Mohon tunggu...
Fawwaz Nawfal Adli
Fawwaz Nawfal Adli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin atau Idola? Dinamika Cinta Buta dalam Politik

16 Oktober 2024   13:45 Diperbarui: 16 Oktober 2024   13:48 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iStock Cemille Bingol

Fenomena "cinta buta" terhadap pemimpin dalam politik dapat diamati di banyak negara, termasuk Indonesia. Ini adalah sebuah pola di mana pendukung begitu terikat secara emosional dengan seorang pemimpin hingga tidak mampu melihat kekurangan atau kesalahan yang dibuat pemimpin tersebut. Dalam konteks ini, saya merasa fenomena tersebut mirip dengan bagaimana kita berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan pribadi, termasuk pertemanan, bukan hanya hubungan romantis. Kita mungkin cenderung berpikir bahwa dalam pertemanan atau hubungan dekat lainnya, kita bisa lebih objektif dalam menilai, karena kita mempertimbangkan apa yang mereka tawarkan kepada kita. Namun, dalam politik, objektivitas tersebut sering kali tergantikan oleh keterikatan emosional yang kuat.

Dalam politik, ketertarikan emosional ini mungkin berakar pada cara pemimpin tersebut menampilkan diri mereka kepada publik. Sering kali, pemimpin yang "merakyat" atau yang terlihat berasal dari latar belakang sederhana mendapatkan dukungan yang luar biasa, bukan hanya karena kebijakan mereka, tetapi juga karena orang merasa bahwa mereka adalah representasi dari rakyat biasa. Perasaan bahwa pemimpin tersebut "sama seperti kita" dapat mengaburkan pandangan kita terhadap kebijakan mereka yang mungkin sebenarnya merugikan.

Saya merasa bahwa loyalitas seperti ini sering muncul bukan karena masyarakat tidak peduli, tetapi karena keterikatan emosional yang membuat kita sulit bersikap kritis. Loyalitas terhadap pemimpin, meskipun memiliki nilai positif, dapat menghambat kemampuan kita untuk melihat kebijakan mereka secara lebih kritis. Sebagai contoh, ketika ada kebijakan yang sebenarnya memiliki dampak buruk, kita mungkin tetap mendukungnya karena percaya bahwa pemimpin tersebut memiliki niat yang baik atau "mengerti" situasi rakyat. Kita menjadi sulit untuk mempertanyakan atau mengkritik keputusan mereka karena sudah merasa terlalu terhubung secara emosional.

Contoh paling nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam kebijakan yang tidak populer, seperti pengurangan subsidi atau kebijakan ekonomi yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Dalam beberapa kasus, kebijakan tersebut dijual kepada publik sebagai bagian dari upaya reformasi atau untuk meningkatkan daya saing negara di tingkat global. Namun, tidak jarang kebijakan semacam ini justru memperburuk kondisi masyarakat kelas bawah yang sangat bergantung pada subsidi atau regulasi tertentu. Meskipun demikian, banyak yang tetap mendukung kebijakan tersebut tanpa benar-benar memahami dampaknya, hanya karena mereka merasa pemimpin pasti tahu apa yang terbaik.

Di sinilah saya melihat persamaan dengan hubungan pribadi. Dalam hubungan dekat, termasuk pertemanan, kita sering kali merasa harus objektif dalam menilai. Kita menilai teman atau pasangan berdasarkan apa yang mereka tawarkan kepada kita—apakah mereka mendukung kita, apakah mereka membuat kita menjadi lebih baik, atau bahkan apakah mereka memberikan nilai tambah dalam kehidupan kita. Namun, dalam politik, loyalitas emosional membuat kita sering kali gagal menggunakan objektivitas yang sama. Kita merasa bahwa pemimpin "ada di pihak kita," bahkan ketika kebijakan mereka mungkin tidak selalu mencerminkan hal tersebut.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang yang mendukung pemimpin secara emosional pasti tidak kritis. Namun, fenomena ini bisa membuat masyarakat lebih sulit untuk mempertanyakan kebijakan yang seharusnya bisa dikritisi secara lebih dalam. Dalam konteks Indonesia, misalnya, kita sering melihat pemimpin dipilih bukan karena kebijakan yang konkret atau rencana kerja yang jelas, tetapi karena citra pribadi mereka yang dianggap merakyat dan sederhana. Hal ini menggambarkan bahwa keterikatan emosional lebih dominan daripada penilaian kritis terhadap pemimpin.

Saya juga melihat bahwa media memainkan peran besar dalam fenomena ini. Media memiliki kekuatan untuk membentuk citra seorang pemimpin, baik dalam hal positif maupun negatif. Dalam banyak kasus, media cenderung menonjolkan sisi positif seorang pemimpin, terutama jika mereka dekat dengan kekuasaan atau memiliki hubungan baik dengan media tersebut. Sisi negatif atau kebijakan kontroversial sering kali diabaikan atau direduksi menjadi isu yang tidak penting, sementara prestasi kecil dipromosikan secara berlebihan. Ini menciptakan gambaran yang tidak seimbang bagi masyarakat, yang akhirnya memengaruhi bagaimana kita melihat pemimpin tersebut.

Sebagai masyarakat, saya merasa kita harus lebih bijaksana dalam mengonsumsi informasi. Informasi yang kita terima, terutama dari media, tidak selalu mencerminkan keseluruhan kebenaran. Jika kita hanya mengandalkan satu sumber informasi, kita bisa terjebak dalam pandangan yang bias dan menjadi sulit untuk melihat sisi lain dari seorang pemimpin. Kita perlu membuka diri terhadap berbagai sudut pandang, termasuk kritik yang mungkin datang dari sumber yang berbeda. Dengan demikian, kita bisa membuat penilaian yang lebih objektif dan rasional terhadap kebijakan yang diambil oleh pemimpin kita.

Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah elemen penting. Kritik bukan berarti kita tidak loyal kepada pemimpin, melainkan bagian dari mekanisme untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Pemimpin, seperti juga teman atau pasangan, harus dievaluasi secara terus-menerus. Apa yang mereka tawarkan kepada kita sebagai masyarakat? Apakah kebijakan mereka benar-benar memberikan manfaat yang nyata? Atau, justru ada hal-hal yang perlu kita kritisi untuk memastikan kebijakan tersebut lebih adil dan tepat sasaran?

Generasi muda, khususnya, memiliki peran penting dalam mendorong perubahan ini. Sebagai masyarakat yang melek teknologi dan informasi, kita memiliki akses ke berbagai sumber pengetahuan yang bisa membantu kita menjadi lebih kritis. Kita tidak boleh terjebak dalam loyalitas emosional yang berlebihan terhadap pemimpin. Sebaliknya, kita harus mampu memisahkan perasaan dari penilaian yang lebih rasional. Pemimpin bukanlah figur yang tidak bisa dikritik, dan kritik yang membangun adalah salah satu cara untuk menjaga agar mereka tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Dalam filsafat, keterikatan emosional yang menghalangi penilaian objektif bisa dikaitkan dengan fenomena bias afeksi, di mana perasaan kita terhadap seseorang atau sesuatu mempengaruhi bagaimana kita menilai kualitas atau kebijakan mereka. Dalam hubungan sosial, termasuk pertemanan, kita sering kali berpikir kita bisa lebih objektif, karena kita menilai berdasarkan pengalaman langsung. Namun, dalam politik, bias afeksi ini lebih sulit dihindari karena informasi sering kali disaring melalui media atau narasi publik yang terbatas. Hal ini menggambarkan bagaimana, seperti yang sering dibahas dalam filsafat, keterikatan emosional dapat memengaruhi kapasitas kita untuk berpikir secara kritis dan rasional.

Loyalitas kepada pemimpin tentu memiliki tempatnya dalam politik, tetapi loyalitas tersebut harus selalu disertai dengan kesadaran kritis. Kita harus mampu melihat gambaran yang lebih besar, termasuk kelemahan dan kesalahan yang mungkin dilakukan pemimpin kita. Sama seperti kita menilai teman atau pasangan berdasarkan apa yang mereka tawarkan kepada kita, kita juga harus menilai pemimpin dari dampak kebijakan mereka terhadap kehidupan kita. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa pemimpin yang kita dukung benar-benar bekerja untuk kepentingan kita, bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan mereka sendiri.

Akhirnya, dalam konteks demokrasi, kritik yang konstruktif adalah salah satu cara terbaik untuk mendorong perbaikan. Pemimpin harus terbuka terhadap kritik, dan masyarakat harus berani memberikan kritik tersebut. Ini bukan soal tidak setia atau tidak mendukung pemimpin, tetapi soal menjaga agar sistem politik kita tetap transparan dan akuntabel. Loyalitas tanpa kritik justru berbahaya, karena bisa membuat pemimpin merasa tak tersentuh, dan pada akhirnya, masyarakatlah yang akan dirugikan.

Fenomena "cinta buta" terhadap pemimpin ini mengajarkan kita bahwa emosi, meskipun penting, tidak boleh mengaburkan penilaian rasional kita. Kita harus berusaha untuk selalu objektif dan kritis, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam kehidupan politik. Pemimpin, seperti halnya teman atau pasangan, harus dinilai dari apa yang mereka berikan kepada kita, bukan dari perasaan yang mungkin kita miliki terhadap mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun