Kalau kamu sedang melakukan perjalanan dan singgah di Kebumen, cobalah untuk mampir ke salah satu desa di sana untuk makan gratis. Cukup dengan membayar lauknya saja, disana kamu dapat makan sepuasmu, sekenyangmu.
Desa tersebut adalah Desa Penimbun, terletak di Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen. Jika kamu berada di Alun-alun Kota Kebumen, memerlukan waktu lebih kurang 35 menit untuk sampai ke Desa Penimbun. Kalau dari Jogja, kamu bisa menghabiskan waktu perjalanan untuk sampai ke Desa Penimbun sekitar tiga jam.
PERJALANAN MENUJU DESA PENIMBUN
Berbekal google maps pada gawai, saya dan teman yang kebetulan sedang menginap di daerah Kuwarasan, Kebumen segera bersiap untuk melaju menggunakan sepeda motor menuju Desa Penimbun. Berangkat pada pukul 10.27 WIB, kami melesat di tengah jalan desa yang banyak berlubang.
Singkat cerita perjalanan, untuk sampai di Desa Penimbun, kami butuh melewati beberapa desa dari Jalan Nasional III. Pertama, kami melalui Desa Klopogodo. Di desa ini, kami disuguhkan dengan hamparan pemandangan hijau sawah luas berhektar-hektar.
Masih berjalan menuju kearah Desa Penimbun, desa selanjutnya yang dilewati adalah Desa Pohkumbang. Di desa ini, kami sedikit menjumpai kembali jalan yang berlubang. Namun tidak hanya berlubang, tetapi juga berliku-liku.
Jam di gawai menunjukkan pukul sebelas lebih tiga menit, setelah melewati jalan yang berlubang dan berliku, akhirnya kami berada di depan gapura bertuliskan Desa Penimbun. Syukur alhamdulillah, saya tidak keblasuk karena google maps yang terkadang suka memberi arah jalan yang muter-muter dan sering membuat kita merasa kesasar.
Gawai yang tadi saya genggam sebagai penunjuk jalan ke Desa Penimbun, saya kantongi kembali karena telah tiba di tempat tujuan. Segera saya dan teman menyusuri Desa Penimbun untuk mencari tahu informasi yang beredar mengenai larangan menjual nasi di desa tersebut.
PANTANG DAN TAK ADA YANG MENJUAL NASI
Saya dan teman berhenti di depan sebuah warung kelontong kecil.
"Mas, rokok surya ada?" tanya saya kepada penjual di warung.
"Nggak ada e, Mas" Mas Adi (penjual) menjawab pertanyaan saya.
"Kalau gudang garam filter ada?" saya kembali bertanya. "Ada, Mas" sahutnya sembari menyodorkan sebungkus rokok.
Seraya membeli beberapa barang dagangannya, saya dan teman mengobrol dengan Mas Adi. "Ya benar, disini itu dilarang menjual nasi" jawabnya ketika saya tanyakan mengenai larangan menjual nasi di Desa Penimbun.
"Terutama sih untuk daerah-daerah Krajan, ya, kalau di luar Krajan nggak masalah" imbuhnya menjelaskan daerah yang dilarang menjual nasi.
"Tapi memang, tradisinya, ya begitu, Mas. Saya sendiri juga kurang paham. Cuma orang tua (orang-orang sesepuh) ceritanya begitu" jelasnya ketika ditanya kenapa dilarang menjual nasi. "Saya kan dulu juga sempet jualan sayuran disini, tapi kalau kayak lontong itu nggak masalah. Tapi kalo udah masuk nasi rame lah kata orang sini itu, nggak boleh," tambahnya.
Berbekal informasi dari Mas Adi, saya dan teman pun bersiap untuk menyambangi ke kediaman kepala desa. Motor yang saya tumpangi tadi, saya titipkan di tanah kosong sebelah warung Mas Adi. Kami berjalan kaki menuju kediaman Pak Kepala Desa (Pak Kades) yang ternyata adalah rumah mertua dari Pak Kades.
Setiba dirumah mertuanya Pak Kades, saya dan teman disambut dengan hangat. Kemudian kami dipersilahkan masuk ke rumah, dan mempersilahkan untuk duduk. Tak lupa pula kami berjabat tangan dan mengenalkan nama serta tujuan kami datang kesana.
Setelah beberapa saat, kami pun meminta keterangan dari Pak Kades terkait larangan menjual nasi. "Ceritanya orang dulu, ya, katanya apalah itu, kalo kita ngomong karma mungkin. Jadi seandainya kalau ada yang jualan nasi, pokoknya yang asalnya itu dari nasi itu nggak boleh" jawab Pak Saijan (Pak Kades).
"Kalau ada yang melanggar, akibatnya ujug-ujug ada yang ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa), terus gantung diri" imbuhnya jika ada yang melanggar larangan tersebut.
Sependek pengamatan saya, di desa itu tidak ada warung nasi. Di sana hanya ada sebuah warung makan mie ayam. "Warung makan itu rata-rata nyediain (nasi), sekarang ada mie ayam, bakso, terus kalo mau ke warung paling ya Indomie, nanti nasinya dikasih" ungkap Pak Kades. "Jadi, nggak ada kata nasi terjual disini" imbuhnya.
"Walaupun mie, kadang orang makan mie pakai nasi, itu nasinya nggak dijual, dikasih, jadi yang di bayar cuma mienya aja" pungkasnya. "Mau bentuk apapun nasinya, mau nasi kuning juga nggak boleh, kalau masih nasi" ujar Mas Adi ketika ditanya nasi apa saja yang tidak boleh dijual.
PAK KADES MENGAMBIL TINDAKAN BAGI MASYARAKAT YANG MENJUAL NASI
Larangan menjual nasi di Desa Penimbun pun tertuang dalam Peraturan Desa (Perdes) dalam BAB II Tentang Gambaran Umum Desa, Nomor 1, huruf (a) mengenai Legenda Desa. Dalam poin tersebut berbunyi;
"Desa Penimbun memiliki berbagai pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap orang yang datang ke Penimbun. Pantangan-pantangan tersebut adalah tidak boleh menjual nasi rames. Diceritakan pada jaman dahulu ada seorang pengelana yang datang ke Desa Penimbun dan kelaparan. Pada saat meminta nasi kepada warga, tak ada seorang pun yang mau memberi. Akhirnya pengelana mengeluarkan kalam (kutukan) yang intinya di Desa Penimbun tidak boleh ada yang menjual nasi dan harus memberikan secara cuma-cuma bila ada yang kelaparan. Apabila ada yang menjual nasi maka terjadilah malapetaka."
Kemudian dari Perdes tersebut, Pak Saijan berani untuk mengambil tindakan bagi siapa saja yang menjual nasi di daerah Desa Penimbun.
"Seandainya ada masyarakat yang tidak taat sama larangan-larangan di desa ini, itu pasti saya ambil tindakan" ujar Pak Saijan saat ditanya jika ada masyarakat yang melanggar larangan tersebut.
"Kita datengin kerumah, kita kasih tau, takutnya orang yang ibaratnya melanggar itu nggak tau, jadi saya ceritakan kenapa njenengan jual gini saya larang, itu ibaratnya udah ada aturannya, udah ada pakemnya (Perdes)" tambahnya.
"Saya pesen sama njenengan, kalau ditawari maem purun mawon, inshaallah aman, Mas mboten enten nopo-nopo teng mriki. Kalau ditawari maem, nopo-nopo njenengan nolak, sekali nolak nggih, mpun, ngga bakal ditawari maem lagi" ujar Pak Saijan.
Kami pun masih lanjut mengobrol ngalor-ngidul dengan Pak Saijan. Di tengah obrolan, datang seorang ibu tua dari dapur membawa nampan berisi mangkuk mie ayam jumbo. Ibu tua tersebut merupakan mertua dari Pak Saijan. Saya dan teman pun tidak bisa menolak mengingat perkataan Pak Saijan tadi, dan juga waktu menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit yang artinya sudah waktunya untuk rolasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H