Stereotipe yang melekat pada perempuan petani sering kali membatasi pandangan kita terhadap kontribusi besar mereka dalam mengatasi masalah pangan. Banyak yang beranggapan bahwa perempuan hanya berperan sebagai penyedia pangan keluarga yang menjaga kelestarian benih-benih tradisional secara turun temurun.Â
Benarkah demikian? Apakah benar hanya itu yang mereka lakukan?
Tentu saja, stereotipe ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga sangat sempit. Di balik gambaran yang tampak sederhana itu, ada kenyataan yang jauh lebih esensial dan mengkhawatirkan. perempuan petani memegang peranan yang sangat vital dalam ketahanan pangan keluarga dan masyarakat, mereka sering kali ditempatkan pada posisi yang terpinggirkan dalam sistem pertanian yang kini semakin didominasi oleh kekuatan kapitalisme.
Menurut sensus pertanian 2018, sekitar 24,04% dari total petani Indonesia adalah perempuan. Artinya hampir seperempat petani di Indonesia adalah perempuan. Mereka berperan dalam berbagai aspek pengelolaan pertanian keluarga, dari memelihara benih hingga mengolah hasil panen. Tetapi, meskipun mereka memainkan peran penting ini, mereka tetap berada dalam bayang-bayang ketidakadilan.
Mengapa ini bisa terjadi? Kenapa peran mereka yang krusial sering kali terabaikan? Jawabannya terletak pada sistem yang didominasi oleh kapitalisme, yang menempatkan keuntungan sebagai prioritas utama, bukan keberlanjutan atau kesejahteraan petani, terutama petani perempuan.
Perusahaan besar, yang menyediakan benih-benih transgenik, mengambil alih kontrol terhadap produksi pangan. Perempuan petani, yang dulu menjadi penjaga benih tradisional, kini terpaksa bergantung pada benih komersial yang lebih mahal dan lebih sulit untuk dijaga keberlanjutannya. Sistem yang dulu berbasis pada tradisi dan keberlanjutan kini mulai digantikan oleh industri yang mengutamakan profit semata.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini? Mengapa perempuan petani, yang berperan besar dalam ketahanan pangan, justru menjadi korban dari sistem ini?Â
Banyaknya ketidaksetaraan yang terus berlangsung, baik dalam hal pengupahan, kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan juga akses terhadap sumber daya.
Kapitalisme telah mengubah wajah sektor pertanian yang dulu bersifat kolektif dan berbasis pada tradisi menjadi industri yang berorientasi pada keuntungan semata. Perempuan petani lagi-lagi menjadi korban utama dari eksploitasi yang mengarah pada ketergantungan dan ketidakberdayaan.Â
Kapitalisme tidak hanya merampas hak mereka atas benih dan tanah yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun, tetapi juga mengabaikan kontribusi besar mereka terhadap perekonomian dan keberlanjutan pangan.
Dengan peran ganda yang mereka emban sebagai petani dan ibu rumah tangg. Perempuan bekerja lebih giat untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, kerja keras ini tak mendapat apresiasi yang setara. Mereka tak hanya berjuang untuk mempertahankan kehidupan mereka, tetapi juga mempertahankan ketahanan pangan untuk seluruh masyarakat.Â
Maka, pertanyaannya adalah: kapan kita akan mulai memberi pengakuan yang layak kepada perempuan petani? Kapan sistem pertanian yang lebih adil dan berkelanjutan akan terbentuk?
Tanpa pemberdayaan yang memadai dan perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada perempuan petani, ketidakadilan ini akan terus berlanjut. Kapitalisme akan terus menggerus peran mereka, dan perempuan akan tetap terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang semakin membebani mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H