Mohon tunggu...
Nayla Azhaar Fauziyah
Nayla Azhaar Fauziyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu diantara kamu sekalian (Qs. Al-Mujadilah: 11)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Menikahi Ibu Tiri dalam Al-Qur'an

12 Mei 2023   22:35 Diperbarui: 12 Mei 2023   22:34 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ibu adalah seorang wanita yang menikah dan melahirkan anak, menjadi orang yang pertama menjalin ikatan batin dan emosi pada anak dan juga sebagai sentral dalam perkembangan awal anak dengan memiliki sifat-sifat keibuan yaitu memelihara, menjaga dan merawat anak. Ibu merupakan seseorang yang paling mencintai kita di dunia ini. 

Dalam pandangan islam, seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Surga itu ada di telapak kaki ibu bukanlah semboyan belaka, namun suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kita bisa melihat bahwa pengorbanan dan kasih sayang Ibu sangat besar sekali untuk membesarkan dan melindungi anaknya. Tidak salah jika Rasulullah menyatakan bahwa hormatilah Ibu, Ibu, Ibu sebanyak tiga kali, baru setelah itu ayah. Hal ini lah yang membuat sudah selayaknya seorang anak untuk berbakti kepada ibunya yang telah berjihad mengandung, melahirkan, dan menyusui.

Namun, pada kenyataannya seorang ibu tidak selalu dapat mendampingi dan berada dalam sisi anaknya hingga waktu yang lama. Terkadang ada kekurangan yang berdampak sang ayah harus melakukan perceraian, ada kematian, dan keterbatasan usia, yang membuat akhirnya seorang ibu kandung harus meninggalkan anak dan seorang ayah harus mendapatkan pendamping baru. Untuk itu akhirnya seorang anak mendapatkan ibu baru, yang biasa disebut ibu tiri.

Ibu tiri bisa diartikan sebagai ibu yang tidak mengandung, melahirkan, atau menyusui anaknya. Ibu tiri adalah hasil dari pernikahan ayah setelah ibu kandung tiada atau mengalami perceraian. Seorang ibu tiri tentunya adalah istri yang sah bagi suaminya. Dengan menikahnya laki-laki yang memiliki anak dari seorang perempuan, maka anak dari laki-laki tersebut menjadi anak dan mahram pula bagi perempuan yang sudah dinikahi (istri kedua). Maka anak dari laki-laki tersebut selama-lamanya berstatus anak yang resmi dan mahram bagi perempuan.

Seseorang yang berstatus anak tiri, maka ia tidak boleh menikah dengan ibu tirinya walaupun suatu waktu telah bercerai dari ayahnya, karena ibu tiri bagi anaknya adalah muhrim dalam islam. Untuk itu ibu tiri adalah wanita yang haram dinikahi dalam islam oleh anak tirinya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلً

Artinya:

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (QS. An-Nisa: 22).

Surat An-Nisa ayat 22 ini Al-Qur’an menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang lelaki (muharramâtun nisâ’). Larangan ini muncul disebabkan karena pada zaman Jahiliyah yang telah lampau, sebagian besar orang-orang Anshar yang apabila seseorang meninggal, maka istri yang bersangkutan menjadi milik wali si mati dan menguasainya sampai meninggal dunia. 

Di zaman Jahiliyah tersebut banyak terjadi praktik buruk, yakni seperti Abu Qais bin Al-Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar istri Abu Qais (ibu tiri). Berkata wanita itu: “Saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaummu yang saleh”. Maka menghadaplah wanita itu kepada Rasulullah Saw untuk menerangkan halnya. Nabi Saw bersabda: “Pulanglah engkau ke rumahmu”. Maka turunlah QS. An-Nisa ayat 22 sebagai ketentuan waris bagi istri dan larangan mengawini ibu tiri.

Jika ada seorang anak yang melakukan praktik seperti masyarakat Jahiliyah, yakni melakukan atau mempertahankan pernikahan dengan wanita yang telah dinikahi oleh ayah mereka, maka hal ini merupakan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh oleh seseorang.

  • Maksud فَٰحِشَةً وَمَقْتًا adalah perbuatan yang sangat buruk, yakni perbuatan yang menyebabkan murka Allah. 
  • Sedangkan  سَآءَ سَبِيلً  adalah seburuk-buruknya jalan pernikahan. 
  • إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ (terkecuali pada masa yang telah lampau), yakni sebelum turunnya ayat ini, maka mereka (masyarakat Jahiliyah) tidak mendapat hukuman dari Allah atas perbuatan mereka.

Maka dari itu, kaum mukminin hendaknya mengetahui secara dalam mengenai ajaran agama Islam, fikih nikah, dan selalu taat hanya kepada Allah swt. Setelah ayat ini diturunkan, praktik pernikahan semacam ini dapat mengakibatkan murka Tuhan dan mendapatkan siksaan yang keji atas para pelakunya. Sungguh sebaik-baiknya makhluk ialah seorang hamba yang mampu berpikir dan bermanfaat bagi sesama manusia.

Dosen Pengampu Ilmu Tafsir : Hamidullah Mahmud, M. A.

Penulis : Nayla Azhaar Fauziyah (0036)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun