Pengertian tasawuf itu sangat beragam, tergantung siapa yang mendefinisikanya. Para sufi, pengamal tasawuf, merumuskan pengertian tasawuf sesuai dengan pengamalan spiritualnya. Akar tasawuf adalah ihsan.Â
Rasulullah SAW mendinifikan ihsan dengan sebagaimana sabdanya, "Engkau beribadah kepada allah seakan-akan meliha-Nya, meskipun enkau (selama dunia) tidak sanggup melihat Allah karena sesungguhnya (engkau menyadari dengan penuh dengan keinsafan bahwa allah melihatmu.[1]
" Jadi, berdasarkan pengertian ihsan tersebut tasawuf adalah kebaikan kepada sesama, alam, dan lingkungan hidup yang bersumber dari kesucian hati, keikhlasan dan kekhusyukan dan beribadah hanya kepada Allah SWT atas kesadaran  bahwa Allah SWT menyaksikan perbuatan manusia. Â
nama 'tasawuf' mungkin belum banyak dikenal pada masa rasulullah SAW, namun sebenarnya perilaku tasawuf itu sendiri sudah tercerminkan lewat berbagai perilaku dan kehidupan keseharian baginda nabi Muhammad SAW, sampai pada akhirnya diikuti oleh para sahabat-sahabatnya hingga saat ini.
Kehidupan Rasulullah SAW. Dalam perspektif tasawuf dapat kita bagi dalam dua fase, pertama fase kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi rasul, kedua fase kehidupan setelah beliau diangkat menjadi rasul.
1. Sebelum diangkat menjadi Rasul
Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa pada setiap bulan Ramadhan, nabi Muhammad SAW selalu menyendiri di Gua Hira menghindari keramaian hidup, menghindari kelezatan dan kemewahan dunia, menghindari makan dan minum yang berlebihan dan mengurangi tidur serta merenungi wujud alam semesta yang ada. Ini semua membuat kalbu beliau menjadi jernih, yang kemudian mengantarkannya menuju kenabian, hingga Malaikat Jibril a.s turun menyampaikan wahyu yang pertama (QS Al-Alaq [96]: 1-5).
 Tampak jelas bahwa tahannus dan khalwah yang dilakukan Muhammad SAW di Gua Hira itu bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan yang beraneka ragam. Beliau berusaha untuk memperoleh petunjuk (hidayah) dari pencipta alam semesta, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segalanya dengan baik dan benar.Â
 Kehidupan Rasulullah SAW. Di Gua Hira ini merupakan cikal bakal kehidupan yang nantinya akan dihayati oleh para Zahid ataupun sufi, di mana mereka menempatkan dirinya sendiri dibawah berbagai latihan ruhaniah (riadhah), seperti sirna (fana') di dalam munajat (audiensi) dengan Allah sebagai buah dari khalwat.Â
Imam Al-Gazali dalam komentarnya tentang penisbatan jalan yang ditempuh para sufi pada kehidupan nabi ketika menyendiri di Gua Hira, sebagai berikut:"Manfaat pertama (dari mengisolasi diri) ialah pemusatan diridalam beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan makhluk serta menyibukkan diri dengan mengungkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi.Â
Inilah yang disebut kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih baik bagi mereka (para sufi).Â