Mohon tunggu...
Nazmi Syahida
Nazmi Syahida Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Learning to love the process

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bekerja 24/7 hingga Anxiety Disorder

21 Februari 2024   19:00 Diperbarui: 25 Februari 2024   07:30 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah menjadi redaktur hanya mengedit tulisan? Tentu tidak. Aku harus mencari isu, membagikan isu, melakukan riset, liputan ke lapangan, membuntuti pejabat kampus, dan pekerjaan lain yang kalian tidak pernah bayangkan. 

Belum lagi tugas-tugas kuliah yang sering mengharuskan ke lapangan, lalu tugas-tugas kelompok, pergi ke Perpustakaan. Pun, aku menjadi perwakilan mahasiswa untuk menjadi Sekretaris kelas. Pekerjaannya menghubungi dosen, mengumpulkan tugas teman-teman, mencari ruangan kosong, memindahkan jam kelas. 

Kegiatan akademik dan non akademik masih cukup seimbang. Aku mengerjakan tugas kuliah dengan maksimal, jarang bolos kuliah meski sempat sesekali tipsen. Wajar bukan? Semua ujian tetap ku ikuti. 

Jika memikirkan masa-masa itu aku tidak merasa terbebani, bahkan menyenangkan memiliki kegiatan penuh dalam satu hari. Rasanya ada kepuasan tersendiri dibanding berdiam diri di kamar. 

Entah kegiatannya hanya bermain-main, aku merasa harus melakukan sesuatu. Sehingga dengan begitu aku tidak merasa bersalah pada diri sendiri. 

Tapi apakah aku pernah bermalas-malasan. TENTU SAJA! Manusia bodoh mana yang tidak pernah malas?! Tapi setelah itu pasti akan ada hari pembalasan. Hari dimana aku melakukan sesuatu hingga mati-matian tanpa henti. 

Kenapa ya rasa bersalah itu selalu ada? Kenapa ya aku membuat standar sendiri yang membuatku kelelahan? Sulit sekali berhenti. 

Aku mulai tau aku adalah orang yang sangat berambisi ketika teman-temanku mengatakannya. Aku kira semua orang melakukan hal yang sama denganku, bukankah begitu? Ternyata tidak. 

Ambisi itu menghasilkan nilai yang berorientasi maksimal. Aku memiliki nilai-nilai kuliah yang cukup bagus. Apalagi momen dimana aku mendapatkan IP 4, semua mata kuliah A. Lalu aku sadar, "apakah ini alasan teman-temanku memanggilku mahasiswa ambis?, oh ternyata ini hasilnya yang terlihat". 

Bukan hanya nilai kuliah, aku menghasilkan beberapa karya karena bergabung dengan Persma. Sertifikat-sertifikat yang menumpuk karena beberapa penghargaan yang sempat diterima. 

Hasil dari kuliah yang katanya "berambisi" itu rasanya membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Sombong sekali mengatakan mudah? Aku menyadarinya saat melihat teman-temanku yang kesulitan mendapat pekerjaan. Atau karena aku beruntung? Sejujurnya aku tidak percaya dengan kata beruntung. Bukankah lebih baik menyebutnya takdir baik? Begitulah pendapatku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun