Mohon tunggu...
Annisa NaylaFaiza
Annisa NaylaFaiza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Nayla is a freshman year History Science student at Padjadjaran University, currently interested in learning art, culture, politics and other social studies. She is excited looking into new opportunity and experience. She is also well experienced in many events and organizations, specializing in writing and design skills.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menarik Benang Asal Muasal Ospek

21 Juni 2024   15:05 Diperbarui: 21 Juni 2024   15:18 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) telah usai dilaksanakan. Pada tanggal 13 Juni 2024 lalu, baik penerimaan maupun penolakan ditampilkan dalam sebuah laman berwarna biru. Belakangan ini kita tengah berada di euforia penerimaan mahasiswa baru. Calon-calon mahasiswa hendaknya bersiap untuk memasuki pintu baru, menaiki satu anak tangga kehidupan. Ada baiknya untuk menyiapkan perbekalan fisik dan mental yang cukup demi memasuki jenjang yang lebih tinggi. Tidak lain tidak bukan, pintu kehidupan yang dibuka ialah dunia perkuliahan. 

Tentunya detik-detik pertama menginjakkan kaki di universitas impian merupakan hal yang amat ditunggu-tunggu. Mahasiswa baru disambut dengan meriah dan megah. Lantas bagaimana dengan sisi gelap ospek yang katanya kelam dan mengerikan itu?

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang biasa kita sebut ospek sejatinya berfungsi sebagai jembatan bagi para mahasiswa baru untuk mengenal lingkungan universitas lebih dalam. Mulai dari kurikulum, struktur universitas, sejarah berdirinya atau terbentuknya suatu universitas, dan pengenalan-pengenalan terkait dunia perkuliahan lainnya.

Ospek sendiri sudah menjadi rangkaian yang tak dapat dilupakan. Bisa dibilang ospek tumbuh menjadi suatu ritual tahunan untuk mahasiswa baru dengan ciri khas ospek universitas, fakultas, atau program studinya tersendiri.

Walaupun ospek umumnya berfungsi untuk memberikan pengenalan, sayangnya ospek seringkali disalahgunakan untuk perbuatan yang tidak seharusnya. Ujaran atau tindak kekerasan yang tidak berdasar seringkali menimpa telinga para mahasiswa baru. Makna ospek perlahan-lahan bergeser dan menghilangkan esensi kegiatan tersebut. Ospek merambat menjadi wadah untuk melangsungkan budaya senioritas dan hasrat akan kehormatan. Kemanakah perginya ospek yang bersih?

Boleh jadi kita turut berduka akan abainya petinggi-petinggi yang mengisi kursi jabatan di dunia pendidikan terhadap bergesernya pemaknaan ospek. Korban mahasiswa baru tengah menjerit dan menderita akan penderitaan yang dialaminya akibat ospek yang dijalankan secara tidak semestinya. Acapkali petinggi instansi pendidikan acuh akan fenomena ini. Korban tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya menjadi haknya. Di sisi lain, panitia ospek ogah tobat akan perbuatannya. Menyedihkannya, ospek berubah menjadi rantai perpeloncoan tiap tahun yang tak pernah usai.

Sebenarnya dari manakah asal usul ospek yang kental akan kekerasan ini?

Usut punya usut, tragedi perpeloncoan terhadap mahasiswa baru tertua ditemukan di Universitas Cambridge, UK. Kala itu sistem kasta bangsawan masih eksis di Eropa. Tindak perpeloncoan dilatarbelakangi ketika para bangsawan Inggris yang menduduki strata sosial yang tinggi umumnya memiliki sifat tinggi hati dan berlaku seenaknya terhadap manusia. Dari sanalah muncul tradisi di mana tiap mahasiswa tahun pertama yang baru memasuki lingkungan perkuliahan tersebut harus melewati tahap perpeloncoan yang sadis.

Di luar Cambridge, tradisi perpeloncoan juga merajalela di Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1700-an. Perpeloncoan mahasiswa baru ini timbul akibat mahasiswa Oxford yang mengenalkan budaya fagging kepada khalayak Harvard. Fagging sendiri adalah sebuah istilah untuk mengartikan tindakan wajib di mana yang junior wajib melayani yang lebih senior. Tidak lama berselang, seketika budaya perpeloncoan mahasiswa baru menjadi fenomena yang wajar ditemukan di tiap sudut Harvard.

Di tanah air sendiri kekerasan yang dilatarbelakangi oleh budaya senioritas sudah ditetapkan secara tidak langsung sebagai tradisi massal di berbagai kampus pada tahun 1950-an. Gosip mengenai tradisi penerimaan mahasiswa baru yang mengerikan telah menghantui banyak orang kala itu. Mahasiswa baru yang seharusnya disambut dengan baik dengan adanya ospek malah dicap negatif. Ini juga menimbulkan rasa takut bagi para mahasiswa baru untuk tetap semangat dan berani memasuki dunia perkuliahan tanpa khawatir dengan adanya perpeloncoan di lingkungan kampus.

Apabila kita tarik kembali benang asal-usul perpeloncoan di kalangan kampus di Nusantara, maka boleh jadi STOVIA adalah biangnya.

Nama STOVIA tentunya terkenal di dunia pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Seringkali ia diagung-agungkan sebagai sekolah kedokteran terbaik yang pernah ada di Hindia Belanda. Namun pada kenyataannya, budaya senioritas di sekolah kedokteran tersebut cukup menyedihkan.

Kata Ontgroening banyak diperbincangkan para mahasiswa kedokteran baru di STOVIA. Istilah tersebut adalah sebutan untuk tindakan yang dilakukan oleh senior ke juniornya di STOVIA. Pastinya istilah ontgroening juga menghantui dan menakut-nakuti benak para mahasiswa baru di sana pada masa itu. 

Bentuk perpeloncoan yang dilakukan sebetulnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi jauh di Cambridge dan Oxford sana. Para senior tampak memanfaatkan kepolosan para mahasiswa baru dengan memaksa mereka untuk menuruti senior bagaikan majikan.

Setelah masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tradisi perpeloncoan tidak berhenti sampai situ saja. Bahkan, bentuk tindakan yang dilangsungkan oleh para senior malah merambat semakin parah. Unsur kekerasan mulai dilontarkan dan diwajarkan pada masa pendudukan Jepang, ketika STOVIA berubah nama menjadi Ika Daigaku.

Sekali lagi, agaknya kita perlu mempertanyakan kemanakah perginya peran pengawasan dari pejabat atau petinggi institusi pendidikan. Tak jarang oknum-oknum pelaku kekerasan terhadap mahasiswa baru beranjak berbenah apabila perpeloncoan di lingkungan kampus melambung viral. 

Tentunya tradisi ospek yang disalahgunakan ini masih menjadi PR bagi seluruh pelaku pendidikan. Perpeloncoan terhadap mahasiswa yang baru membuka pintu jenjang pendidikan tinggi sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Perlu edukasi, kesadaran diri, dan pemahaman yang cukup untuk masyarakat kampus menyadari bahwa ospek seharusnya dilakukan secara wajar dengan porsi yang cukup dan tidak melewati batas.

Nafas tegang boleh kita hembuskan karena seiring berjalannya waktu dan semakin canggihnya teknologi, wawasan akan ospek yang sesuai amanat mulai heboh dikumandangkan. Beberapa petinggi instansi pendidikan akhirnya membuka mata perihal tradisi yang menyakitkan ini. Sedikit demi sedikit peraturan ospek mulai dibatasi dan diawasi sebagaimana mestinya. Perlahan berbagai universitas membenahi rangkaian ospeknya. Mereka mulai mengurangi porsi yang tidak diperlukan.

Apakah sekarang sudah waktunya untuk bangkit dari kegelapan, kepedihan, dan kesengsaraan ospek? Tidak ada salahnya untuk berharap dan berdoa. Ospek, walaupun terdengar sepele, tapi bisa menjadi senjata penting untuk memajukan bangsa.

Kini, kita dengan mudah dapat melaporkan apabila masih terdapat tradisi ospek yang kuno di mana terjadi perpeloncoan atau kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun kekerasan simbolik terhadap mahasiswa baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun