Cuplikan video Gus Miftah, seorang pendakwah sekaligus pejabat negara yang mengemban tugas sebagai utusan khusus Presiden, belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Video tersebut memperlihatkan ucapan yang dinilai merendahkan seorang pedagang es teh dengan kata-kata tidak pantas. Reaksi publik beragam, namun dominasi kritik terhadap Gus Miftah mencerminkan harapan masyarakat terhadap keteladanan tokoh publik yang kian memudar.
Krisis Keteladanan di Kalangan Tokoh Publik
Seorang tokoh publik memiliki peran besar sebagai panutan bagi masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara sekaligus tokoh agama, Gus Miftah seharusnya mampu menunjukkan sikap empati dan kepekaan terhadap masyarakat. Ucapan yang merendahkan tersebut tentu tidak hanya melukai pihak yang bersangkutan tetapi juga banyak pihak yang menyesalkan hal tersebut.
Krisis keteladanan ini mencerminkan persoalan yang lebih besar, yaitu kurangnya kesadaran bahwa seorang pejabat publik bukan hanya dinilai dari kebijakan yang diambil, tetapi juga dari perilaku sehari-hari, termasuk dalam bertutur kata. Sebagai contoh misalnya figur seperti Nelson Mandela, bagaimana kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan mampu memengaruhi jutaan orang. Mandela tidak hanya dikenal karena visinya yang besar, tetapi juga karena tutur kata dan tindakannya yang selalu penuh empati, bahkan terhadap mereka yang berbeda pendapat. Di Indonesia ada Gusdur, Buya hamka dan masih banyak lagi tokoh yang mengedepankan keteladanan dan setiap pidatonya membuat teduh masyarakat.
Model kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan menuntut para tokoh publik untuk memiliki integritas dan empati yang tinggi. Keteladanan ini menjadi kunci untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan menciptakan harmoni sosial.
Pentingnya tokoh publik bijak dalam bertutur kata di era digital, ucapan tokoh publik dengan mudah menjadi viral dan berdampak luas. Kesalahan sekecil apa pun dapat menjadi bumerang, terutama jika diucapkan tanpa mempertimbangkan konteks atau audiens. Oleh karena itu, tokoh publik perlu bijak dalam bertutur kata, memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak melukai perasaan masyarakat, sekaligus tetap relevan dengan nilai-nilai yang dijunjung.
Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik dalam menjaga ucapan. Beliau selalu memilih kata-kata yang lembut dan penuh hikmah, bahkan ketika menghadapi kritik atau serangan. Hal ini menunjukkan pentingnya berhati-hati dalam berbicara, apalagi di hadapan publik.
Fenomena Media Sosial: Antara Dampak Positif dan Polemik
Kasus Gus Miftah juga menyoroti peran media sosial dalam memperbesar isu. Media sosial sering kali hanya menampilkan potongan kecil dari sebuah kejadian, yang terkadang tidak mewakili konteks sebenarnya. Cuplikan video yang viral jarang memberikan gambaran utuh, sehingga memicu penilaian yang prematur.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat juga perlu lebih bijak dalam mengonsumsi informasi. Dalam banyak kasus, konteks yang hilang dapat mengubah makna pesan secara signifikan. Oleh karena itu, penting untuk tidak langsung bereaksi tanpa memastikan kebenaran informasi.
Refleksi untuk Semua Pihak
Kasus ini memberikan pelajaran bagi semua pihak. Para pejabat publik harus lebih peka terhadap dampak dari ucapan dan tindakan mereka, sementara masyarakat harus lebih kritis dalam menilai informasi yang tersebar di media sosial.
Keteladanan dalam kepemimpinan bukanlah sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga kebutuhan yang mendesak di era informasi seperti sekarang. Dengan menjaga tutur kata dan bertindak bijak, seorang pemimpin dapat menjadi cahaya bagi masyarakat yang dipimpinnya, sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh besar dunia. Di sisi lain, media sosial harus dimanfaatkan untuk menyebarkan kebenaran dan membangun pemahaman yang lebih baik, bukan menjadi sumber polemik dan perpecahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI