Bunda menyuruh kami untuk ganti baju dan beristirahat. Kami hanya bisa diam, terlarut dalam kesalahan yang telah kami buat.
Keesokan paginya, Buk Sumi memanggil orangtua kami dan teman-teman yang lain. Dia menceritakan semua kenakalan kami belakangan ini. Aku merasa kesal, merasa Buk Sumi terlalu mengompori ayah.
"Kenapa Buk Sumi tak lebih mengerti?" pikirku dengan hati yang penuh emosi.
"Sepertinya kenakalan Nana sudah menjadi-jadi, Buk," kata ayah dengan wajah kecewa. "Untuk sementara ini, biarlah Nana mengaji di rumah saja."
Buk Ila mencoba menenangkan suasana dengan suara lembutnya. "Nana hanya perlu bimbingan, Pak. Mungkin ini karena pergaulan mereka. Wajar saja, mereka sedang masa labil."
Aku merasa kesal dan cemas. Tapi, di sisi lain, aku juga merasa menyesal. Kami memang salah. Teman-temanku juga tampak sedih. Kami tahu, inilah konsekuensinya.
Dengan suara gemetar, aku berkata, "Ayah, maafkan aku."
Ayah hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti---entah itu tatapan marah, kecewa, atau keduanya.
"Aku tidak ingin berhenti mengaji, Ayah," kataku dengan suara parau. "Aku butuh mengaji. Aku tak ingin dilarang bertemu atau bermain dengan Alta dan teman-temanku. Aku..."
"Ayah bilang cukup, Nana," kata ayah. "Jangan buat ayah makin marah. Ayah tahu apa yang terbaik untukmu. Ini hukumanmu. Seharusnya kamu lebih banyak berpikir sebelum melakukan hal bodoh itu!"
Aku hanya bisa diam, lalu menangis. Hariku tanpa mengaji terasa hampa. Selama sebulan, aku jauh dari teman-temanku dan dari kegiatan yang selalu membuatku merasa dekat. Aku mencoba mengisi kehampaan itu dengan berbagai kegiatan, meski hatiku merasa kosong.
Namun, bulan berikutnya Buk Ila memberi kabar bahwa ada acara khatam Al-Qur'an di akhir bulan ini. Ayah dan bunda, setelah banyak pertimbangan akhirnya mengizinkanku kembali mengaji. Amarah mereka sudah mereda, dan aku merasa sangat bersyukur.