sangat beragam, tergantung siapa yang mendefinisikanya. Para sufi, pengamal tasawuf, merumuskan pengertian tasawuf sesuai dengan pengamalan spiritualnya. Akar tasawuf adalah ihsan. 

Rasulullah SAW mendinifikan ihsan dengan sebagaimana sabdanya, "Engkau beribadah kepada allah seakan-akan meliha-Nya, meskipun enkau (selama dunia) tidak sanggup melihat Allah karena sesungguhnya (engkau menyadari dengan penuh dengan keinsafan bahwa allah melihatmu.[1]

" Jadi, berdasarkan pengertian ihsan tersebut tasawuf adalah kebaikan kepada sesama, alam, dan lingkungan hidup yang bersumber dari kesucian hati, keikhlasan dan kekhusyukan dan beribadah hanya kepada Allah SWT atas kesadaran  bahwa Allah SWT menyaksikan perbuatan manusia.  

nama 'tasawuf' mungkin belum banyak dikenal pada masa rasulullah SAW, namun sebenarnya perilaku tasawuf itu sendiri sudah tercerminkan lewat berbagai perilaku dan kehidupan keseharian baginda nabi Muhammad SAW, sampai pada akhirnya diikuti oleh para sahabat-sahabatnya hingga saat ini.

Kehidupan Rasulullah SAW. Dalam perspektif tasawuf dapat kita bagi dalam dua fase, pertama fase kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi rasul, kedua fase kehidupan setelah beliau diangkat menjadi rasul.

1. Sebelum diangkat menjadi Rasul

Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa pada setiap bulan Ramadhan, nabi Muhammad SAW selalu menyendiri di Gua Hira menghindari keramaian hidup, menghindari kelezatan dan kemewahan dunia, menghindari makan dan minum yang berlebihan dan mengurangi tidur serta merenungi wujud alam semesta yang ada. Ini semua membuat kalbu beliau menjadi jernih, yang kemudian mengantarkannya menuju kenabian, hingga Malaikat Jibril a.s turun menyampaikan wahyu yang pertama (QS Al-Alaq [96]: 1-5).

 Tampak jelas bahwa tahannus dan khalwah yang dilakukan Muhammad SAW di Gua Hira itu bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan yang beraneka ragam. Beliau berusaha untuk memperoleh petunjuk (hidayah) dari pencipta alam semesta, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segalanya dengan baik dan benar. 

 Kehidupan Rasulullah SAW. Di Gua Hira ini merupakan cikal bakal kehidupan yang nantinya akan dihayati oleh para Zahid ataupun sufi, di mana mereka menempatkan dirinya sendiri dibawah berbagai latihan ruhaniah (riadhah), seperti sirna (fana') di dalam munajat (audiensi) dengan Allah sebagai buah dari khalwat. 

Imam Al-Gazali dalam komentarnya tentang penisbatan jalan yang ditempuh para sufi pada kehidupan nabi ketika menyendiri di Gua Hira, sebagai berikut:"Manfaat pertama (dari mengisolasi diri) ialah pemusatan diridalam beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan makhluk serta menyibukkan diri dengan mengungkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. 

Inilah yang disebut kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih baik bagi mereka (para sufi). 

Bahkan Rasulullah SAW. Pada permulaan kenabiannya, hidup menyendiri di Gua Hira dan mengisolasi diri, sehingga cahaya kenabian dalam diri akan menjadi kuat. Karena itu semua makhluk tidak akan sanggup menghalangi beliau dari Allah. Sebab sekalipun tubuh beliau beserta makhluk, namun kalbu bekiau selalu menghadap Allah".[3]

Dengan demikian, di Gua Hira Tersebut dimulainya pengesahan dan penempatan kalbu dan jiwa rasulullah SAW. Hingga bercahaya yang berkilauan dan cemerlang sekaligus dapat menembus alam jagat raya serta membuka hijab alam kegelapan, sehingga beliau memperoleh ilmu dan wawasan yang sangat berguna untuk masa depan umat manusia.

2. Fase setelah diangkat menjadi Rasul

mengenai fase setelah Nabi Muhammad SAW telah diangkat menjadi Rasul, sikap tasawufnya ditandai dengan adanya 'zuhud' yang mulai tumbuh pada diri Nabi dan pengendalian diri dalam makan dan minum, pengisian ruhaniah dengan amal shaleh dengan ibadah dan kehidupan yang sederhana.

Mengenai intensitas ibadah Rasulullah SAW., antara lain diriwayatkan bahwa Aisya r.a. berkata kepada beliau sewaktu dilihatnya beliau begitu lama mengerjakan shalat malam sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak-bengkak/ melepuh.

 Aisyah berkata "Wahai Rasulullah SAW. Mengapa ini kau lakukan, bukankah Allah SWT telah mengampuni segala dosamu, baik yang lalu ataupun yang akan datang?" Rasulullah SAW. Menjawab "Tidakkah patut aku bersenang menjadi seorang hamba yang bersyukur" (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hal akhlak, baliau adalah seorang yang berakhlak sempurna sebagaimana difirmankan oleh Allah: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur (Agung)".[2] Suatu ketika Aisyah r.a. ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab: "akhlak Rasukullah adalah Al-Quran" (HR Imam Ahmad).

Sebagian doa-doa nabi juga mengandung tasawuf ajaran-ajaran tasawuf, misalnya beliau berdoa Allahumma, ya Allah kepaka engkau aku menyerahkan diriku, kepada Engkau aku beriman, kepada Engkau aku bertawakkal, kepada Engkau aku akan menuju, dan dengan Engkaulah aku melawan segenap penghalangku" (HR Bukhari dan Muslim). 

Beliau juga sering berdoa: "Ya Allah tolonglah aku dngan ilmu pengetahuan, hiasilah aku dengan kesabaran, muliakanlah aku dengan takwa dan indahkanlah aku dengan kesehatan" (Rabi'i).

Dengan berlandaskan keagamaan, dengan kesigapan dan moralnya, seperti keberanian, ketangguhan, dan kebersihan dirinya; Nabi Muhammad SAW, memperoleh penghormatan dan kepercayaan orang banyak, di samping itu ia juga memiliki tingkah laku yang luhur nan agung sehingga beliau dihormati dan dicintai banyak orang.

Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa apa yang telah diajarkan oleh kaum sufi, seperti maqamat dan ahwal, sebenarnya telah di praktikkan dan di perintahkan/dianjurkan oleh nabi muhamad SAW., dua abad sebelum tasawuf atau sufi itu muncul. 

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa macam-macam tasawuf itu lahir sejak kelahiran islam itu sendiri, yakni sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, atau bahkan sebelumnya seperti saat tahannus dan khalwahnya di Gua Hira yang menjadi bibit pertama malam tasawuf di kemudian hari.

Penulis : Nazwa Syerinda Sumartini dan Hamidullah Mahmud

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun