Mohon tunggu...
Nazari FrydaDelviyanti
Nazari FrydaDelviyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pelajar yang akan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Food Estate, Program Pemerintah yang Tidak Belajar dari Program Sebelumnya

11 Mei 2023   10:00 Diperbarui: 11 Mei 2023   10:04 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketahanan pangan nasional merupakan hal pokok penunjang pembangunan dan peningkatan kualitas hidup negara. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat membuat permintaan akan pangan terus meningkat, hal ini mempersulit dalam perwujudan ketahanan pangan pada tingkat nasional maupun global (makro). 

Produksi pangan juga akan sulit karena pengaruh perubahan iklim. Peringatan dari FAO mengenai ancaman krisis pangan karena dampak terjadinya pandemi Covid-19 juga mempersulit perwujudan ketahanan pangan nasional. Oleh karenanya, pemerintah membuat program Food Estate yang dinilai mampu mengatasi dan meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Food estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 dengan konsep peningkatan pangan yang terintegrasi. Program ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan yang mencakup sektor pertanian, perkebunan, hingga sektor peternakan. Food estate dibangun di tiga provinsi besar yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Food estate direncanakan akan terus dikembangkan sampai tahun 2024 dan menjadi lumbung pangan baru di Indonesia. 

Program Sebelumnya

Gagasan seperti food estate sebenarnya sudah pernah dijalankan beberapa kali, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden SBY. Saat masa pemerintahan Presiden Soeharto, proyek ini dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) yang juga diadakan di Kalimantan Tengah. Namun, proyek yang dicetuskan Presiden Soeharto ini mengalami kegagalan karena dikritik mengenai dampak terhadap lingkungan. Kemudian ide yang sama muncul pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide tersebut dituangkan kedalam program yang diberi nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). 

Namun proyek kembali gagal usai menuai kritik dari aktivis lingkungan, institusi riset, dan akademisi karena dianggap mengabaikan eksternalitas negatif seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, konflik sosial/agraria, dan tekanan atas kehidupan masyarakat sekitar (Indonesian Center For Environmental Law, 2020).

Presiden Jokowi mencetuskan program food estate yang pada pelaksanaannya tidak berbeda dengan program sebelumnya. Baik program food estate dan dua program sebelumnya memiliki kebijakan yang menjadi ancaman bila dilihat dari ekologi dan keberlangsungan alam dan isinya. Program food estate dinilai melanggar etika lingkungan karena dalam pelaksanaannya cenderung mencerminkan sikap antro antroposentrisme. Dimana sikap antroposentrisme ini menganggap manusia dan kepentingannya lah yang paling menentukan tatanan ekosistem.

Permasalahan Lingkungan

Ekosistem lingkungan kita terancam rusak karena adanya sikap antroposentrisme yang dimiliki oleh pemerintah dalam melaksanakan program food estate ini. Sikap antroposentrisme ini terindikasi dari bagaimana mereka membuat target dan usaha yang dilakukan dalam menjalankan program ini.

Pertama, luasnya lahan yang menjadi target program ini dinilai terlalu eksploitatif, dengan rincian di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Tengah (180 ribu hektar), Sumatera Utara (60 ribu hektar), dan NTT (5 ribu hektar), dan perkiraannya dapat bertambah seiring dengan berjalannya program ini. Masifnya luas lahan yang menjadi target program food estate ini semakin menguat dengan adanya Permen LHK No 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. 

Kebijakan  berisi tentang penyediaan lahan untuk program food estate yang boleh dilakukan pada kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Kebijakan ini dinilai merusak ekosistem karena secara tidak langsung kebijakan ini mendukung deforestasi demi membuka lahan untuk proyek food estate.

Kesalahan berikutnya adalah pemilihan metode dalam penyediaan lahan. Kesalahan pemilihan metode ini juga menjadi faktor kerusakan ekosistem. Dimana metode yang digunakan adalah KLHS Cepat, metode ini idealnya digunakan untuk perencanaan yang bersifat darurat karena metode ini cenderung bersifat spekulatif yang memberikan ruang ketidakpastian cukup besar. Selain itu, metode ini juga dinilai tidak relevan untuk mencapai pertimbangan keberlanjutan fungsi lahan dan kelestarian lingkungan hidup. 

Terlebih dalam program food estate ini lokasi telah ditentukan lebih dahulu kemudian dilakukan KLHS Cepat setelahnya. Jadi, lokasi yang dipilih dinilai kurang tepat sasaran dan kurang sesuai dengan jenis dan fungsi lahan di lokasi food estate ini dijalankan.

Penunjukkan Kemenhan sebagai leading sector juga menjadi masalah selama program ini dijalankan. Penunjukkan leading sector ini dinilai kurang sesuai dengan tugas dan fungsi dari Kemenhan itu sendiri. Keterlibatannya berpotensi disalahgunakan saat terjadi konflik agraria dengan masyarakat. Penyalahgunaan yang terjadi seperti saat lokasi yang ditetapkan untuk pembangunan proyek ini merupakan kawasan hutan adat. Maka, dengan adanya keterlibatan militer dinilai dapat menekan masyarakat untuk setuju bila kawasannya akan digunakan.

Perlunya Evaluasi

Ambisi Presiden Jokowi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan program food estate merupakan hal yang baik dan perlu di apresiasi. Namun, upayanya dalam memenuhi ambisinya tersebut menuai kontroversi dalam sudut pandang ekologi dan etika lingkungan. 

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama pelaksanaan program ini cenderung mengindikasi adanya sikap antroposentrisme. Proyek food estate perlu dievaluasi secara komprehensif dengan mempertimbangkan masukan pakar, aktivis lingkungan, dan akademisi. Selain itu, program ini juga harus berlandaskan prinsip-prinsip etika lingkungan demi keberlangsungan ekosistem dan lingkungan. Selain itu, prediksi WHO dan ilmuwan yang meyakini virus Covid-19 bukan lagi pandemi menjadikan ancaman krisis pangan sudah tidak relevan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun