Dalam filsafat, keterikatan emosional yang menghalangi penilaian objektif bisa dikaitkan dengan fenomena bias afeksi, di mana perasaan kita terhadap seseorang atau sesuatu mempengaruhi bagaimana kita menilai kualitas atau kebijakan mereka. Dalam hubungan sosial, termasuk pertemanan, kita sering kali berpikir kita bisa lebih objektif, karena kita menilai berdasarkan pengalaman langsung. Namun, dalam politik, bias afeksi ini lebih sulit dihindari karena informasi sering kali disaring melalui media atau narasi publik yang terbatas. Hal ini menggambarkan bagaimana, seperti yang sering dibahas dalam filsafat, keterikatan emosional dapat memengaruhi kapasitas kita untuk berpikir secara kritis dan rasional.
Loyalitas kepada pemimpin tentu memiliki tempatnya dalam politik, tetapi loyalitas tersebut harus selalu disertai dengan kesadaran kritis. Kita harus mampu melihat gambaran yang lebih besar, termasuk kelemahan dan kesalahan yang mungkin dilakukan pemimpin kita. Sama seperti kita menilai teman atau pasangan berdasarkan apa yang mereka tawarkan kepada kita, kita juga harus menilai pemimpin dari dampak kebijakan mereka terhadap kehidupan kita. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa pemimpin yang kita dukung benar-benar bekerja untuk kepentingan kita, bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan mereka sendiri.
Akhirnya, dalam konteks demokrasi, kritik yang konstruktif adalah salah satu cara terbaik untuk mendorong perbaikan. Pemimpin harus terbuka terhadap kritik, dan masyarakat harus berani memberikan kritik tersebut. Ini bukan soal tidak setia atau tidak mendukung pemimpin, tetapi soal menjaga agar sistem politik kita tetap transparan dan akuntabel. Loyalitas tanpa kritik justru berbahaya, karena bisa membuat pemimpin merasa tak tersentuh, dan pada akhirnya, masyarakatlah yang akan dirugikan.
Fenomena "cinta buta" terhadap pemimpin ini mengajarkan kita bahwa emosi, meskipun penting, tidak boleh mengaburkan penilaian rasional kita. Kita harus berusaha untuk selalu objektif dan kritis, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam kehidupan politik. Pemimpin, seperti halnya teman atau pasangan, harus dinilai dari apa yang mereka berikan kepada kita, bukan dari perasaan yang mungkin kita miliki terhadap mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H