Mohon tunggu...
Nazma Zahirah
Nazma Zahirah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Komunikasi Digital dan Media - IPB University

Mahasiswa Sekolah vokasi IPB Program Studi Komunikasi Digital dan Media

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melawan Filter Bubble: Membangun Jembatan Komunikasi di Tengah Ancaman Polarisasi Media Sosial dalam Pemilu

4 Maret 2024   00:29 Diperbarui: 4 Maret 2024   00:35 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Memahami Dampak Filter Bubble dan Polarisasi Media Sosial

     Perkembangan era digital terus berkembang begitu cepat. Perkembangan yang sangat pesat ini mengharuskan kita sebagai sumber daya manusia untuk menyesuaikan serta memanfaatkan perkembangan yang ada. Era digital hadir dengan memberikan beragam kemudahannya. Semua manusia di penjuru dunia saling terhubung dengan hadirnya internet dan sosial media. Bahkan, internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Teknologi yang semakin canggih membuat peningkatan fitur-fitur yang ada pada sosial media, salah satunya adalah fitur algoritma digital. Algoritma digital memproses suatu data serta memutuskan sesuatu secara otomatis. Algoritma ini didesain untuk menampilkan konten yang paling relevan atau menarik berdasarkan perilaku dan minat kita sebagai pengguna. Filter bubble merupakan salah satu contoh dari algoritma. Dengan hadirnya filter bubble, informasi yang tersedia pada internet pengguna akan sesuai dengan preferensi kita. Algoritma membuat konten yang muncul akan didasarkan pada data pengguna, riwayat pencarian, dan preferensi pengguna. Hal ini terdengar sangat lumrah, bahkan mungkin terdengar menguntungkan. Dimana kita dapat memperoleh informasi sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Namun disisi lain, filter bubble ini memberikan dampak yang negatif, yaitu membuat sudut pandang kita terisolasi sehingga dapat menimbulkan polarisasi.

     Menurut Cambridge Dictionary, secara etimologi filter bubble merupakan situasi dimana seseorang hanya mendengar atau melihat berita dan informasi yang mendukung apa yang diyakini dan disukainya, terutama situasi yang tercipta di internet sebagai akibat dari algoritma. Jika kita tidak keluar dari filter bubble, kita hanya akan mendengar berita yang menegaskan bias kita. Algoritma ini membuat kita terjebak pada konten kesukaan kita saja, sehingga akan menutup mata kita akan informasi diluar topik tersebut. Filter bubble pertama kali diperkenalkan oleh Eli Pariser, seorang aktivis internet dan penulis buku. Ia memperkenalkan gagasan ini pada saat seminar TEDTalks di California pada 2011. Disana ia mengatakan bahwa dunia informasi milik semua orang, yang unik dan bergantung bagaimana perilaku orang tersebut di internet (Pariser 2011). Media sosial sangat berperan dalam membentuk opini publik dan memengaruhi dinamika politik terutama dalam hal partisipasi masyarakat. Kemudahan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi salah satu dampak positif. Namun, dampak negatif yang dapat terjadi dalam ranah politik di sosial media sebagai akibat dari filter bubble adalah polarisasi politik. Secara etimologi dalam kamus Cambridge, polarisasi merupakan tindakan membagi sesuatu, terutama sesuatu yang berisi orang atau pendapat berbeda, menjadi dua kelompok yang sepenuhnya berlawanan. Polarisasi dalam konteks politik adalah suatu peristiwa dimana masyarakat memiliki dua pemahaman atau pandangan yang berbeda dalam hal politik. Pemahaman yang berbeda tersebut dapat menimbulkan perpecahan karena adanya perbedaan pendapat mengenai isu, ideologi, kebijakan maupun hal lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti hadirnya filter bubble ini, semakin memperkuat polarisasi tersebut. Dengan adanya filter bubble, seseorang akan terus terpapar informasi yang hanya membenarkan pandangannya tersebut. Dampaknya adalah pengguna cenderung semakin terpolarisasi dan sulit menerima pandangan yang berbeda.

Data Pengguna Internet dan Keterlibatan Politik

     Media sosial telah memberikan dampak yang besar dalam proses politik. Selain berbagi informasi, media sosial saat ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik seperti berdiskusi ataupun menyuarakan pendapat terkait isu-isu politik yang ada. Saat ini, kampanye politik pun banyak dilakukan dengan melibatkan media sosial sebagai kunci keberhasilan untuk mengumpulkan suara. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya pengguna media sosial, dibuktikan dengan data Digital 2022 Global Overview Report oleh Simon Kemp bahwa pertumbuhan pengguna media sosial menunjukkan 424 juta pengguna yang memulai perjalanan media sosial mereka selama setahun terakhir, setara dengan rata-rata lebih dari 1 juta pengguna baru per hari, atau sekitar 131 pengguna baru setiap detiknya. Kondisi ini membuat partai-partai politik berlomba-lomba membangun kekuatan baru di ranah digital. Melalui media sosial juga kita dapat memantau opini publik untuk mengukur sentimen publik serta mempengaruhi suatu kebijakan yang dianggap merugikan oleh publik.

Algoritma dan Personalisasi Konten, Pendorong Polaritas Opini Politik

     Penggunaan internet sebagai salah satu sumber informasi politik bagi masyarakat semakin merambah luas. Dilansir dari Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 60,6% generasi Z atau anak muda kelahiran 1995-2005 mengakses berita terkait politik melalui media sosial. Personalisasi konten dapat memperkuat polarisasi opini politik, sejalan dengan dikuatkannya Filter Bubble, di mana individu hanya akan terpapar pada konten yang sesuai dengan preferensi mereka. Ketika algoritma media sosial memperkuat preferensi dengan menyajikan konten yang sesuai dengan pandangan politik seseorang, hal ini dapat menyebabkan individu semakin terisolasi dalam kelompok pemikiran tertentu dan semakin memperkuat keyakinan mereka sendiri. Hal ini yang kemudian dapat memperkuat polarisasi politik karena individu cenderung kurang terpapar pada sudut pandang yang berbeda dan kurang atau mungkin tidak menerima pendapat yang berlawanan. Filter bubble memungkinkan individu untuk terus terhubung dengan orang-orang yang memiliki pandangan politik serupa, yang menghasilkan terbentuknya kelompok-kelompok yang semakin terisolasi secara ideologis. Hal ini dapat mengurangi kemampuan untuk berempati dan berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Jika hal ini terus dibiarkan, filter bubble dapat memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang semakin terpolarisasi secara politik yang pada akhirnya membuat orang lupa akan prinsip demokrasi negara ini.

Ancaman Terhadap Proses Demokrasi

     Filter bubble dan polarisasi menjadi dua pilar masalah yang mengancam proses demokrasi, termasuk pengaruhnya terhadap pemilihan umum. Selain kurangnya paparan pada beragam informasi, pembentukan opini yang tak seimbang akibat keyakinan yang telah mengakar, dan pemecahbelahan kelompok yang berbeda pandangan politik, penyebaran informasi palsu atau hoax juga menjadi tantangan dalam proses pemilu. Dengan adanya filter bubble, informasi yang tidak akurat atau palsu cenderung lebih mudah menyebar. Hal ini dapat mengganggu integritas pemilihan umum dengan menyebarkan disinformasi yang dapat memengaruhi hasil pemilihan.

Menuju Solusi, Langkah-langkah untuk Mengatasi Filter Bubble dan Polaritas Politik Menurut Teori Agenda Setting

     McCombs dan Shaw mengungkapkan gagasannya terkait teori agenda setting bahwasanya media massa memiliki kemampuan untuk menggeser agenda berita mereka ke dalam agenda publik (Griffin, 2010). Pengertian ini menjelaskan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk cara berpikir masyarakat yang terpapar informasi. Sederhananya, apa yang dianggap penting oleh media, juga dianggap penting oleh publik. Sejalan dengan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya terkait fenomena filter bubble hingga polarisasi politik, dimana media sosial sebagai media massa memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk algoritma. Berangkat dari sini, dengan pendekatan teori agenda setting, kita dapat mengubah fungsi dan algoritma media sosial dalam mengubah opini maupun cara berpikir masyarakat agar tidak terpolarisasi terlebih dalam hal politik yang dampaknya akan mengancam demokrasi. Mengatasi polarisasi politik sebagai akibat dari filter bubble menggunakan teori agenda setting dapat melibatkan beberapa strategi. Pertama, dengan mengatur agenda media sosial. Platform media sosial perlu mengatur kembali algoritma yang ada untuk menghitung keberagaman pandangan politik yang akan ditampilkan kepada pengguna. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat konten yang memperluas perspektif dan mengurangi preferensi yang hanya memperkuat sudut pandang yang sudah ada. Sebagai produsen media, kita juga dapat ikut serta dalam mengurangi polarisasi politik sebagai dampak filter bubble, yaitu dengan cara meningkatkan keberagaman konten, hal ini dilakukan untuk meningkatkan beragamnya konten yang ditampilkan kepada pengguna media sosial, termasuk memperluas cakupan topik politik yang disajikan dan memastikan keseimbangan berbagai sudut pandang. Selain itu, pengembangan kesadaran juga dibutuhkan. Masyarakat perlu diberi kesadaran tentang bagaimana filter bubble dapat menyebabkan polarisasi politik dan dampak negatifnya terhadap demokrasi. Kampanye kesadaran publik dan pendidikan literasi digital dapat membantu masyarakat untuk mengenali dan mengatasi filter bubble dalam penggunaan media sosial.

     Filter bubble, yang disebabkan oleh algoritma digital pada media sosial, menyebabkan individu terpapar hanya pada informasi yang sesuai dengan preferensi masing-masing, mengisolasi sudut pandang individu dan memperkuat polarisasi politik. Fenomena ini memiliki dampak yang signifikan pada proses demokrasi, termasuk pemilihan umum dengan mengurangi akses pada informasi yang beragam, pembentukan opini yang tidak seimbang, dan penyebaran informasi palsu. Pendekatan menggunakan teori agenda setting menyoroti pentingnya mengatur kembali algoritma media sosial untuk memperhitungkan keberagaman pandangan politik, memperluas cakupan topik politik, dan memastikan keseimbangan berbagai sudut pandang. Selain itu, peningkatan kesadaran publik tentang filter bubble dan polarisasi politik, bersama dengan pendidikan literasi digital, juga dianggap penting dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dengan menggabungkan berbagai strategi ini, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif filter bubble dan polarisasi politik pada media sosial, serta memperkuat integritas proses demokrasi dan pemilihan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun