Mohon tunggu...
Nayla Sasti Ifadza
Nayla Sasti Ifadza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

Gadis ceria yang menikmati peran dari Allah SWT. Sangat senang mendalami ilmu berkaitan tentang agama, kesehatan mental, parenting, dan perkembangan. Belajar bareng yuk!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Cerdas Sedari Dini Bisa Bikin Sukses? Apa Iya?

6 November 2022   21:40 Diperbarui: 6 November 2022   22:13 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Hallo sobat kompasiana!

Apa kabar hari ini? Semoga sehat dan bahagia ya, karena bahagia adalah salah satu bentuk kesuksesan.

Berbicara tentang kata sukses yang tidak lagi menjadi hal asing di telinga kita. Siapa sih yang tidak memiliki keinginan untuk sukses? Pada dasarnya, setiap individu memiliki definisi berbeda tentang makna sebuah kesuksesan. Namun, sudah familiar jika kesuksesan sering dikaitkan dengan kecerdasan bukan?

Faktanya, sukses itu bisa dipupuk sejak dini lho! Percaya atau tidak, ternyata banyak faktor yang bisa memengaruhi kesuksesan seseorang.

 "kalo mau sukses, kamu harus cerdas!" sobat kompasiana pasti sering denger kalimat semacam ini kan? Hmm, tunggu... Kira-kira apakah ada seseorang yang tidak berharap memiliki kecerdasan yang optimal? Tentu hampir semua orang menginginkannya bukan? Tidak bisa dipungkiri, kecerdasan menjadi salah satu faktor kesuksesan seseorang. Tapi kecerdasan seperti apa sih yang dimaksud?

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kecerdasan manusia itu hanya berpatokan pada satu jenis kecerdasan saja, yaitu kecerdasan intelektual.

Banyak dari kita yang beranggapan bahwa seseorang dengan kecerdasan intelektual yang tinggi akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa depan. Padahal kecerdasan manusia bukan hanya tentang kecerdasan intelektual lho!

Menariknya, dalam sebuah penelitian ditemukan fakta adanya bentuk kecerdasan yang ternyata lebih berpengaruh bagi kesuksekan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan intelektual yang ia miliki.

Penasaran? Hmm, kita belajar bareng yuk! Baca sampai selesai ya...

Nah, selain kecerdasan intelektual atau lebih dikenal dengan istilah IQ, manusia juga memiliki beberapa kecerdasan lain. Diantaranya ialah kecerdasan spiritual atau SQ dan kecerdasan emosional yang dapat disebut juga dengan EQ. Kecerdasan emosional inilah yang mengambil andil besar atas kesuksesan seseorang.

Kok bisa gitu sih? Hal tersebut erat kaitannya dengan identitas manusia sebagai makhluk sosial. Kecerdasan emosional sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kemampuan pada diri manusia dalam memahami perasaan atau emosi baik yang ia rasakan maupun yang dirasakan oleh orang lain.

Oleh karena itu, kecerdasan emosional memiliki peran penting bagi individu untuk membentuk sikap dalam interaksi sosial, seseorang dengan tingkat EQ yang tinggi akan lebih mudah dalam membentuk interaksi yang baik terhadap lingkungannya.

Dari uraian diatas, dapat diartikan bahwa untuk meraih kesuksesan dibutuhkan kecerdasan emosional yang baik. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan perkembangan emosional individu sedari dini. Lantas bagaimana ya caranya ?

Langsung aja yuk, berikut ada beberapa upaya yang dapat kita terapkan untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional pada diri individu.

Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memahami tahapan perkembangan sosial emosi pada manusia. Erik Erikson, seorang tokoh ilmuan psikologi pada bukunya yang berjudul Childhood and Society (1950a) mengemukakan adanya 8 tahapan perkembangan emosi manusia yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan upaya yang dapat dilakukan agar kecerdasan emosional berkembang secara optimal. Delapan tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut :

  • Trust vs Mistrust

Tahapan ini terjadi pada usia 0-1 tahun dimana bayi mulai belajar tentang rasa percaya dan pengharapan. Dalam tahapan ini ibu berperan penting dalam menumbuhkan rasa kepercayaan pada diri anak. Jika masa ini tidak dilewati dengan baik, maka individu akan tumbuh dengan rasa mudah curiga bahkan menjadi pribadi yang cenderung penakut.

  • Autonomy vs Shame, Doubt

Pada usia 2-3 tahun individu mulai belajar tentang kehendak dan kemandirian. Orang tua sebaiknya tidak memaksa anak untuk berani dalam melakukan sesuatu, namun jangan sampai mematahkan keberanian seorang anak. Akibat negatif jika tahapan ini tidak dikembangkan secara optimal ialah munculnya rasa ketergantungan, harga diri rendah, serta mudah merasa ragu dan malu.

  • Initiative vs Guilt

Tahapan selanjutnya terjadi pada individu berusia 4-5 tahun dimana ia mulai memiliki inisiatif dan rasa bersalah. Pada tahapan ini untuk menghindari kemungkinan terbentuknya sikap ketidakpedulian dan takut mengambil risiko, keluarga inti berperan penting untuk memberikan pemahaman kepada anak bahwa gagal dalam suatu usaha merupakan suatu hal yang wajar sehingga ia tetap memiliki keberanian melakukan sesuatu.

  • Industry vs Inferiority

Individu usia 6-11 tahun mulai bersemangat memelajari dunia luar namun terkadang harus berhadapan dengan hambatan yang jika tidak didampingi dengan baik maka akan menimbulkan perasaan rendah diri.

  • Identity vs Identity Confusion

Dorongan untuk memperlihatkan identitas mulai dirasakan pada individu usia 12-20 tahun. Perlu adanya pendampingan agar perasaan tersebut tidak ditunjukkan dengan cara yang ekstrem.

  • Intimacy vs Isolation

Terjadi pada usia 21-40 tahun, perkembangan ini berorientasikan individu dapat memahami perasaan cinta, bukan malah cenderung menutup diri.

  • Generativity vs Stagnation

Pada usia 41-65 tahun individu berada pada masa puncak pengembangan diri. Tujuan pada tahap ini ialah kepedulian dan menghandarkan diri dari perasaan tertolak dan tidak produktif.

  • Ego Integrity vs Despair

Individu dengan usia 65 tahun ke atas sudah memiliki integritas pribadi. Tujuan tahapan ini adalah terwujudnya kebijaksanaan dan menghindarkan dari rasa depresi serta putus asa.

Cara selanjutnya yaitu memahami bahwa individu berhak merasakan setiap emosi dari dalam dirinya. Menyadari bahwa setiap emosi harus diakui dan dihargai.

Ketiga, selain menerima bahwa anak-anak  sebagai individu wajar merasakan berbagai macam emosi, kita juga harus dapat memberikan tanggapan yang bersifat emosional pada anak sebagai ungkapan bahwa kita memahami emosi apa yang ia rasakan.

Selain itu, kita dapat membantu anak untuk mengenali emosinya. Anak-anak cenderung belum dapat memahami emosi dalam dirinya serta bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkan emosi tersebut. Dalam hal ini tugas kita adalah memberi pemahaman kepada anak untuk mengenali bagaimana tanda ketika ia mengalami sebuah emosi dan alternatif apa yang dapat ia lakukan untuk mengekspresikannya.

Seperti ketika anak mengalami tantrum, orang tua sebaiknya tidak langsung menuruti permintaannya, tidak memaksanya berhenti, namun melakukan pendampingan dan membiarkannya hingga merasa cukup tenang untuk berkomunikasi. Selanjutnya, orang tua dapat membantu anak memahami emosi dengan melakukan percakapan yang baik.

Pada contoh kasus diatas, kita dapat mengajarkan kepada anak bagaimana cara ia menenangkan dirinya. Serta melatih kemampuan anak untuk mendengarkan dan bernegosiasi.

Cara lain untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak adalah dengan melatihnya untuk dapat memahami persaan orang lain. Anak-anak adalah individu yang mudah berimajinasi, maka kita dapat memanfaatkannya dengan meminta anak membayangkan bagaimana jika ia mengalami apa yang dirasakan oleh orang lain.

Itulah tadi beberapa hal yang dapat menjadi upaya dalam mengoptimalkan perkembangan serta kecerdasan emosional pada diri individu dimulai dari usia dini. Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki setidaknya kemampuan self awareness, self regulation, motivation, empathy, dan social skill yang baik. Kemampuan tersebut dapat menjadi modal seseorang dalam mencapai kesuksesan.

Nah, sekian pembahasan pada topik belajar bareng hari ini

Mohon maaf jika terjadi kesalahan maupun kekurangan, untuk koreksi dan saran boleh dicantumkan dikolom komentar ya. Sangat ditunggu responnya. Terima kasih telah membaca artikel ini sampai akhir. Senang belajar bareng sobat kompasiana.

Sekian, semoga bermanfaat. Sampai jumpa di topik selanjutnya, see you!

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun