Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) telah usai dilaksanakan. Pada tanggal 13 Juni 2024 lalu, baik penerimaan maupun penolakan ditampilkan dalam sebuah laman berwarna biru. Belakangan ini kita tengah berada di euforia penerimaan mahasiswa baru. Calon-calon mahasiswa hendaknya bersiap untuk memasuki pintu baru, menaiki satu anak tangga kehidupan. Ada baiknya untuk menyiapkan perbekalan fisik dan mental yang cukup demi memasuki jenjang yang lebih tinggi. Tidak lain tidak bukan, pintu kehidupan yang dibuka ialah dunia perkuliahan.Â
Tentunya detik-detik pertama menginjakkan kaki di universitas impian merupakan hal yang amat ditunggu-tunggu. Mahasiswa baru disambut dengan meriah dan megah. Lantas bagaimana dengan sisi gelap ospek yang katanya kelam dan mengerikan itu?
Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang biasa kita sebut ospek sejatinya berfungsi sebagai jembatan bagi para mahasiswa baru untuk mengenal lingkungan universitas lebih dalam. Mulai dari kurikulum, struktur universitas, sejarah berdirinya atau terbentuknya suatu universitas, dan pengenalan-pengenalan terkait dunia perkuliahan lainnya.
Ospek sendiri sudah menjadi rangkaian yang tak dapat dilupakan. Bisa dibilang ospek tumbuh menjadi suatu ritual tahunan untuk mahasiswa baru dengan ciri khas ospek universitas, fakultas, atau program studinya tersendiri.
Walaupun ospek umumnya berfungsi untuk memberikan pengenalan, sayangnya ospek seringkali disalahgunakan untuk perbuatan yang tidak seharusnya. Ujaran atau tindak kekerasan yang tidak berdasar seringkali menimpa telinga para mahasiswa baru. Makna ospek perlahan-lahan bergeser dan menghilangkan esensi kegiatan tersebut. Ospek merambat menjadi wadah untuk melangsungkan budaya senioritas dan hasrat akan kehormatan. Kemanakah perginya ospek yang bersih?
Boleh jadi kita turut berduka akan abainya petinggi-petinggi yang mengisi kursi jabatan di dunia pendidikan terhadap bergesernya pemaknaan ospek. Korban mahasiswa baru tengah menjerit dan menderita akan penderitaan yang dialaminya akibat ospek yang dijalankan secara tidak semestinya. Acapkali petinggi instansi pendidikan acuh akan fenomena ini. Korban tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya menjadi haknya. Di sisi lain, panitia ospek ogah tobat akan perbuatannya. Menyedihkannya, ospek berubah menjadi rantai perpeloncoan tiap tahun yang tak pernah usai.
Sebenarnya dari manakah asal usul ospek yang kental akan kekerasan ini?
Usut punya usut, tragedi perpeloncoan terhadap mahasiswa baru tertua ditemukan di Universitas Cambridge, UK. Kala itu sistem kasta bangsawan masih eksis di Eropa. Tindak perpeloncoan dilatarbelakangi ketika para bangsawan Inggris yang menduduki strata sosial yang tinggi umumnya memiliki sifat tinggi hati dan berlaku seenaknya terhadap manusia. Dari sanalah muncul tradisi di mana tiap mahasiswa tahun pertama yang baru memasuki lingkungan perkuliahan tersebut harus melewati tahap perpeloncoan yang sadis.
Di luar Cambridge, tradisi perpeloncoan juga merajalela di Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1700-an. Perpeloncoan mahasiswa baru ini timbul akibat mahasiswa Oxford yang mengenalkan budaya fagging kepada khalayak Harvard. Fagging sendiri adalah sebuah istilah untuk mengartikan tindakan wajib di mana yang junior wajib melayani yang lebih senior. Tidak lama berselang, seketika budaya perpeloncoan mahasiswa baru menjadi fenomena yang wajar ditemukan di tiap sudut Harvard.
Di tanah air sendiri kekerasan yang dilatarbelakangi oleh budaya senioritas sudah ditetapkan secara tidak langsung sebagai tradisi massal di berbagai kampus pada tahun 1950-an. Gosip mengenai tradisi penerimaan mahasiswa baru yang mengerikan telah menghantui banyak orang kala itu. Mahasiswa baru yang seharusnya disambut dengan baik dengan adanya ospek malah dicap negatif. Ini juga menimbulkan rasa takut bagi para mahasiswa baru untuk tetap semangat dan berani memasuki dunia perkuliahan tanpa khawatir dengan adanya perpeloncoan di lingkungan kampus.
Apabila kita tarik kembali benang asal-usul perpeloncoan di kalangan kampus di Nusantara, maka boleh jadi STOVIA adalah biangnya.