Gerakan Reformasi
Lahirnya gerakan reformasi didasarkan pada keinginan untuk melalukan sebuah perubahan . keinginan ini tercipta akan dorongan dari dampak negative kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru ini berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998, Indonesia mengalami perubahan politik yang signifikan. Menyusul jatuhnya pemerintahan Presiden Sukarno, Jenderal Suharto mengambil alih kekuasaan dan menerapkan serangkaian kebijakan yang bertujuan menstabilkan negara.
Di bawah kepemimpinan Suharto, Indonesia mengalami periode pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang pesat, yang membantu meningkatkan taraf hidup banyak warga negara. Namun, kemajuan ini harus dibayar mahal, karena pemerintahan Suharto dituduh melakukan korupsi yang meluas dan pelanggaran hak asasi manusia.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Indonesia memang membuat beberapa kemajuan menuju demokrasi selama periode Orde Baru. Pada tahun 1971, Suharto mendirikan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang menyediakan forum debat politik dan membantu melembagakan kekuasaan pemerintah.
Masa Orde Baru berakhir pada tahun 1998, menyusul gelombang protes dan kerusuhan yang dipicu oleh krisis keuangan Asia. Suharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh BJ Habibie, yang melaksanakan serangkaian reformasi politik yang bertujuan untuk mendemokratisasi negara. Dengan peristiwa pengunduran diri Presiden Soeharto, menandai berkahirnya pemerintahan masa Orde Baru dan dilanjutkan dengan masa pemerintahan Reformasi yang kita kenal hingga saat ini.
Setelah Orde Baru berakhir, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin menurun. Berbagai upaya untuk mewujudkan Reformasi mulai dilakukan salah satunya dengan membuat kebijakan-kebijakan baru dalam pemerintahan. Namun, dalam perjalanannya tentunya terdapat pro dan kontra anatara rakyat dan pemerintah terkait kebijakan yang dianggap kontroversial pada masanya. Berikut ini beberapa kebijakan pemerintah masa Reformasi yang dinilai Kontroversial pada masanya.
- Masa Kepresidenan B.J Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie, presiden ketiga Indonesia ini memainkan peran penting dalam transisi negara menuju demokrasi. Namun, pemerintahannya bukannya tanpa kontroversi, terutama ketika menyangkut peraturan tertentu yang dia keluarkan selama dia berkuasa.
Salah satu peraturan paling kontroversial yang dikeluarkan pada masa kepresidenan Habibie adalah pernyataan bahwa Indonesia memberikan opsi referendum terkait permasalahan disintegrasi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bagian Timor Leste. Pada tahun 1999, Presiden Indonesia BJ Habibie mengumumkan bahwa Timor Timur akan diizinkan untuk mengadakan referendum tentang statusnya di masa depan sebagai negara merdeka atau sebagai provinsi otonom di Indonesia. Namun, hanya beberapa bulan kemudian, Habibie mencabut opsi otonomi, meninggalkan Timor Timur hanya dengan opsi kemerdekaan.
Keputusan ini menuai kontroversi dan kritik baik dari politisi Timor Leste maupun Indonesia. Beberapa berpendapat bahwa penarikan opsi otonomi adalah upaya yang disengaja untuk mendorong kemerdekaan dan merusak legitimasi referendum.
Yang lain berpendapat bahwa pencabutan opsi otonomi merupakan langkah penting untuk mengakui realitas keinginan rakyat Timor untuk merdeka. Namun, bahkan beberapa pendukung kemerdekaan mengkritik cara pelaksanaan referendum, dengan laporan kekerasan dan intimidasi terhadap mereka yang mendukung otonomi atau dianggap pro-Indonesia.
Selanjutnya keputusan pemerintah yang turut menuai kontroversi adalah Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1999, yang mengizinkan penggunaan kekuatan militer di provinsi Aceh dan Papua. Keputusan tersebut dilihat oleh banyak orang sebagai upaya untuk menekan gerakan separatis di wilayah tersebut, dan menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Â Peraturan kontroversial lainnya yang diperkenalkan oleh Habibie adalah Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999, yang memberikan otonomi politik dan fiskal yang lebih besar kepada daerah-daerah di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan desentralisasi dan meningkatkan tata kelola, undang-undang tersebut juga menimbulkan kekhawatiran tentang peningkatan korupsi dan ketidaksetaraan.
Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1999 juga turut menjadi kebijakan kontroversial pada masa ini, yang memberikan grasi kepada anggota Partai Komunis Indonesia yang telah dipenjara atau diasingkan sejak tahun 1960-an. Keputusan tersebut mendapat tentangan keras dari kelompok konservatif, yang melihatnya sebagai upaya untuk menghidupkan kembali komunisme di Indonesia.
Habibie juga mengeluarkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk mendorong pembangunan ekonomi, namun dipandang oleh sebagian orang lebih menguntungkan investor asing daripada bisnis Indonesia. Salah satu peraturan tersebut adalah Keputusan Presiden No. 66/1999, yang melonggarkan pembatasan kepemilikan asing atas bank-bank Indonesia. Kritikus berpendapat bahwa ini akan menyebabkan hilangnya kendali atas sektor keuangan negara.
Terlepas dari kontroversi ini, kepresidenan Habibie dipandang oleh banyak orang sebagai periode reformasi politik dan demokratisasi. Dia mengawasi penyusunan konstitusi baru dan penyelenggaraan pemilu demokratis pertama di Indonesia dalam lebih dari 40 tahun.
Warisan Habibie tetap menjadi bahan perdebatan di Indonesia, dengan beberapa memuji upayanya untuk mempromosikan demokrasi dan pembangunan ekonomi, sementara yang lain mengkritik kecenderungan otoriter dan kebijakannya yang kontroversial. Namun, masa kepresidenannya merupakan titik balik penting dalam sejarah Indonesia, membuka jalan bagi keterbukaan politik dan partisipasi demokratis yang lebih besar.
- Masa Keperesidenan Gus Dur
Abdurrahman Wahid, yang juga dikenal sebagai Gus Dur adalah presiden keempat Indonesia dan menjabat dari tahun 1999 hingga 2001. Pemerintahannya ditandai dengan sejumlah peraturan kontroversial, beberapa di antaranya ditujukan untuk mempromosikan toleransi beragama dan hak asasi manusia, sementara yang lain dikritik. karena tidak efektif atau melanggar hak konstitusional.
 Peraturan kontroversial yang dikeluarkan masa pemerintahan Gus Dur adalah Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2000, yang memberikan amnesti kepada anggota kelompok separatis di Aceh dan Papua. Sementara dekrit tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi, keputusan tersebut mendapat tentangan dari para pemimpin militer dan kelompok konservatif, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap integritas teritorial Indonesia.
Gus Dur juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang bertujuan untuk mempromosikan toleransi beragama dan kebebasan berekspresi, termasuk keputusan yang memungkinkan pembentukan sekte agama baru dan undang-undang yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam urusan agama. Namun, peraturan ini dikritik oleh beberapa pemuka agama dan kelompok konservatif, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional dan kohesi sosial Indonesia.
Pada masa kepresidenan Gus Dur, salah satu perubahan kebijakan yang signifikan dan kontroversial adalah pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Instruksi yang telah berlaku selama lebih dari tiga dekade ini melarang pegawai negeri untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Pencabutan instruksi ini dipandang sebagai langkah besar menuju kebebasan politik dan demokrasi yang lebih besar di Indonesia. Itu juga dilihat sebagai pengakuan atas peran penting yang dimainkan masyarakat sipil dalam membentuk lanskap politik negara.
Namun, pencabutan Inpres Nomor 14 itu bukannya tanpa kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa hal itu akan mengarah pada politisasi pegawai negeri Indonesia dan merusak ketidakberpihakan lembaga pemerintah.
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 pada akhirnya membuka jalan bagi partisipasi politik dan keterlibatan masyarakat sipil yang lebih besar di Indonesia. Ini membantu untuk membangun sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis, dan menyebabkan suara yang lebih luas terdengar dalam wacana politik negara.
Peraturan kontroversial lainnya  adalah Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 sebagai pengganti dari dicabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967, yang memberikan grasi kepada anggota Partai Komunis Indonesia yang telah dipenjara atau diasingkan sejak tahun 1960-an. Seperti keputusan serupa Habibie, peraturan ini mendapat tentangan dari kelompok konservatif, yang melihatnya sebagai upaya untuk menghidupkan kembali komunisme di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi ini, Wahid dipuji secara luas atas upayanya mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Dia membantu mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan mencabut pembatasan terhadap pers, memungkinkan kebebasan berbicara yang lebih besar.
Pada tahun-tahun sejak kepresidenan Gus Dur, Indonesia terus bergulat dengan banyak masalah yang sama yang diangkat selama masa jabatannya. Negara ini telah membuat kemajuan menuju demokrasi dan hak asasi manusia yang lebih besar, tetapi tantangan yang terus berlanjut seputar korupsi, ketidaksetaraan, dan intoleransi agama tetap ada.
Secara keseluruhan, meskipun kepresidenan Wahid ditandai dengan peraturan dan kebijakan yang kontroversial, upayanya untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia memiliki dampak yang bertahan lama pada lanskap politik Indonesia.
- Â Masa Kepresisdenan Megawati Sukarnoputri
Megawati Sukarnoputri menjabat sebagai Presiden kelima Indonesia dari tahun 2001 hingga 2004, menyusul  pendahulunya Abdurrahman Wahid. Selama menjabat, Megawati mengeluarkan beberapa peraturan kontroversial yang menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia.
Salah satu peraturan yang paling kontroversial adalah Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2002 yang memberikan amnesti kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memperjuangkan kemerdekaan di Provinsi Aceh. Meskipun dekrit tersebut dipandang sebagai langkah positif menuju perdamaian dan rekonsiliasi, dekrit tersebut dikritik oleh beberapa pihak yang merasa bahwa dekrit tersebut terlalu memberikan keringanan hukuman kepada kelompok separatis.
Megawati juga mengeluarkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk mendorong pembangunan ekonomi, tetapi oleh sebagian orang dipandang lebih menguntungkan investor asing daripada bisnis Indonesia. Salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2001 yang melonggarkan pembatasan kepemilikan asing pada bank-bank Indonesia. Kritikus berpendapat bahwa ini akan menyebabkan hilangnya kendali atas sektor keuangan negara.
Peraturan kontroversial lainnya adalah Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2002 yang memberikan otonomi lebih besar kepada daerah di Indonesia. Meskipun peraturan tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan desentralisasi dan meningkatkan tata kelola, peraturan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran tentang peningkatan korupsi dan ketidaksetaraan.
Selain itu kebijakan privatisasi BUMN juga turut menjadi kebijakan kontroversial masa itu. Kebijakan tersebut dipandang sebagai respon terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990-an, yang menyebabkan keterpurukan ekonomi negara secara besar-besaran.
Terlepas dari kontroversi ini, Megawati dipuji secara luas atas upayanya mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Dia membantu mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan mencabut pembatasan terhadap pers, memungkinkan kebebasan berbicara yang lebih besar.
- Masa Kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono
Pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia melihat sejumlah peraturan kontroversial yang dikeluarkan. Salah satu aturan tersebut adalah Undang-Undang Anti-Fitnah dan Intimidasi 2008, yang bertujuan untuk mengatur penyebaran ujaran kebencian dan fitnah melalui sarana elektronik. Sementara undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan harmoni sosial dan mencegah cyberbullying, undang-undang tersebut dikritik karena berpotensi membatasi kebebasan berbicara dan digunakan untuk membungkam lawan politik.
Peraturan kontroversial lainnya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2008, yang bertujuan untuk mengatur aktivitas online di Indonesia. Kritikus berpendapat bahwa undang-undang tersebut terlalu luas dan dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi, khususnya di media sosial.
Selain peraturan tersebut, kepresidenan Yudhoyono juga diwarnai dengan kekhawatiran seputar korupsi dan erosi demokrasi. Munculnya ancaman populis terhadap demokrasi di Indonesia pada masa kepresidenan Yudhoyono tercatat dalam beberapa analisis.
Terlepas dari tantangan ini, Yudhoyono dipuji secara luas atas upayanya untuk mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di Indonesia. Dia juga membantu pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional dan memperkenalkan sejumlah reformasi yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi korupsi.
- Â Masa Kepresidenan Joko Widodo
Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, menjabat sejak tahun 2014 lalu telah menerapkan sejumlah kebijakan yang terbukti kontroversial. Sementara beberapa dari kebijakan ini telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan, yang lain menghadapi penentangan dan kritik yang signifikan.
Salah satu kebijakan paling kontroversial di bawah Jokowi adalah pendekatannya terhadap pelanggaran terkait narkoba. Pada 2015, ia meluncurkan kampanye untuk menindak penggunaan dan perdagangan narkoba, yang menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah eksekusi terpidana pelaku narkoba. Kebijakan ini menuai kritik dari kelompok hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan bahwa pendekatan pemerintah terhadap pelanggaran terkait narkoba harus difokuskan pada pencegahan dan rehabilitasi daripada hukuman.
Kebijakan kontroversial lainnya di bawah Jokowi adalah pendekatannya terhadap lingkungan. Sementara dia telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi beberapa tantangan lingkungan yang paling mendesak di negara itu, seperti penggundulan hutan dan polusi udara, pemerintahannya juga telah dikritik karena penanganannya terhadap beberapasengketa lingkungan yang terkenal. Misalnya, pada 2019, pemerintahnya menyetujui pembangunan bendungan besar pembangkit listrik tenaga air di Sumatera Utara, meski ada kekhawatiran akan dampaknya terhadap masyarakat lokal dan lingkungan.
Terakhir, pemerintahan Jokowi menghadapi kritik atas penanganannya terhadap perbedaan pendapat politik. Pemerintah dituduh menindak aktivis, jurnalis, dan tokoh oposisi yang berbicara menentang kebijakan pemerintah. Pada tahun 2020, pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yang kontroversial yang memberikan kewenangan luas untuk menindak perbedaan pendapat, termasuk kewenangan untuk melarang organisasi yang dianggap mengancam keamanan nasional.
UU Cipta Kerja Indonesia, yang disahkan pada Oktober 2020, telah menjadi sumber kontroversi dan kritik sejak awal. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk merampingkan peraturan dan mempermudah bisnis untuk beroperasi di negara tersebut, tetapi banyak yang berpendapat bahwa hal itu dilakukan dengan mengorbankan hak-hak pekerja dan perlindungan lingkungan. Para pengkritik undang-undang tersebut berpendapat bahwa undang-undang tersebut melemahkan perlindungan tenaga kerja,
Undang-undang tersebut memicu protes luas di seluruh negeri, dengan para demonstran menyerukan pencabutannya. Sebagai tanggapan, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan darurat pada 30 Desember 2020 untuk menggantikan undang-undang kontroversial tersebut. Peraturan baru ini dimaksudkan untuk mengatasi beberapa kekhawatiran yang diajukan oleh para kritikus terhadap undang-undang asli, tetapi masih harus dilihat apakah cukup untuk meredam protes dan memuaskan para penentang undang-undang tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H